Mohon tunggu...
Biyanca Kenlim
Biyanca Kenlim Mohon Tunggu... Pekerja Mıgran Indonesia - Yo mung ngene iki

No matter how small it is, always wants to be useful to others. Simple woman but like no others. Wanita rumahan, tidak berpendidikan, hanya belajar dari teman, alam dan kebaikan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Kruk untuk Mang Hadi

27 Juli 2016   07:10 Diperbarui: 27 Juli 2016   07:24 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jelang siang hari, pasar itu penuh sesak. Teriakan para pedagang dan pembeli yang menawar tumpang tindih semakin  riuh,  di tambah lagi pencahayaan yang kurang, tambah pengab saja suasana ruang yang sebenarnya sangat luas ini.

Namun karena besok adalah lebaran Syawal, orang biasa menyebut Syawalan, maka masyarakat tumpah ruah memenuhi pasar, membeli apa yang diperlukan. Harga yang masih mengikuti tarif lebaran, tidak menyurutkan minat belanja kebutuhan dapur.

Sambil keluar dari kerumunan, ku gandeng tangan mungil Adinda, Adinda Larasati, putri sulung ku yang berusia 9 tahun. Nampak wajahnya memerah, peluh bercucuran di keningnya. Kuusap dengan sapu tangan kecil yang selalu kubawa dalam tas kecil yang tersampir di pundakku .

"Adek capek? haus yah?"

Yang di tanya malah ngelendot, membenamkan wajahnya diperutku sambil memainkan ujung rambutnya .

Aku menurunkan tubuh, berjongkok, hingga posisi kami sama tinggi. Ku usap pipinya yang tembem memerah , chubby.

"Adek mau beli es krim apa es dawet ayu?" tanyaku mengulang.

Tiba-tiba , wajah Adinda berubah berseri, matanya berbinar indah sekali , sambil memegang pundakku dia berkata ..

"Ibu, boleh gak uang yang mau buat beli es krim, untuk Adinda?" tanyanya sambil menatapku dalam.

"Emang uangnya mau buat apa?"

"Itu" ..jari tangannya menunjuk ke sesorang yang bersimpuh di lantai. Di depannya ada kaleng bekas susu pertumbuhan bagi remaja berwarna hijau, untuk menampung sumbangan dari orang yang berlalu lalang di area jalan masuk pasar itu.

"Oh, Mang Hadi" gumamku sambil mengeluarkan lembar hijau dua puluh ribuan dari dalam dompet panjang warna coklat.

"Kasihkan semua" ujarku sembari tersenyum, meruntuhkan keraguannya.

"Terima Kasih Bu, "  tangan kanannya menggenggam lembar uang, tangan kiri merengkuh leher, mencium pipi kanan ku.

Setiap ikut ke pasar, atau kebetulan melewati jalan ini, Adinda  putri aku, selalu meminta uang kecil, biasanya lembar duaribu atau limaribu  kuberikan,  dan ia berlari ke arah kaleng warna hijau yang menemani laki laki yang duduk bersimpuh tak bisa jalan itu, namanya Mang Hadi, kata Adinda yang menanyakan sendiri di suatu hari.

***

Malam harinya kami duduk memutar di meja makan. Abi, Bapak mertua , Adinda dan Aku. Kami terbiasa makan malam bersama. Karena ini masih libur lebaran maka kegiatan makan bersama menjadi rutin tiga kali , sarapan, makan siang dan makan malam. Diselingi obrolan ringan, kadang kadang tawa kami pecah jika Abi atau Adinda yang suka melucu, berulah.

Tiba tiba Adinda menghentikan aktifitas makanya, dan melihat serius pada kami bertiga.

"Kakek, Abi, ibu, boleh gak Adinda memohon sesuatu?" Kamipun serentak menghentikan gerakan tangan.

"Oh, ya apa itu sayang?" Jawab Abi, penasaran, tangan masih memegangi sendok . Tatapan mengarah ke putri kesayanganya.

"Kakek, Abi, Ibu,  kan nenek sudah meninggal, sebelum sakit parah, Nenek dulu menggunakan alat bantu jalan, boleh kah alat bantu itu Adek minta, dan Adek kasihkan ke Mang Hadi?"

"Kruk, maksud Adek?"

"Iya , Abi!"

"Kasihan Mang Hadi, Abi tau gak, dia punya dua anak kecil yang harus  di kasih makan , Abi, sebenarnya dia bisa jalan dengan alat bantu, tapi dia gak punya uang untuk membelinya" wajahnya memandang kami dengan raut memelas.

"Kalau dia punya kruk, dia tidak perlu bayar ojek, juga tidak perlu merepotkan orang untuk membantu angkat Mang Hadi naik keatas motor, Abi, dan kata Mang Hadi, dia akan bekerja memilah sayur atau menjadi penjaga WC umum yang dipasar Abi!" lanjut Adinda serius, ucapanya begitu mengalir lancar bak orang dewasa.

Abi memandangku seakan minta persetujuan. Ku alihkan pandanganku pada Bapak mertua, karena rencanaku kruk itu saya simpan , siapa tahu nanti. Bapak mertua,memerlukan.

Kruk dan kursi roda itu dulu Aku beli untuk di pakai Ibu mertua yang terkena serangan struck . Sebelum meninggal sebulan yang lalu.

Adinda memang tahu lebih banyak tentang Mang Hadi, kadang saat aku tinggal masuk kedalam pasar, Adinda memilih duduk menemani Mang Hadi , dan mulut kecil Adinda tidak berhenti bertanya. Mang Hadi pun dengan sabar dan senang hati membiarkan Adinda disitu .

Aku menunggu jawaban Bapak mertua. Yang sempat terdiam. Sejurus kemudian Bapak berkata

"Benar kata Adinda, Mang Hadi lebih membutuhkan kruk itu, Saya tahu kamu sayang saya, tapi saya kan sekarang masih bugar, masih bisa jalan, dan doakan saya tidak terkena sakit apapun sebelum meninggal" Bicara Bapak serius, lanjutnya..

"Kalau perlu , itu kursi roda juga sekalian di kasihkan Mang Hadi, akan lebih membantu, jika Mang Hadi gak kuat jalan, istrinya bisa mendorong nya menggunakan kursi roda itu"

"Jangan pikirkan hal yang belum tentu terjadi , daripada menyimpan barang yang sebenarnya sangat di butuhkan bagi yang kekurangan, lebih baik hibahkan sekarang, bersyukurlah, kita masih di kasih sehat, dan rejeki yang cukup!" Dengan bijak Bapak meyakinkan kami.

Adinda turun dari kursi dan menghambur ke arah kakeknya,  nyempil di antara meja, Adinda memeluk kakek sambil tak henti ucapkan terimakasih .

"Terimakasih , Kakek, Abi, Ibu, dengan kruk itu, Mang Hadi bisa jalan kembali. Pasti  Nenek di surga juga senang” Ujarnya , wajah polosnya tampak bahagia.

"Ibu yang berterimakasih padamu nak, yang sudah membuka hati pikiran kami, agar bisa lebih peduli dan berbagi untuk mereka yang lebih membutuhkan" Ku peluk tubuh mungil bidadari kecil yang baik hati.

"Ayo habiskan dulu makannya, jangan biarkan nasinya menangis,  banyak di luaran sana yang gak cukup makan loh, besok kita antarkan kursi roda dan kruk itu buat Mang Hadi"

Kamipun meneruskan acara makan malam, dengan rasa suka cita dan hati yang bersyukur .

Tiga bulan berlalu, lantai tempat dimana Mang Hadi mencari nafkah kosong, bersih. Menurut cerita orang pasar, Mang Hadi menjadi tukang bersih bersih WC dan Mushola di belakang pasar. 

[caption caption="Milik RTC"]

[/caption]

*Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun