Saat yang paling dinantikan bagi seorang perantau adalah bisa mudik atau pulang ke kampung halamannya. Tujuannya adalah untuk bisa berkumpul dan bercengkrama dengan orang tua, keluarga, dan sanak saudara. Ada kenikmatan dan kebahagiaan yang istimewa bagi pemudik saat bisa pulang ke kampung halamannya.Â
Di Indonesia mudik sudah menjadi tradisi tahunan yang dilaksanakan pada saat menjelang hari Raya Idhul Fitri atau di akhir tahun. Pada saat itu juga terjadi lonjakan arus lalu lintas kendaraan dan manusia yang sangat padat. Apalagi untuk wilayah kota metropolitan seperti Jakarta dan sekitarnya. Tahun lalu saja PT. Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat sebanyak 373.158 kendaraan yang meninggalkan Jakarta menuju arah timur, barat, dan selatan. Bahkan data Kementerian Perhubungan pada tahun lalu (2019) mencatat lebih dari 11 juta penumpang yang mudik dengan berbagai angkutan lebaran.
Itu  menandakan sebaran masyarakat desa yang ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya sangat tinggi. Namun perlu kita cermati bahwa fenomena mudik ini selalu menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari kemacetan, kecelakaan lalu lintas, dan tingginya kriminalitas. Ditambah lagi ganasnya covid-19 yang melanda Indonesia dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan.
Data terbaru yang disampaikan Ahmad Yurianto beberapa hari lalu menunjukkan tingginya angka  positif corona yang lebih dari 4000 kasus. Itu artinya ada penambahan  kasus positif yang tinggi setiap hari. Dalam skala dunia angka positif covid-19 sudah mencapai lebih dari 2 juta kasus.  Di Indonesia banyak yang beranggapan bahwa ketidakpatuhan terhadap himbauan untuk menjaga jarak (social distancing) menjadi penyebab tingginya sebaran covid-19 di beberapa kota besar.
Perlukah Mudik?
Beberapa waktu lalu Diana Dewi (Ketua Kadin DKI Jakarta) menyatakan ada 60% perusahaan di Jakarta yang telah meliburkan dan mempekerjakan karyawannya dari rumah "Work From Home (WFH)". Tujuannya agar dapat menekan angka sebaran covid-19 di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Apalagi Jakarta adalah wilayah zona merah dengan tingkat kasus positif covid-19 tertinggi se-Indonesia.
Dengan kondisi tersebut ternyata banyak warga pendatang atau perantau di Jakarta yang memanfaatkan masa liburnya dengan mudik pulang ke kampung halaman. Alasannya karena tekanan ekonomi dan kebutuhan biaya hidup yang tinggi saat harus di rumah saja. Selain itu, ada anggapan kedua yakni lebih baik mudik (berkumpul dengan keluarga di kampung) daripada harus bertahan di rumah dengan ketidakpastian.
Siapa yang berani menjamin jika setiap pemudik bebas dari covid-19 atau malah menjadi "hidden carrier covid-19" (pembawa covid-19 yang tidak terdeteksi). Tentu kita tidak ingin covid-19 ini tersebar sampai ke masyarakat pedesaan dan melumpuhkan sistem pertahanan hidup masyarakat di pedesaan. Sistem ketahanan pangan nasional kita sebagian besar bersumber dari desa. Bisa dibayangkan bila sistem ini lumpuh, maka persoalan bangsa akan semakin bertambah besar.
Lantas apa yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan pemudik dari kota ke desa?
Pertama, memastikan program bantuan sosial dari pemerintah tepat sasaran. Setidaknya itu memberi jaminan hidup bagi warga yang tidak mudik. Mereka pun pasti akan tetap tinggal bila ada yang memastikan kebutuhan pokok selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tercukupi.