Mohon tunggu...
bjogja key
bjogja key Mohon Tunggu... -

No body perfect

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Saya Khawatirkan Dari Jokowi...

31 Mei 2014   14:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu saya sangat mengagumi Pak Jokowi ketika sedang ramai-ramainya Pilgub DKI. Alasan saya sederhana. Pak Jokowi adalah sosok pemimpin sederhana, merakyat, dengan wajah ndesa dan hobi blusukan. Sungguh beliau beda 180 derajat dengan kebanyakan pejabat lain.

Waktu pun terus berjalan. 1,5 tahun sudah Pak Jokowi menjalankan tugas sebagai Gubernur DKI. Selama itu pula setiap gerak-gerik beliau tak pernah lepas dari pantauan media. Dan bukan hanya media yang memantau gerak-geriknya, tetapi sejumlah lembaga survey mulai ikut-ikutan merilis hasil survey yang menunjukkan bahwa elektabilitas Pak Jokowi adalah yang tertinggi sebagai kandidat calon presiden 2014. Saat itu saya masih percaya, insya Allah Pak Jokowi tidak akan tergoda bujuk rayu lembaga-lembaga survey. "nggak mikir, nggak mikir...". Jawaban itulah yang aku paling suka dari beliau ketika ditanya kesiapannya dicalonkan pada pilpres 2014.

Faktor lain yang membuatku yakin kala itu bahwa Jokowi tidak akan tergoda untuk dicapreskan adalah ingatanku pada sosok Pak Amien Rais yang menolak dicapreskan poros tengah pada Pilpres 1999. Sebagaimana diketahui, dulu Pak Amien telah dilantik sebagai ketua MPR periode 1999-2004. Namun 11 hari kemudian, desakan begitu kuat datang dari politisi-politisi Partai Islam plus Golkar agar Pak Amien bersedia dicalonkan dalam Pilpres melawan Megawati yang partainya memenangi Pemilu 1999. Dalam Satu Jam Lebih Dekat TV One beberapa waktu lalu Pak Amien mengatakan, dia merasa berdosa jika harus mencederai amanah yang telah dibebankan ke pundaknya hingga 5 tahun mendatang. "Kalau Pak Amien yang karakternya keras dan saat itu terlihat ambisius saja sanggup mengerem syahwat politiknya lantaran sudah diberi amanah sebagai ketua MPR, apalagi Pak jokowi yang penampilannya kalem, sederhana dan merakyat. Tentu Pak Jokowi nggak akan tergoda meninggalkan DKI-1 di tengah jalan demi RI-1", pikir saya kala itu. Terlebih Pak Jokowi pernah menyatakan komitmennya untuk memimpin DKI Jakarta selama 5 tahun dan tidak akan menjadi kutu loncat (lihat di http://megapolitan.kompas.com/read/2012/09/20/13522152/Jokowi.Janji.Pimpin.Jakarta.Sampai.Tuntas)

Sayangnya, pada akhirnya Pak Jokowi tergoda juga.  Saya tidak menyalahkan...Siapapun yang berada pada posisi beliau, tentulah sangat susah untuk menolak peluang manis kekuasaan yang ditawarkan di depan mata. Tapi jujur, saya teramat khawatir. Saya lihat para pendukung Pak Joko begitu mengultuskan beliau. Mulanya Pak Jokowi disamakan dengan Sahabat Nabi Umar bin Khattab. Lama-lama beliau dibanding-bandingkan dengan Jesus dan Nabi Muhammad SAW. Sampai sebegitukah? Ingatan saya tiba-tiba melayang pada sejumlah figur yang kerap mendapat predikat guru bangsa, yang awalnya mereka begitu dikultuskan sedemikan rupa...namun akhirnya terjungkal dari kekuasaan karena terlena dengan sanjungan dan pengultusan. Bung Karno yang dulu dipuja-puji sebagai "penyambung lidah rakyat" terhempas dari tahta RI-1 setelah terlalu percaya diri memaksakan ideologi Nasakom. Pak Harto yang disanjung-sanjung sebagai "Bapak Pembangunan" harus lengser dengan tidak terhormat lantaran terlalu yakin, dirinya masih sanggup membenahi carut-marut permasalahan bangsa di kala usia sudah senja. Gus Dur yang oleh para pendukungnya sampai dijuluki wali juga terjungkal dari tahtanya lantaran kurang bisa introspeksi diri serta membaca situasi. Oh lihatlah! sosok yang dahulu banyak dipuja-puji melebihi batas kepatutan akhirnya terpelanting dengan keras melebihi batas kepatutan pula.

Hal berikutnya yang bikin saya khawatir, jujur...bintang Pak Jokowi terlalu cepat meroket. Saya jadi ingat dengan Briptu Norman yang tiga tahun lalu menghebohkan jagad hiburan tanah air dengan goyang chaiyya-chaiyya nya. Norman Camaru yang tadinya hanya seorang polisi berpangkat Briptu tiba-tiba menjelma menjadi seorang superstar dalam sekejap. Sayang, Norman terlena oleh popularitas dan sanjungan media. Dengan gegabahnya, ia tinggalkan seragam kebanggaan demi predikat artis. Norman gagal mawas diri, vokalitasnya sebagai penyanyi sangat pas-pasan. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kebintangan seorang Norman yang tadinya meroket dalam sekejap, tiba-tiba meredup dalam sekejap pula.

Ah, sungguh sangat disayangkan Pak Joko tidak mau belajar dari itu semua. Amanah yang telah dibebankan di pundak, sanjungan yang melebihi batas kepatutan, hingga popularitas yang meroket dalam sekejap bisa saja berbuah malapetaka bila yang bersangkutan kurang bisa mawas diri dalam menyikapinya. Saya sangat tidak mengharapkan, apa yang menimpa Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur hingga Briptu Norman terjadi pada anda, Pak Joko. Mohon maaf Pak Jokowi, untuk beberapa hal saya mengagumi anda... Oleh karena itu saya 100% mendukung anda untuk menuntaskan tugasnya sebagai Gubernur DKI hingga 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun