Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menciptakan Budaya Positif di Sekolah (2)

27 Oktober 2022   19:32 Diperbarui: 27 Oktober 2022   19:44 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi. Bazar makanan tradisional dalam acara Proyek P5 (Kearifan Lokal) di SMP TNH Kota Mojokerto

Posisi Kontrol Guru dan Segitiga Restitusi

Dalam upaya melaksanakan disiplin positif, guru memiliki beberapa pilihan posisi kontrol. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Gossen menyimpulkan ada lima posisi yang bisa diterapkan guru dalam mengontrol para murid. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

Dalam mengontrol para murid, guru harus berupaya secara bertahap untuk memposisikan diri dalam tingkatan manajer. Dalam posisi manajer guru menuntun murid untuk mencari solusi atas kekurangan atau permasalahan yang dihadapi murid. Guru juga perlu menuntun murid untuk menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Dalam posisi manajer, guru mengajak murid untuk menganalisis kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang lain.

Kesalahan yang dilakukan murid merupakan bagian dari proses pembelajaran. Oleh karenanya, yang menjadi fokus utama bukan hukuman apa yang harus diterima murid atau konsekuensi yang harus dijalani murid, tetapi murid bersama guru secara bersama-sama berkolaborasi memperbaiki kesalahan yang ada. Tentu saja dengan penuh kesadaran karena langkah perbaikannya sesui dengan nilai yang diyakini oleh murid.

Sebagai seorang manajer, guru harus sudah menguasai keterampilan dalam posisi sebagai teman dan pemantau. Hal ini karena suatu ketika peran sebagai teman dan pemantau itu sesekali masih dibutuhkan guru ketika mengambil posisi sebagai manajer. Dalam posisi sebagai pemantau guru fokus pada peraturan dan konsekuensi atau sanksinya. Sementara itu dalam posisi sebagai teman hubungan antara guru dan murid lebih akrab. Murid biasanya mengandalkan atau meletakkan kepercayaan yang tinggi kepada guru.

Dalam posisi sebagai manajer saat berhadapan dengan siswa yang melakukan kesalahan sebenarnya bisa dijabarkan ke dalam tiga langkah restitusi. Ketiga langkah restitusi yang dimaksud adalah (1) menstabilkan identitas, (2) validasi tindakan yang salah/validasi kebutuhan (3) menanyakan keyakinan. Dalam kondisi emosi yang tidak stabil, seorang murid harus distabilkan, dibuat tenang,   dan dikembalikan ke dalam identitas sukses, bukan identitas gagal. Dalam langkah validasi tindakan yang salah, murid dituntun untuk menyadari bahwa tindakan yang dilakukan memang tindakan yang tidak tepat atau salah. Bersamaan dengan itu guru juga memvalidasi kebutuhan murid yang belum tercukupi yang menjadi latar belakang tindakannya.

Terakhir, guru bertanya tentang keyakinan kelas atau keyakinan sekolah apa yang dilupakan atau yang perlu ditingkatkan. Dengan kembali menyadari keyakinan kelas yang berisi nilai-nilai kebajikan universal, kita berharap murid akan kembali melakukan perbuatan yang semestinya. Dengan cara seperti itu, perubahan yang terjadi akan muncul dari kesadaran diri siswa yang bersangkutan.

Dalam sebuah refleksi di pelatihan elaborasi pemahaman, kebanyakan guru menyatakan bahwa mereka masih berada pada posisi kontrol sebagai penghukum. Posisi sebagai penghukum adalah posisi kontrol terendah dari lima posisi kontrol yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Saya pribadi, di awal-awal sebagai pendidik juga melakukan hal yang sama. Namun demikian, posisi sebagai penghukum itu sungguh melelahkan secara psikis karena kita harus mengambil posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan siswa.  Dalam perkembangan berikutnya saya sering memilih posisi sebagai teman demi kenyamanan. Ternyata itu pun belum cukup. Yang ideal adalah posisi sebagai manajer. Itu pula yang diidam-idamkan oleh para guru setelah menerima pelatihan ini. Demikian juga dengan saya.

Pertanyaan dan Tantangan

Pertanyaan yang selama ini menggelitik dalam benak saya adalah benarkah metode atau strategi restitusi ini benar-benar efektif untuk membangkitkan kesadaran para murid dalam melakukan perubahan perilaku? Selama ini saya sudah mempraktikkan segitiga restitusi tersebut, tetapi masih sebatas simulasi atau praktik dengan skenario. Saya belum menerapkannya benar-benar ketika berhadapan dengan situasi nyata atau ketika menghadapi masalah dengan siswa. Sharing praktik baik tentang pengalaman pelaksanaan metode ini dari para pembaca akan sangat membantu banyak pihak. Para kompasianer bisa berbagi praktik baiknya.

Namun demikian, yang perlu diingat, teori ini merupakan hasil penelitian yang terpercaya. Jadi dengan usaha yang konsisten dan kontinyu dari waktu ke waktu, saya yakin bahwa segala hal tentang budaya positif dalam tulisan ini akan membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun