Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Memajukan Sekolah dengan Pendekatan Berbasis Aset

2 Maret 2023   21:27 Diperbarui: 2 Maret 2023   21:32 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://www.nurturedevelopment.org/

Pendekatan berbasis aset yang selalu mengedepankan berpikir positif ini agaknya selaras dengan konsep dari buku The Secret, karya Rhonda Byrne. Kalau yang kita pikirkan kelemahan, kekurangan, hal negatif. Itulah yang akan kita tarik dari alam dan terjadi pada kita. Namun sebaliknya jika kita berpikir positif, memikirkan aset, kekuatan, maka hal itu pula yang akan terjadi pada diri kita. Demikian seperti diungkap dalam The Secret.

Pendekatan berbasis aset atau asset-based approach ini dikembangakan oleh seorang ahli psikologi, Dr. Kathryn Cramer. Pendekatan ini dapat diterapkan di level mana pun. Bisa diterapkan di level kelas, sekolah, yayasan, dinas pendidikan, atau bahkan di masyarakat.

Perbedaan mencolok antara pendekatan berbasis aset atau asset-based approach dan pendekatan berbasis kekurangan/masalah atau deficit-based approach  dapat digambarkan sebagai berikut. Pemimpin yang menggunakan cara pandang atau pendekatan berbasis kekurangan/masalah hanya akan (1) fokus pada masalah atau isu (2) selalu berkutat pada masalah utama (3) selalu bertanya apa yang kurang ketika mengidentifikasi kebutuhan (4) fokus mencari bantuan dari sponsor atau lembaga lain (5) merancang program atau proyek untuk menyelesaikan masalah (6) mengatur kelompok yang dapat melaksanakan proyek.

Sementara itu, di sisi lain, pemimpin yang menggunakan cara pandang atau pendekatan berbasis aset atau asset-based approach  akan (1) fokus pada aset atau kekuatan yang dimiliki oleh lembaganya (2) tidak berkutat pada masalah utama tetapi membayangkan masa depan (3) berpikir tentang kesuksesan yang sudah dicapai dan kekuatan yang dipakai untuk mencapai kesuksesan tersebut (4) tidak hanya fokus mencari bantuan tetapi mengorganisasi aset dan kekuatan yang dimiliki (5) merancang sebuah rencana berdasarkan visi dan kekuatan yang dimiliki (6) melaksanakan rencana aksi yang sudah diprogramkan.

Seperti yang terdapat dalam modul guru penggerak, Green dan Haines (2016) menggolongkan aset-aset dalam sebuah komunitas, termasuk juga sekolah, ke dalam tujuh kategori. Aset atau modal utama itu meliputi aset manusia, fisik, sosial, politik, agama dan budaya, lingkungan alam, dan aset finansial.

Implementasi dalam Pembelajaran di Sekolah

Contoh konkret tentang pemanfaatan aset ini misalnya jika sebuah sekolah di daerah Yogyakarta ingin menghadirkan narasumber atau tokoh yang bergelut dalam bidang seni, sekolah itu tidak perlu mengundang tokoh Ludruk dari Jawa Timur yang secara lokasi jauh, membutuhkan dana,  dan akomodasi yang tidak sedikit. Sekolah di Yogyakarta bisa mengundang aktor atau tokoh kethoprak sebagai gantinya. Tentu itu lebih sesuai dengan aset yang ada di daerah Yogyakarta sebagai pusat kesenian kethoprak. Itu contoh pemanfaatan aset manusia.

Contoh lain misalnya bagi sekolah yang berada di pegunungan. Ketika ingin mengajak belajar anak-anak tentang ekosistem, tidak harus mengikuti apa yang ada di buku paket yang menyajikan ekosistem pantai dan laut. Mereka bisa belajar secara lebih mendalam tentang ekosistem daerah pegunungan sesuai dengan lingkungan tempat sekolahnya berada.

Para guru kadang secara kaku mengajarkan apa yang ada di dalam buku paket tanpa mengidentifikasi secara luwes disesuaikan dengan lingkungannya. Kasus seperti itu terjadi dengan keponakan saya di kampung yang harus menyiapkan kain flanel untuk pekerjaan prakarya seperti yang terdapat dalam buku paket atau LKS. Padahal di kampung tidak ada yang berjualan kain flanel. Kalau membeli ke kota harus menempuh perjalanan sejauh 16 kilometer. Seharusnya guru peka terhadap aset atau sumber daya yang ada di kampung dan tidak memaksakan untuk menggunakan kain flanel untuk mata pelajaran prakarya tersebut.

Dengan menyelenggarakan pembelajaran yang memanfaatkan aset atau modal yang dekat dengan peserta didik, tentu hasil pembelajaran lebih berkualitas. Anak-anak di pegunungan akan lebih familiar dan menguasai ekosistem pegunungan daripada ekosistem pantai. Demikian juga anak di kampung akan lebih menguasai kerajinan dari kayu, bambu, rumput-rumputan, dibandingkan dengan kerajinan atau prakara berbahan kain flanel yang asing bagi mereka.

Pemimpin pembelajaran yang selalu memberikan perhatian pada aset yang dimiliki akan lebih memiliki peluang untuk membawa sekolahnya untuk mencapai cita-cita seperti yang tertuang dalam visi sekolah. Kita semua harus mulai saling mengingatkan untuk menggunakan pendekatan berbasis aset dalam mengelola komunitas tempat kita berada, tak terkecuali komunitas sekolah kita. Mudah-mudahan transformasi pendidikan yang digagas dan digulirkan oleh Mas Menteri Nadiem segera bisa terwujud. Guru Bergerak, Indonesia Maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun