Mohon tunggu...
Rizky Ramadhan
Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Kang Tulis -

Saya Rizky Ramadhan. Cuma nulis dan baca di sini, Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Piala Dunia di Tahun Politik

18 Juni 2014   18:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sepakbola, adalah rolemodel bagi sebuah peradaban. Khususnya Piala Dunia, penyelenggaraan sebuah kompetisi antarnegara yang tanpa pandang bulu --negara maju atau berkembang atau miskin-- membuat piala dunia menjadi gairah tersendiri bagi seluruh warga dunia, tidak ada pengecualian. Sebut saja Brasil, sebuah negara berkembang, yang memiliki Timnas dengan segudang prestasi dan masih tercatat sebagai pemegang rekor Timnas yang paling banyak meraih gelar juara pada perhelatan empat tahunan ini.

Tapi alasan untuk meraih gelar juara lebih banyak lagi, tak ampuh menjadi sebuah jaminan bagi rakyatnya, karena nyatanya gelaran piala dunia kali ini --di mana Brasil menjadi Tuan Rumah-- tidak selalu menjadi gairah positif bagi mereka. Pergelaran Piala Dunia ini justrudijadikan momentum oleh sebagian kelompok di Brasil untuk mengkritik pemerintahannya. Demonstrasi menentang pergelaran Piala Dunia menjadi isu yang disoroti oleh dunia menjelang perhelatan ini.

Pada dasarnya, Brasil mirip seperti Indonesia --bukan dari segi sepakbola--, sama seperti Indonesia, Brasil adalah negara berkembang yang negaranya masih banyak diisi dengan masyarakat yang menikmati hidup di bawah garis kemiskinan. Khas dari sebuah negara berkembang, terdapat jurang tinggi yang memisahkan antara si kaya dan si miskin, menjadi tolok ukur gairah negatif dari Piala Dunia. Sebut saja isu permintaan kenaikan gaji sebesar 12% dari serikat pekerja Metro (jaringan kereta api) atau aksi demonstrasi menolak pergelaran 'Wah' karena dinilai kontras dengan keadaan negara. Hal tersebut memang bukan tanpa alasan, pasalnya dana yang digelontorkan oleh pemerintah Brasil untuk mempersiapkan Piala Dunia ini tak tanggung-tanggung, 11 miliar dollar Amerika Serikat!Rakyat Brasil pun menggugat.

Aksi menggugat perhelatan akbar Piala Dunia yang dilakukan oleh sekelompok orang di Brasil sempat menjadi kecemasan. Bukan hanya oleh pemerintahan Brasil sendiri, melainkan juga seluruh negara peserta Piala Dunia yang sudah menantikan ini semua. Sebuah puncak perjuangan, bagi para atlet terbaik di masing-masing negeri, untuk membuktikan diri sebagai seorang yang lahir dan bermain untuk negaranya. Tak kurang, seluruh warga dunia pun sangat antusias untuk menyaksikan sejarah sepakbola dunia selanjutnya. Maka Presiden Brasil Dilma Rousseff tak memiliki alasan untuk tidak menyelesaikan pekerjaannya.

Toh pada waktunya, Brasil berhasil merampungkan 12 stadion megah di 12 kota yang indah, juga membangun segala infrastruktur penunjang yang diperlukan, dan tak ketinggalan pula pemerintah berhasil meredam aksi demonstrasi, barangkali, dengan semangat menjunjung tinggi peradaban sepakbola. Brasil berhasil menepis keraguan, maka pada 12 Juni lalu, warga dunia menyaksikan pesta pembukaan perayaan Piala Dunia yang ke- 19 di Arena Corinthians. Dengan lagu We Are One (Ole Ola) yang dinyanyikan Jennifer Lopez, Pitbull dan Claudia Leitte. Alhasil, Brasil sukses membuktikan diri sebagai negara berkembang yang peduli pada peradaban sepakbola.

***

Brasil merupakan negara yang berpenduduk 200 juta jiwa, negara tersebut berada di bawah Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa. Rakyat Brasil masih percaya bahwa mereka tak akan pernah kehilangan talenta. Setelah masa Pele 'Sang Legenda' berakhir, lahir seorang Romario, dan kemudian muncul sosok fenomenal Ronaldo. Brasil memang tak pernah kehilangan talenta. Selain empat nama yang bersinar di Piala dunia itu, kini muncul kembali jago mereka yakni seorang Neymar Jr.

Brasil memang menjadi negara yang rajin menyumbang pemain-pemain top kelas dunia. Berawal dari sekolah akademi yang ada di negerinya, pemain-pemain yang memiliki bakat sepakbola diasah sedemikian rupa agar memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bertarung menjadi juara. Di Brasil, pada setiap klub yang berdiri selalu disertakan pula pembinaan sepakbola untuk anak usia dini sebut saja dua akademi sepakbola yang masuk dalam jajaran akademi terbaik, yakni Santos dan Gremio. Hal tersebut membuat amunisi Brasil tak pernah habis ketika dibutuhkan. Nampaknya tak sulit buat Brasil untuk menemukan 23 talenta di antara 200 juta jiwa warga negaranya untuk diikutsertakan dalam Piala Dunia

Lain Brasil, lain pula Indonesia. Meski memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dari Brasil, lemari Timnas Indonesia bisa dikatakan sepi prestasi. Sepakbola memang masih menjadi permainan favorit bagi setiap anak bangsa, tapi hal tersebut tidak berhasil diakomodir oleh infrastruktur serta sistem yang tepat untuk mengembangkan minat dan bakat mereka dalam urusan sepakbola. Indonesia dapat dikatakan lemah dalam hal pengelolaan pemain dari jenjang yang paling rendah. Maka kemudian wacana tentang jumlah penduduk Brasil yang memudahkan negara tersebut selalu memiliki talenta luar biasa dalam sepakbola pun patah. Nyatanya lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' --lagu kebangsaan sebuah negara yang berpenduduk 240 juta--, sampai saat ini tak pernah diperdengarkan dalam sebuah pertandingan putaran final Piala Dunia.

Barangkali kita hanya bisa iri, melihat betapa megahnya peradaban sepakbola lewat kacamata Piala Dunia. Ia --Piala Dunia-- berawal dari peradaban kecil yang disebut Federasi atau persatuan atau asosiasi di setiap negara yang memayungi seluruh pemain sepakbola yang lahir atau memilih untuk menjadi pesepakbola. Rangkaian elemen terkecil dari pelosok negeri turut berperan dalam menciptakan sebuah permainan, tontonan, dan --dapat disebut pula-- barang dagangan yang menarik yang bernama piala dunia. Penyelenggara liga domestik, pengurus akademi sepakbola, serta para pencari talenta di seluruh penjuru dunia, semuanya ambil bagian dalam terselenggaranya Piala Dunia.

Namun, bukan hanya mereka para praktisi sepak bola yang membuat piala dunia tampak menarik. Hampir separuh warga dunia menjadi saksi sejarah sepakbola, dari masa ke masa, dan Indonesia salah satu negara yang paling antusias terhadap pesta sepakbola empat tahunan ini. Indonesia tahun ini memang berperan untuk menjadi penonton saja. Menurut data yang dilansir FIFA, 60% penduduk Indonesia minimal menonton pertandingan piala dunia selama 20 menit awal pada piala dunia 2010 di Afrika Selatan, jelas itu adalah sebuah prestasi tersendiri bagi Indonesia.

Setidaknya itu membuktikan, bahwa Indonesia adalah negara yang berdarah sepakbola dan memiliki suporter yang fanatis dan --barangkali-- apatis. Maka jangan heran, kalau setengah dari mereka, yang menonton itu, tak lagi pernah bertanya, kemana para punggawa Timnas selama ini, bagaimana cara latihannya, kenapa mereka selalu kalah, dan kenapa tidak ikut serta dalam putaran final piala dunia? atau yang lebih parah lagi --dan ini tidak sedikit-- sebagian lainnya sudah tak menaruh harap pada sepakbola Indonesia.

Bukan tanpa alasan sebagian dari mereka memilih jalan pikiran yang demikian, pasalnya dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, praktis Timnas sepakbola Indonesia tak pernah menunjukkan tajinya di dunia internasional. Prestasi terbaik Timnas Indonesia yang bisa kita banggakan hanyalah medali emas di ajang SEA Games '56 di Negeri sendiri dan tahun '91 di Filipina. Selebihnya, rakyat Indonesia lebih terbiasa dengan Timnas Indonesia yang kalahan, lebih parah lagi, rakyat Indonesia disuguhkan kontroversi dualisme kepengurusan dalam dunia Persepakbolaan nasional, Persatuan Sepakbola kita sempat rusak oleh orang-orang yang berebut kekuasaan. Indonesia pun kini dikenal sebagai penonton tanpa Timnas yang mampu berbicara banyak. Ya, setidaknya dengan menjadi penonton kita masih turut ambil peran dalam peradaban sepakbola dunia.

***

Piala dunia di tahun politik memang menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi negeri kita. Masyarakat yang sempat 'diracuni' oleh kampanye hitam, sampai pada akhirnya saling mencurigai kanan-kiri sekarang menjadi agak lebih santai karena sepakbola. Sebuah jeda, yang jauh dari nilai-menilai, percaya atau tidak percaya, saling maki, atau saling hujat. Sebuah permainan yang disuguhkan, kebetulan di salah satu televisi berita nasional di Indonesia, merupakan permainan sepakbola yang indah kelas dunia, dan yang terpenting: Tak ada unsur politik dalam tontonan kita.

Tapi nampaknya tidak demikian yang terjadi di Brasil. Tahun ini, tepatnya bulan Oktober nanti, Brasil juga akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Maka tidak heran bila ada gelombang penentang diselenggarakannya Piala Dunia di Brasil dari pihak internalnya sendiri. Toh pada akhirnya sepakbola adalah sepakbola. Yang berjalan seperti apa adanya, yang tak terpengaruh pada kepentingan politik, yang tetap berpegang teguh pada azas 'fairplay', dan kemenangan Brasil di kandang sendiri --yang konon dapat mendongkrak elektabilitas presiden incumbent-- meski hal tersebut belum bisa dipastikan.

Tapi apapun itu, sebuah ajang Piala Dunia adalah sebuah ajang yang membanggakan bagi setiap negara yang berhasil menyelenggarakannya. Brasil tetaplah Brasil, entah tahun ini menjadi juara atau tidak. Toh empat tahun lalu, saat Brasil baru saja dikalahkan oleh Belanda di ajang Piala Dunia, Roussef masih bisa meraup suara maksimal untuk menduduki kursi presiden sampai saat ini. Maka jika penyelenggaraan piala dunia disebut-sebut sebagai alat politik, barangkali agak keliru. Tak ada jaminan Brasil bisa menjadi juara, karena di sana masih ada Belgia dengan generasi emasnya, Jerman dengan semangat penghancurnya, ada Belanda dengan Menir Van Gaal-nya, juga jangan lupakan Italy dengan Andrea Pirlo yang semakin tua semakin gila.

Roussef, barangkali, hanya mengharapkan hiburan yang megah untuk rakyatnya, untuk sebentar saja melupakan sulitnya hidup; membuka lapangan pekerjaan dan membuka potensi investasi baru di negerinya. Ya, piala dunia sebagai jeda yang menguntungkan. Piala Dunia sebagai pengingat untuk sejenak berhenti berkutat pada pikiran yang pelik tentang politik. Dan tentang politik, sepakbola memiliki sebuah sistem demokrasi tersendiri. Mereka yang dijagokan tak harus menang, mereka yang menjadi underdog tetap hidup dalam sejarah yang tak terlupakan.

Maka terlalu naif rasanya bila tudingan ada niat politik tertentu dibalik diselenggarakannya piala dunia di Brasil. Seolah Roussef sedang menggantungkan nasib suaranya dibalik punggung Neymar Cs. Kalau pun memang itu benar terjadi, rasanya ia patut berhati-hati: karena sepakbola adalah sebuah agama dengan dewa-dewa yang juga bisa kalah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun