Mohon tunggu...
Gayuh Arya Hardika
Gayuh Arya Hardika Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat dan Praktisi Hukum

Simple, Humble and Warm | lurah.dargombes@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengangkatan Susi Pudjiastuti Bagian dari Revolusi Mental?

28 Oktober 2014   09:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia? [Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia]

Setelah pengumuman kabinet pemerintahan Jokowi pada hari Minggu petang (26/10), publik digegerkan oleh ditunjuknya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jika menteri-menteri lain minimal bergelar sarjana dan ada yang doktor bahkan profesor, tidak demikian halnya dengan Susi. Ia hanya lulusan SMP karena ketika kelas 2 SMA memilih berhenti sekolah.

Selama ini, diakui atau tidak, budaya yang tumbuh dalam masyarakat kita adalah menilai seseorang dari gelar yang dimiliki; dari ijazah dan surat-surat resmi yang digenggamnya. Seseorang yang memangku jabatan publik di pemerintahan, sekalipun ia tidak membawa perubahan apapun, selama ia masih mempunyai gelar dan ijazah yang mentereng, masyarakat masih menganggap ia pantas menduduki jabatan tersebut karena ijazahnya.

Maka tidak heran bila masyarakat heboh atas pengangkatan Susi yang hanya tamatan SMP menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Sekalipun faktanya Susi telah berhasil membangun bisnisnya dari nol menjadi besar seperti sekarang dan mempekerjakan banyak sarjana, sebagian masyarakat masih mempersoalkan ke-SMP-annya. Fakta atas kemampuan dan kompetensi Susi yang berhasil membangun usaha dari nol hingga seperti sekarang punya sekitar 50 pesawat terbang itu merupakan prestasi yang luar biasa, dinafikkan. Sebagian masyarakat menilai tamatan SMP tidak layak menjadi menteri.

Pertimbangan secara Matang

Saya yakin, penunjukan Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah melalui pertimbangan yang matang. Jokowi melihat keberhasilan nyata Susi yang memulai bisnis dari nol hingga seperti sekarang; dari berdagang ikan hingga punya maskapai penerbangan. Pengalaman dan pengetahuan empirik Susi dipandang lebih saat ini lebih tepat untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.

Jokowi pasti menyadari bahwa banyak orang pandai dan mumpuni di bidang kelautan dan perikanan, namun kenyataannya selama ini sektor kelautan dan perikanan seperti jalan di tempat. Seorang sarjana, doktor dan profesor mungkin saja mempunyai banyak pengetahuan tentang kelautan dan perikanan, tetapi bila mereka tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan tata kelola secara empirik, maka yang dihasilkan mungkin hanya regulasi dan kebijakan di atas kertas yang implementasinya kadangkala tidak berdampak positif signifikan terhadap kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan dan perikanan.

Ya, meminjam dari Pramoedya Ananta Toer, kehidupan lebih nyata dari pendapat siapapun tentang kenyataan. Dalam banyak kesempatan, sebelum menjadi Presiden RI, Jokowi berulang kali menyatakan bahwa banyak kebijakan, program kegiatan dan rencana pemerintah yang bagus, tapi sayangnya eksekusi dan implementasinya kurang berjalan baik sehingga tidak berdampak nyata pada masyarakat.

Pada konteks ini bisa dipahami pilihan Jokowi mengangkat Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan adalah agar Susi bisa menjadi “direktur perusahaan” di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Agar Susi bisa mengeksekusi dan mengimplementasikan kebijakan secara nyata dan berdampak riil terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana yang telah ia lakukan ketika merintis dan menjalankan bisnis.

Bagian dari Revolusi Mental?

Saya percaya bahwa ilmu tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan formal seseorang, tetapi ilmu berbanding lurus dengan kemauan belajar seseorang. Sekalipun tidak sekolah formal, selama seseorang itu mau belajar, ia akan mendapatkan ilmu. Seperti Susi Pudjiastuti. Sebaliknya, walaupun setiap hari berangkat ke kampus dan masuk kelas, tetapi jika tidak mempunyai kemauan belajar, tidak akan mendapatkan ilmu.

Sekolah dan belajar adalah dua hal yang berbeda. Namun sayangnya sebagian masyarakat masih belum menyadarinya. Seolah-olah dengan bersekolah, maka otomatis akan mempunyai ilmu. Seolah-olah seorang doktor pasti lebih ahli daripada sarjana. Seolah-olah dengan selembar ijazah bisa menyelesaikan persoalan riil. Padahal suatu persoalan itu bisa diatasi bukan atas dasar ijazah, melainkan atas dasar ilmu yang termanifestasikan secara empirik.

Pemahaman yang [hampir] menjadi budaya dalam masyarakat yang lebih melihat dan mengutamakan strata pendidikan formal daripada kemampuan yang lebih substansial, menurut saya adalah sesuatu yang perlu diubah. Mental yang lebih mengutamakan ijazah daripada ilmu dan kemampuan, sudah sepatutnya ditanggalkan dan ditinggalkan. Kita mahfum peradaban yang maju dan kemajuan itu sendiri mempunyai prasyarat bahwa ilmu dan kemampuan harus ditempatkan sebagaimana mestinya.

Ketika menjadi Gubernur DKI, Jokowi telah melakukan terobosan lelang jabatan untuk mendapatkan pejabat yang berkompeten atas dasar ilmu dan kemampuan. Jokowi menyadari bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang berorientasi pada kebijakan dan pelayanan yang berdampak positif nyata pada masyarakat, ilmu dan kemampuan pejabat maupun aparat birokrasinya menjadi parameter utama.

Ketika masih menjadi calon presiden, Jokowi menawarkan Revolusi Mental sebagai kata kunci untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju dan lebih baik. Kini, sejak 20 Oktober 2014, Jokowi telah resmi menjabat sebagai Presiden RI. Maka terkait penunjukan Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP sebagai menteri—yang sepertinya mencerminkan Jokowi lebih memandang ilmu, kemampuan dan pengalaman daripada gelar dan ijazah—apakah hal tersebut merupakan bagian dari agenda Revolusi Mental? Mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun