"Oh, Mang Hadi" gumamku sambil mengeluarkan lembar hijau dua puluh ribuan dari dalam dompet panjang warna coklat.
"Kasihkan semua" ujarku sembari tersenyum, meruntuhkan keraguannya.
"Terima Kasih Bu, " Â tangan kanannya menggenggam lembar uang, tangan kiri merengkuh leher, mencium pipi kanan ku.
Setiap ikut ke pasar, atau kebetulan melewati jalan ini, Adinda  putri aku, selalu meminta uang kecil, biasanya lembar duaribu atau limaribu  kuberikan,  dan ia berlari ke arah kaleng warna hijau yang menemani laki laki yang duduk bersimpuh tak bisa jalan itu, namanya Mang Hadi, kata Adinda yang menanyakan sendiri di suatu hari.
***
Malam harinya kami duduk memutar di meja makan. Abi, Bapak mertua , Adinda dan Aku. Kami terbiasa makan malam bersama. Karena ini masih libur lebaran maka kegiatan makan bersama menjadi rutin tiga kali , sarapan, makan siang dan makan malam. Diselingi obrolan ringan, kadang kadang tawa kami pecah jika Abi atau Adinda yang suka melucu, berulah.
Tiba tiba Adinda menghentikan aktifitas makanya, dan melihat serius pada kami bertiga.
"Kakek, Abi, ibu, boleh gak Adinda memohon sesuatu?" Kamipun serentak menghentikan gerakan tangan.
"Oh, ya apa itu sayang?" Jawab Abi, penasaran, tangan masih memegangi sendok . Tatapan mengarah ke putri kesayanganya.
"Kakek, Abi, Ibu, Â kan nenek sudah meninggal, sebelum sakit parah, Nenek dulu menggunakan alat bantu jalan, boleh kah alat bantu itu Adek minta, dan Adek kasihkan ke Mang Hadi?"
"Kruk, maksud Adek?"