Mohon tunggu...
Maya Novarini
Maya Novarini Mohon Tunggu... profesional -

Political Communication Scientist bred in Universiteit van Amsterdam. Animal Rights Activist. Software Engineer for an Artificial Intelligence company in San Francisco.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasta Ciptaan Kita (Fenomena Babysitter Berseragam)

14 September 2013   23:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:53 3462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah pemandangan yang umum pada masa kini, ketika kita temui keluarga-keluarga muda kelas sosial mengengah (atau atas) berjalan-jalan di mall dengan asistennya. Keluarga yang lengkap dengan ayah, ibu dan anak-balitanya. Namun tak jauh mengikuti rombongan kecil tersebut, adalah sesosok wanita berseragam, terseok-seok dengan wajah lelah, menenteng belanjaan dan tas-tas perlengkapan anak.

Pernahkah masing-masing dari kita membayangkan rasanya menjadi mereka? Karena jelas sepertinya keluarga muda tersebut tidak punya kapasitas menempatkan diri pada posisi orang lain. Bayangkan, sepanjang hari, setiap hari, menjadi bagian dari keluarga dengan kelas sosial lebih tinggi, namun tidak dianggap ‘siapa-siapa’. Mungkin ini tidak tepat, namun jika saya mencoba melihat hidupnya melalui kacamata saya, saya akan dapat merasakan terkikisnya harga diri dan semangat hidup, sampai ke titik dimana saya yakin bahwa hidup ini hanyalah repetisi kutukan belaka; sampai saya memutuskan untuk mengakhirinya.

Mereka adalah kaum pendatang, berjuang di ibukota mencari nafkah demi keluarga karena kampung mereka tidaklah menawarkan kesempatan yang sama atau lebih baik. Mereka berjuang keras untuk berintegrasi dengan masyarakat setempat, menembus bursa kerja dan menetaskan peran-peran sosialnya. Namun kenyataannya, mereka justru terjebak pada kotak-kotak kasta sosial masyarakat metropolitan yang memandang dan memperlakukan mereka sebagai kaum marjinal.

Di kehidupan masyarakat kota, yang peradabannya jauh lebih maju, tantangan hidupnya tidak pantas dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan atau daerah konflik. Akan tetapi, tidak pernah ditempa kegetiran zaman harusnya melahirkan tanggung jawab moral untuk menghormati orang lain yang kurang beruntung, bukan justru mematikan sensor empati di hati kita.

Bagi masyarakat kota, pendidikan sudah lebih terjangkau dan globalisasi pun sudah membawa mereka untuk berakulturasi dengan budaya masyarakat maju di barat. Sementara kemajuan masyarakat secara ekonomi dan pendidikan sejatinya berjalan paralel dengan keterbukaan pola pikir. Hal tersebut terindikasikan dengan semakin terasanya nuansa egaliter dalam permainan peran-peran sosial masyarakat di Negara-negara maju. Tidak ada yang membabukan orang, tidak ada yang berteriak ketika meminta tolong, tidak ada yang membenarkan perbudakan manusia, tidak ada yang merendahkan status sosialmu, tidak ada yang mengucilkanmu dari lingkaran sosialnya dan tentunya, semua menyadari dan menghargai eksistensimu. Lalu, bagi para penghuni kota-kota besar di Indonesia, apakah kita sudah menemukan indikasi “bangsa yang maju” tersebut dalam diri kita sendiri?

Dalam video 'candid' ini, terekam sebagian perbincangan saya dengan salah satu dari perempuan-perempuan tegar dan tangguh yang bekerja sebagai ‘babysitter’. Suatu malam saya dan seorang teman tengah duduk-duduk di pelataran dalam mall. Saya melihat seorang wanita berseragam, berjalan tergopoh-gopoh mendekat dan ia terduduk sesegeranya mencapai sofa. Ia meletakan tas-tas yang ia jinjing, bersandar sembari memeluk anak balita yang ia gendong. Anak balita tersebut berusia sekitar 4 tahun, artinya, tidak ringan lagi untuk digendong ke sana kemari, apalagi sembari tangan lain menenteng tas-tas yang juga besar dan berat.

Kami menyapa perempuan tersebut, “Darimana asalnya, Mbak?” sebuah pertanyaan umum untuk memulai percakapan. “Dari Jawa” jawabnya. “Jawanya mana?” kami tanya lagi dengan ramah. “Pekalongan…” ia menjawab dengan senyum tipis. Ia terlihat bingung dan skeptis, jarang-jarang ditegur-sapa orang lain selama bekerja.

Dalam observasi saya, sebelum ia akhirnya benar-benar terlibat dalam percakapan, ia tampak ‘terputus’ dengan dunia sosial di sekitarnya. Hal tersebut diakibatkan oleh konsentrasi dan tenaga yang habis tersita untuk bekerja : menggendong balita, membawa tas dan belanjaan, mengikuti majikan jalan mengelilingi mall, mengejar balita yang berlari ke sana kemari.

Saya bertanya, “Udah lama Mbak bekerja di sini (di Jakarta)?”

Dia menjawab, “Kalau di Jakarta sudah lama ya, tapi di majikan yang ini baru, ngurus anak jadi babysitter ini baru beberapa minggu” ia berdiri, mengangkat gendongannya yang mulai mengendur. “Tapi saya ga betah di sini, saya malu”

Lalu ia menuturkan keluh kesahnya bekerja sebagai babysitter untuk keluarga majikan tersebut. Sekalipun ia diberikan gaji yang (menurutnya) cukup, sejumlah dua juta rupiah. Kerap kali ia tidak diikutsertakan ketika sedang makan di restoran, atau jika diajak pun, tidak diberikan makanan yang sama. Sang majikan menyantap makanan yang lebih mahal, sementara dia diberikan yang lebih murah. Entah apakah harga dalam perspektifnya mengacu pada kualitas dari makanannya. Sikap yang membeda-bedakan bahkan di meja makan itu pun membuatnya kecewa dan rendah diri.

Rasa malu di hadapan orang lain pun ia rasakan dari mengenakan pakaian suster, padahal berpakaian biasa (casual) dapat membangkitkan kepercayaan diri dalam bekerja. Mungkin ia mengacu pada perasaan terlecehkan sebagai orang yang secara terang-terangan memang (dibuat) terlihat 'berbeda' dari orang lain. Dalam hal ini, seragam/pakaian pun bisa diartikan telah menjadi atribut diskriminasi terhadap orang lain. Padahal kenyamanan seharusnya tidak hanya menjadiekspektasi pekerja, melainkan juga menjadi concern bagi majikan. Apalagi profesi sebagai pengasuh anak, jika dijalani dengan perasaan yang tidak nyaman, bukankah itu justru akan berdampak buruk bagi kinerjanya? Yang dikhawatirkan justru ketika pekerja yang tertekan tersebut memproyeksikan beban psikologisnya dalam perlakuannya kepada anak-anak yang ia asuh. Akan lebih bijaksana jika orang tua mengambil langkah proaktif menghindari burnout bagi pekerjanya dengan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, demi kebaikan bersama.

Selain tekanan batin yang ia alami, pengasuh anak tersebut pun juga harus menjalankan pekerjaannya seharian (nyaris 24 jam!). Ia bercerita bahwa ia bangun harus pagi dan selesai kerja bisa sampai tengah malam, sering kali ia masih harus bekerja dalam jam istirahatnya jika sang majikan menitipkan si anak untuk tidur bersamanya. Kondisi tersebut memaksanya untuk terjaga dari menina-bobokan sampai memberikan susu. Jika pun ia akhirnya tertidur, akan tetap terbangun setiap saat sang majikan membuka pintu kamar tanpa toleransi untuk memeriksa kondisi si anak.

Ternyata, seiring dengan kemajuan zaman, budaya feodal bukan justru musnah dari tatanan kehidupan bermasyarakat kita. Status sosial rupanya masih menjadi ukuran penciptaan dan pelestarian kasta-kasta sosial di antara kita semua.

Sekalipun ada nilai-nilai buruk yang pernah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat, sebuah bangsa tetaplah memiliki kesempatan untuk memilih karakter yang lebih baik, yang terbuka, egaliter, santun dan berpendidikan.

Pemerintah dapat membantu mengurangi dan menghilangkan kesenjangan sosial dengan desentralisasi ekonomi, pemberdayaan masyarakat desa, pendidikan gratis sampai universitas untuk setiap orang, instalasi infrastruktur yang mendekatkan masyarakat dengan pengetahuan dan kesempatan hidup lebih baik (beasiswa, pekerjaan, dan penyaluran sumber daya ke luar negeri) melalui teknologi dan komunikasi global.

Dalam kasus fenomena perbudakan berdalih uniformed babysitter, pemerintah melalui Menakertrans dapat memberlakukan peraturan yang tegas mengikat para majikan pada kewajiban hukum untuk memberikan upah yang layak mengacu pada standard UMR, jam kerja yang sewajarnya (maksimal 40 jam / minggu), memberikan hak untuk rehat (libur) dua hari setiap minggunya. Masyarakat sendiri dapat berkontribusi dalam berbagai tingkat tindakan. Mulai dari diri sendiri, dengan menghormati peran mereka, mendengarkan keluhan dan memperlakukan mereka dengan sopan dan setara. Ataupun dengan berkonsolidasi dengan sesama, membentuk corong kritik sosial yang lebih efektif menyuarakan kesetaraan sosial dan etika positif terhadap kalangan yang termarjinalisasi.

Yah... memang, kenyataan masih berkata lain. Sementara ini, tidak hanya perilaku masyarakatnya yang diskriminatif, pemerintahnya pun tebang pilih dalam memajukan daerahnya.

Kita sering mengamuk dengan sikap majikan-majikan TKI di Malaysia dan Arab Saudi yang menindas dan melecehkan. Namun kita tidak berkaca pada diri sendiri. Sudah waktunya kita merubah persepsi kita akan ‘Penjajahan’. Karena realitanya, sekian tahun merdeka dari penjajah asing, kita pun justru menjajah dan terjajah bangsa sendiri.

Dulu memang segregasi antara majikan-pembantu adalah umum pada masa kolonial. Tapi sekarang? Keterbukaan pemikiran sudah menempatkan feodalisme sebagai salah satu indikator keterbelakangan sistem sosial yang umumnya ditemukan pada masyarakat yang arogan, bodoh, egois dan tidak beradab. Namun dengan fasilitas sosial yang ada, mulai dari pendidikan, kenyamanan hidup, kebebasan berkomunikasi; bukankah aneh jika kita masih memilih menjadi yang terbelakang, yang bangga menjadi feodalis?

Obrolan dengan babysitter dalam tulisan ini, dapat dilihat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun