Mohon tunggu...
Bita Kumalasari
Bita Kumalasari Mohon Tunggu... Bidan - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Tinggal di Komplek Perumahan, Belum Tentu Bebas Julid

5 Maret 2024   16:05 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:16 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngawi, Maret 2024. Memiliki hunian yang tenang dan nyaman sudah menjadi impian setiap orang, apalagi untuk pasangan yang baru saja menikah dan berniat untuk mencari tempat tinggal, hal ini pasti akan menjadi prioritas untuk dapat terwujud.

Selain nyaman, kebersihan, keamanan serta lokasi strategis yang dimiliki  biasanya menjadi alasan beberapa pasangan untuk memilih tinggal di komplek perumahan. Namun tidak hanya soal kenyamanan ada juga tantangan yang ada hubungannya dengan sosialisasi. 

Hidup di komplek perumahan umumnya terlihat individualis. Bahkan antara penghuni yang lain ada yang tidak saling mengenal dan jarang berkomunikasi. Prinsip hidup individualis ini mungkin kebanyakan berlaku di komplek kota-kota besar. Beda halnya di daerah dimana majelis ghibah masih menjadi budaya di kalangan emak-emak yang tinggal di komplek perumahan.

Tak jarang terjadi perseteruan antar emak berawal dari  salah paham, hutang piutang, dan juga prahara ke-baperan. Padahal sebelumnya yang terlihat akrab-akrab saja akan berubah tetangga yang tidak saling kenal. Jangankan menyapa, berpapasanpun pasti akan saling buang muka.

Jadi perlu menjadi perhatian juga masalah yang satu ini jika kita sedang mencari hunian. Senyamannya tinggal di rumah, akan lebih nyaman lagi jika kita mempunyai gambaran kondisi dan habits positif warga di lingkungan sekitar. Apalagi jaman sekarang kesehatan mental menjadi hal yang sangat penting untuk tetap dipertahankan demi kewarasan. Untuk apa memiliki hunian yang nyaman namun kita berada di lingkaran toxic. Seberapa jauh kita dari menarik diri untuk tidak berada dalam circle tetangga toxic, yang terjadi justru kita yang akan dijadikan objek topik pembahasan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun