[caption caption="LGBT di Indonesia"][/caption]
Belakangan ramai diberitakan kembali isu homoseksual. Di banyak tempat yang dimana masyarakatnya belum berpikir terbuka, kaum gay selalu berhadapan dengan konsekuensi dimana terenggutnya sebagian hak-hak hidup mereka. Kesempatan mereka untuk memilih pekerjaan, memilih busana, memilih teman, memilih tempat nongkrong, memilih ilmu untuk dipelajari, memilih penampilan, mencari pasangan, mengekspresikan pemikirannya dan membuat keputusan terbuka untuk menyesuaikan organ seksualnya. Perdebatan orientasi seksual sebagai penyakit yang perlu disembuhkan sudah terlalu usang dan jauh dari koridor ilmiah – artinya… sudah terlalu salah kaprah.
Orientasi seksual pun tidak ada kaitannya dengan moralitas, budaya, agama, latar belakang sosial. Jadi perdebatan bahwa LGBT tidak sesuai dengan budaya Indonesia sendiri juga tidak relevan adanya. Dan sangat kontraproduktif sekali jika memutus wacana/diskusi mengenai hak-hak seorang LGBT dan berhenti pada keputusan bahwa : kaum LGBT tidak akan menerima perlakuan yang sama seperti golongan masyarakat heteroseksual, selama sikap-sikap mereka di masyarakat masih berbenturan dengan aturan agama dan budaya. Masyarakat perlu bersikap terbuka dan adil, berjiwa besar mengalah pada ilmu pengetahuan bahwa orientasi seksual bukanlah kejahatan publik yang menodai budaya dan agama, sesuatu yang direkayasa apalagi sebuah penyakit yang seolah-olah bisa dan harus disembuhkan.
Mereka Yang Homophobic Ternyata Juga Penyuka Sesama Jenis
Berbagai kalangan masyarakat, dari akademisi, birokrat sampai anggota organisasi masyarakat memang menunjukan resistensi terhadap kaum LGBT. Sikap resistensi yang berlebihan ini umum disebut sebagai homophobic. Tapi catatan media pun mengungkapkan, bahwa banyak figur terkenal yang homophobic (anti LGBT) ternyata adalah penyuka sesama jenis.
Seorang pemuka agama Islam di Indonesia, Habib Hassan, yang tersohor di komunitasnya sendiri. Dia selalu menyerukan ajaran islam, tentu tidak akan secara terbuka mendukung homoseksual. Padahal ia kerap menggunakan nama besarnya untuk mencabuli murid-muridnya yg berkelamin sejenis. Lalu mantan teroris terkenal, Noordin M. Top, pentolan Jemaah Islamiyah yang berjuang secara radikal mengusung negara Islam. Di depan punya istri banyak, tapi di belakang juga punya suami. Menurut almarhum Mun'Im Idris, ahli forensik Indonesia, adapun saluran dubur Noordin M. Top berbentuk corong, indikasi sering melakukan hubungan seksual dengan sodomi.
Lalu, pemuka agama lain, Priest Martin McVeigh yang tidak sengaja memutar gay images slideshow di pertemuan para orang tua-murid SD; Angelo Balducci, a Gentleman of His Holiness yang ketahuan lagi nego gay prostitute dengan seorang germo; David Edwin Rapson : Mantan pastur katolik yang melecehkan murid-murid lelakinya yang berumur 10 tahunan; Ryan Muehlhauser : pastur di Lakeside Christian Church in Cambridge yang melecehkan 2 anak muda, ketika mereka sedang aktif dalam organisasi yang mengheteroseksualisasi kaum gay.
Ada juga politkus dan aktivis anti-gay yang ternyata gay banget. George Rekers, aktivis anti-gay tahun 80an ketangkap basah menyewa pelacur pria muda dari situs rentboy.com; Richard Curtis, Washington State Representative, dilaporkan oleh pelacur pria karena tidak membayar layanannya sesuai tarif yang disepakati; Glenn Murphy Jr., mantan ketua Young Republicans yang selalu menyerukan pandangan lurus akan keluarga dan orientasi seksual, tertangkap melakukan 'fellatio' kepada teman sesama jenis tanpa izin. David Dreier, Republican member of the U.S. House of Representatives, yang aktif menolak kampanye hak-hak gay, akhirnya muncul juga tuduhan atas dirinya melakukan hubungan seksual dengan staff lelakinya sendiri. Bruce Barclay, the Republican commissioner of Cumberland County, Pennsylvania, ketahuan mendokumentasikan aktivitas seksualnya bersama berbagai tamu pria dengan menggunakan video pengintai. Roy Ashburn, Senator California yang terkenal konservatif dan menolak segala wacana dukungan atas kaum gay, tertangkap basah keluar dari kafe homo bersama dengan pasangan lelakinya. Florida State Representative, Robert Allen, yang tidak pernah mendukung hak-hak gay dalam legislasi, tertangkap menawarkan diri melakukan 'fellatio' dengan bayaran $20 kepada polisi yang menyamar.
Tapi Bagaimana Seseorang Bisa Menjadi Homophobic?
Homophobic bukan persoalan agama, latar belakang sosial, ras, atau profesi. Artinya, siapapun bisa menjadi pelakunya. Penelitian yang dilakukan di Amerika dan Jerman yang kemudian diterbitkan Journal of Personality and Social Psychology menyatakan bahwa homophobic pun terkait dengan sejarah kehidupan keluarga dari orang yang bersangkutan. Lebih spesifiknya kepada parenting atau metode pengasuhan orang tua yang menekankan orientasi heteroseksual sebagai satu-satunya jalan hidup yang ideal, sementara menegaskan pula bahwa homoseksual adalah abnormal dan terkutuk. Dengan kondisi seperti itu, anak pun mengembangkan strategi psikologis untuk menutupi status orientasi seksual sesungguhnya. Seringkali upaya menutupi itu pun harus dilakukan secara berlebihan, dengan menunjukan kebencian terhadap kaum LGBT. Mereka tidak akan ragu mendeklarasikan homophobia-nya di hadapan publik, karena mereka ingin sebanyak mungkin orang mengenal mereka tidak sebagai diri mereka yang sesungguhnya. Hal tersebut mengindikasikan kebutuhan yang sangat besar akan rasa diterima oleh keluarga dan kerabat dekat.
Secara ilmiah, orientasi seksual diakui keberagamannya. Manusia, sejatinya adalah binatang yang berpikir dan berbudaya. Di dunia binatang lain pun juga banyak spesies gay, lihat di sini (https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_animals_displaying_homosexual_behavior).
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa orientasi seksual adalah tendensi alamiah dari makhluk tersebut, terlepas dari aspek-aspek moralitas dan sosial. Artinya, merasakan suka pada sesama jenis atau lawan jenis adalah sebuah kecenderungan biologis seseorang. Oleh karena itu, akan sangat tidak adil, jika mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, seperti dihina, dicemooh, dikucilkan; hanya karena orientasi seksual mereka tidak sejalan dengan ekspektasi atau patokan masyarakat umum yang konservatif, seperti masyarakat Indonesia sejauh ini.
Dalam analogi, orientasi seksual seseorang bekerja seperti bagaimana bakat tumbuh dan berkembang di diri seseorang. Tentu, sewaktu kita berada di dalam kandungan, kita tidak menentukan sendiri secara sadar segala hal yang akan menjadi bagian dari diri kita; seperti preferensi seksual, hobi, bakat, karakter, dsb. Sekalipun orientasi seksual itu encoded di diri setiap orang masing-masing, faktor lingkungan pun memiliki pengaruh untuk merubah level intensitas dalam spektrum ‘kadar ketertarikan seksual’ seseorang. Dan tidak ada yang salah atau benar tentang hal tersebut. Lingkungan dan kepribadian adalah dua entitas yang saling mempengaruhi. Hal ini berlaku tidak hanya dalam konteks orientasi seksual saja, melainkan juga terhadap hal-hal lain yang juga bagian dari diri kita; seperti ketertarikan belajar atau inisiatif menggeluti bidang tertentu yang juga bisa terpengaruh lingkungan. Dengan sudut pandang demikian, akan terdengar tidak relevan jika kita beranggapan bahwa homoseksual itu sesuatu yang bisa disembuhkan. Karena orientasi seksual bukan lah sebuah penyakit dan secara biologis pun, tidak ada yang salah mengenai kenyataan bahwa seseorang menyukai sesama jenis. Yang keliru dan harusnya dijadikan fokus penegakan hukum dan penelanjangan di masyarakat adalah ketika perilaku seksual seseorang memakan korban, melalui pelecehan, pemaksaan atau penularan penyakit secara sadar dikarenakan tanpa pengaman.
Tekanan Terhadap SGRC-UI
Akan tetapi seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir, komunitas LGBT mengalami tekanan keras dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu pemicunya adalah munculnya spekulasi mengenai fokus organisasi SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia) mensosialisasikan LGBT. Publisitas yang berlebihan dan tidak akurat tersebut telah menjadi bola liar, menggiring konsekuensi sosial tidak hanya terhadap para anggotanya, tapi juga komunitas LGBT secara umum di daerah-daerah lain. Koordinator Fasilitas dan Keuangan SGRC-UI Nadya Karima Melati menceritakan tekanan dan teror yang diterima para anggota dan keluarga mereka. Bahkan salah satu pendiri organisasi tersebut dikucilkan keluarga dan diusir dari rumah.
Apakah reaksi masyarakat bisa dibenarkan? Jelas tidak. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 telah secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia.
Tapi selain itu, masyarakat perlu bersikap adil terhadap SGRC-UI dengan mengklarifikasi objektivitas organisasi dan kedalaman fokus mereka dalam isu LGBT. Pada kenyataannya, SGRC-UI adalah komunitas atau kelompok kajian yang dibangun secara otonom, seperti kelompok kajian pada umumnya. Fokus kajian mereka pun luas dan progresif, mencakup feminisme, hak tubuh, nilai-nilai patriarki, kesehatan, reproduksi, gerakan pria, buruh dan wanita; jelas lebih luas dari sekedar isu LGBT. Akan tetapi, beberapa kalangan telah menghakimi organisasi tersebut dengan sudut pandang yang sangat sempit, destruktif dan provokatif, menggiring masyarakat lain untuk hanya menyorot satu dimensi saja - dari banyaknya fokus kajian mereka. Dan yang menjadi tumbal politik di sini adalah kapasitas SGRC-UI dalam memfasilitasi konsultasi dan diskusi dengan para remaja mengenai bagaimana mereka dapat mengatasi tekanan sosial terkait kondisi preferensi seksual mereka.
Tekanan sosial dapat terjadi pada siapapun, akan tetapi berkaca pada tatanan konservatif masyarakat Indonesia, preferensi seksual sebagai LGBT rentan menimbulkan reaksi negatif dari lingkungan. Mereka tidak berteriak-teriak, “Hey, semuanya! Ayo kita semua jadi gay!” Jadi apa yang salah dari fokus kajian mereka mengakomodasi kebutuhan psikologis kaum remaja? Tidak ada yang salah. Lalu apa yang salah jika mereka membantu individu yang ingin mendapatkan pencerahan ilmiah mengenai pendidikan seksual dan menanamkan sense of responsibility dalam konteks hubungan seksual. Bukankah hal tersebut positif dampaknya, jika masyarakat lebih sadar akan pentingnya pengaman/kontrasepsi dalam mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki atau penyakit seksual. Bagaimana organisasi tersebut dinilai lebih berbahaya dari narkoba dan terorisme? Apakah organisasi dapat mengubah preferensi seksual seseorang? Jelas tidak. Dan SGRC-UI bukanlah organisasi pertama yang menyelenggarakan kajian mengenai LGBT.
Organisasi Lain Pendukung LGBT di Indonesia
Pada bulan Juni tahun 2013, United Nations Development Programme (UNDP) bersama United States Agency for International Development (USAID) menyelenggarakan Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Acara tersebut menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yang mewakili keseluruhan keragaman organisasi LGBT di Indonesia.
Tapi sebuah pertanyaan yang layak kita renungi di sini adalah mengenai reaksi terhadap SGRC-UI yang seolah membawa pengertian bahwa LGBT tidaklah diterima oleh semua kalangan masyarakat, terutama pemerintah dan organisasi keagamaan.
Padahal Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia tersebut pun dihadiri wakil-wakil pemerintah pusat, lembaga hak asasi nasional, lembaga donor, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah untuk hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum dan organisasi madani, serta beberapa tokoh agama.
Apa Kata UNDP Tentang LGBT di Indonesia?
Berdasarkan laporan UNDP, kaum LGBT masih terdiskriminasi di masyarakat. Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh individu LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait. Sejumlah Perda melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral, meskipun empat dari lima Perda yang terkait tidak secara tegas mengatur hukumannya.
Dengan tekanan sebesar itu dan perlindungan hukum yang diragukan dari pemerintah, banyak dari kaum LGBT yang memutuskan untuk mempermudah asimilasi sosial mereka dengan memainkan identitas ganda di lingkungan. Sebagian dari mereka bahkan memutuskan untuk menunjukan sikap homophobic demi sekedar diterima sebagai bagian normal dari masyarakat.
Akhirnya...
Saya pun bertanya, apakah backlash dari masyarakat terhadap eksistensi organisasi seperti SGRC-UI atau kaum LGBT secara umum ini justru didorong oleh semangat segelintir masyarakat yang hanya sekedar bersikap sok politically correct, ikut-ikutan anti-minoritas, cari muka dalam rangka merintis kekuatan mempengaruhi opini publik (mungkin jika sudah menjadi Jonru berikutnya bisa ditawarin proyek propaganda berbayar?), atau sikap homophobic mereka justru ditunggangi kepentingan pencitraan pribadi agar tidak terdeteksi sebagai penyuka sesama jenis – walaupun tidak ada yang salah dari kenyataan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H