Mohon tunggu...
Maya Novarini
Maya Novarini Mohon Tunggu... profesional -

Political Communication Scientist bred in Universiteit van Amsterdam. Animal Rights Activist. Software Engineer for an Artificial Intelligence company in San Francisco.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenyataan Bangsa yang Menyedihkan (Tokoh Agama yang Tidak beragama, Hiburan Tidak Mendidik, Budaya Joget Seksi)

13 Februari 2014   14:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana kenyataan hidup kita? Bukan secara personal. Tapi secara umum. Yang sekalipun umum, justru secara tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita sampai ke layer-layer pribadi. Bagaimana sudut pandang mayoritas menjadi pembentuk realita sosial kita. Walaupun itu bodoh. Sekalipun ada di antara kita yang tercerahkan pun hanya menjadi minoritas. Akan tetapi, baik mayoritas ataupun minoritas, keduanya tetaplah korban kondisi (the victim or circumstances). Yang mayoritas tidak menyadari kekurangannya, yang minoritas pun tidak dapat diimplementasikan aspirasinya.

Kenyataannya adalah, majalah playboy didemo, video porno digugat, padahal yang di kampung-kampung, penyanyi dangdut goyang seksi malah hampir striptease di hadapan semua orang, dari orang dewasa sampai anak-anak. Dan itu yang dianggap benar-benar saja. Di saat masyarakat kita belum siap menerima budaya barat dan sex education belum disosialisasikan. Di satu sisi kita membahayakan diri sendiri dengan menantang budaya yang belum sanggup kita sikapi dengan baik, di lain sisi kita memupuk kemunafikan. Tidak merespon perkembangan zaman dengan konstruktif dan strategis. Nyatanya? Dari segala kelas, mau acara sunatan, kawinan sampe kampanye konvensi demokrat (oleh Dahlan Iskan, pada pekan lalu di Festival Citilink Mall, Bandung) pun menjual goyangan dangdut yang jelas bukannya memancing kecerdasan berpikir (seperti yang kita harapkan dari seorang birokrat), malah mengundang laki-laki horny ke atas panggung. Nyatanya? banyak kok massa penikmatnya.

Lalu sinetron. Banyak yang gak bermutu, menjual mimpi, menyajikan drama tanpa solusi intelek, tidak ada pendidikan bahasa Inggris, tidak ada eksplorasi alam dan budaya, komedi juga violent. Nyatanya? Itu yang laris-laris aja.

Lalu tokoh agama. Banyak yang asal berjenggot, berjubah putih, dan modal suara bercengkok a la penyanyi dangdut pun juga sudah cukup menyilaukan mata jamaah. Seolah-olah mereka adalah titisan Tuhan atau turunan nabi yang harus kita puja, sembah dan terima apapun kesalahan dan kekurangannya. Padahal mereka melakukan pelecehan seksual pada anak-anak di bawah umur baik dalam hubungan homoseksual atau heteroseksual. Mereka juga berjudi, konsumen setia pornography dan mengonsumsi miras/drugs. Mereka juga anarkis dan radikal, mengajarkan prinsip tanpa akal sehat dan budi pekerti yang baik. Mereka mendidik pengikut menjadi anjing-anjing buas yang akan menggigit siapapun yang mengganggu kepentingan mereka. Nyatanya? habib-habib dan ustad abal-abal ini laris manis, dihormati dimana-mana. Seberapapun saya yakini bahwa akal sehat saya berjalan normal sehingga lahirlah kritik2 ini terhadap mereka, tetap saja... saya heran, kok orang kaya saya ini hanya minoritas. Nyatanya? ada supply karena ada demand. Nyatanya? Banyak masyarakat yang belum cerdas dan independent secara pola pikir. Masih ikut-ikutan. Ikut agama orang tua, ikut ceramah yang diajak, ikut sholat yang disuruh, ikut percaya iman yang diimani orang lain. Akhirnya masyarakat tsb tidak membangun perjalanan spiritualitasnya sendiri. Waktu dan kesempatan hidup mereka sudah tidak merdeka lagi untuk belajar di luar. Belajar menantang status quo kehidupan bermasyarakat, belajar mengenal logika, belajar merangkul rasionalitas, belajar beradaptasi dengan perkembangan zaman, belajar menghormati budaya lain. Nyatanya? Banyak sekali bagian dari bangsa ini yang demikian. Dan mereka yang menjadikan demand untuk menghadirkan tokoh2 agama yang tidak beragama itu semakin menjamur.

Ini kenyataan.

Sayangnya atas nama demokrasi, kehidupan kita pun jadi ditentukan mereka. Mereka yang belum tercerahkan, yang sebagaian menjadi anjing-anjing tokoh agama palsu, yang sebagian lain adalah budak konsumerisme dan showbiz tidak mendidik, yang sebagian lain juga menjadi penganut gaya hidup tidak bertanggung jawab.

Ini dia resikonya, kalau demokrasi ga ada juntrungan, sistem pemerintahan akhirnya melebur menjadi sistem kemasyarakatan. Pemimpin tidak membuat dirinya pantas dicontoh, terhadap masyarakat pun tidak ada contoh baik yang ditekankan. Ya sudah... kita-kita yang berpikir ikut juga bareng-bareng kecemplung di kolam kebodohan dan keterbelakangan. Bukannya justru samudera luas penuh ilmu pengetahuan, kewarasan dan toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun