Posisi Kontrol Guru dan Segitiga Restitusi
Dalam upaya melaksanakan disiplin positif, guru memiliki beberapa pilihan posisi kontrol. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Gossen menyimpulkan ada lima posisi yang bisa diterapkan guru dalam mengontrol para murid. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
Dalam mengontrol para murid, guru harus berupaya secara bertahap untuk memposisikan diri dalam tingkatan manajer. Dalam posisi manajer guru menuntun murid untuk mencari solusi atas kekurangan atau permasalahan yang dihadapi murid. Guru juga perlu menuntun murid untuk menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Dalam posisi manajer, guru mengajak murid untuk menganalisis kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang lain.
Kesalahan yang dilakukan murid merupakan bagian dari proses pembelajaran. Oleh karenanya, yang menjadi fokus utama bukan hukuman apa yang harus diterima murid atau konsekuensi yang harus dijalani murid, tetapi murid bersama guru secara bersama-sama berkolaborasi memperbaiki kesalahan yang ada. Tentu saja dengan penuh kesadaran karena langkah perbaikannya sesui dengan nilai yang diyakini oleh murid.
Sebagai seorang manajer, guru harus sudah menguasai keterampilan dalam posisi sebagai teman dan pemantau. Hal ini karena suatu ketika peran sebagai teman dan pemantau itu sesekali masih dibutuhkan guru ketika mengambil posisi sebagai manajer. Dalam posisi sebagai pemantau guru fokus pada peraturan dan konsekuensi atau sanksinya. Sementara itu dalam posisi sebagai teman hubungan antara guru dan murid lebih akrab. Murid biasanya mengandalkan atau meletakkan kepercayaan yang tinggi kepada guru.
Dalam posisi sebagai manajer saat berhadapan dengan siswa yang melakukan kesalahan sebenarnya bisa dijabarkan ke dalam tiga langkah restitusi. Ketiga langkah restitusi yang dimaksud adalah (1) menstabilkan identitas, (2) validasi tindakan yang salah/validasi kebutuhan (3) menanyakan keyakinan. Dalam kondisi emosi yang tidak stabil, seorang murid harus distabilkan, dibuat tenang, Â dan dikembalikan ke dalam identitas sukses, bukan identitas gagal. Dalam langkah validasi tindakan yang salah, murid dituntun untuk menyadari bahwa tindakan yang dilakukan memang tindakan yang tidak tepat atau salah. Bersamaan dengan itu guru juga memvalidasi kebutuhan murid yang belum tercukupi yang menjadi latar belakang tindakannya.
Terakhir, guru bertanya tentang keyakinan kelas atau keyakinan sekolah apa yang dilupakan atau yang perlu ditingkatkan. Dengan kembali menyadari keyakinan kelas yang berisi nilai-nilai kebajikan universal, kita berharap murid akan kembali melakukan perbuatan yang semestinya. Dengan cara seperti itu, perubahan yang terjadi akan muncul dari kesadaran diri siswa yang bersangkutan.
Dalam sebuah refleksi di pelatihan elaborasi pemahaman, kebanyakan guru menyatakan bahwa mereka masih berada pada posisi kontrol sebagai penghukum. Posisi sebagai penghukum adalah posisi kontrol terendah dari lima posisi kontrol yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Saya pribadi, di awal-awal sebagai pendidik juga melakukan hal yang sama. Namun demikian, posisi sebagai penghukum itu sungguh melelahkan secara psikis karena kita harus mengambil posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan siswa. Â Dalam perkembangan berikutnya saya sering memilih posisi sebagai teman demi kenyamanan. Ternyata itu pun belum cukup. Yang ideal adalah posisi sebagai manajer. Itu pula yang diidam-idamkan oleh para guru setelah menerima pelatihan ini. Demikian juga dengan saya.
Pertanyaan dan Tantangan
Pertanyaan yang selama ini menggelitik dalam benak saya adalah benarkah metode atau strategi restitusi ini benar-benar efektif untuk membangkitkan kesadaran para murid dalam melakukan perubahan perilaku? Selama ini saya sudah mempraktikkan segitiga restitusi tersebut, tetapi masih sebatas simulasi atau praktik dengan skenario. Saya belum menerapkannya benar-benar ketika berhadapan dengan situasi nyata atau ketika menghadapi masalah dengan siswa. Sharing praktik baik tentang pengalaman pelaksanaan metode ini dari para pembaca akan sangat membantu banyak pihak. Para kompasianer bisa berbagi praktik baiknya.
Namun demikian, yang perlu diingat, teori ini merupakan hasil penelitian yang terpercaya. Jadi dengan usaha yang konsisten dan kontinyu dari waktu ke waktu, saya yakin bahwa segala hal tentang budaya positif dalam tulisan ini akan membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan.
Tantangan besar lain yang harus dihadapi adalah untuk menerapkan praktik segitiga restitusi atau budaya positif ini butuh sosok guru yang disegani, yang berwibawa. Jika sosok guru yang akan melaksanakan praktik segitiga restitusi ini kurang berwibawa atau bahkan menjadi sasaran bullying murid (seperti kasus guru yang dibully oleh siswa SMK beberapa tahun lalu), strategi atau metode sebaik apa pun tidak akan pernah berhasil. Solusinya adalah proses rekruitmen tenaga pendidik harus benar-benar selektif. Bukan hanya sekadar menampung guru dengan kapabilitas yang dipertanyakan.
Budaya Positif, Pemikiran Ki Hajar Dewantara, dan Visi Guru Penggerak
Untuk melakukan transformasi pendidikan secara total, kita perlu memberikan dasar filosofis yang kuat yang menjadi alasan pentingnya perubahan itu. Dasar filosofis tentang pendidikan tersebut kita dapatkan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik harus menuntun murid sesuai kodratnya. Berarti anak harus dituntun sesuai dengan kebutuhannya yang bersifat personal.
Dalam melakukan perubahan tersebut kita harus berpegang pada nilai-nilai yang kita yakini, yaitu reflektif, mandiri, inovatif, kolaboratif, dan semuanya harus berpihak pada murid. Semua nilai itu harus diimplementasikan melalui peran-peran yang dimainkan oleh para guru penggerak. Peran sebagai guru pernggerak tersebut meliputi peran sebagai pemimpin pembelajaran, coach bagi guru lain, pendorong kolaborasi, pewujud kepemimpinan murid, dan penggerak komunitas praktisi.
Untuk melakukan perubahan atau transformasi pendidikan dibutuhkan pula gambaran akhir atau cita-cita yang jelas. Gambaran akhir atau cita-cita perubahan itu harus dirumuskan dalam kalimat visi yang bisa menggerakkan dan menggetarkan hati banyak orang untuk mencapainya
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut dibutuhkan budaya positif yang harus menjiwai seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, hingga seluruh siswanya. Demikian tulisan ini, komentar yang membangun sangat saya harapkan. Guru bergerak, Indonesia maju. Untuk membaca tulisan pertama dari dua seri tulisan ini silakan klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H