“Hmm.. Lagi-lagi kopi, lagi-lagi kopi yang menghalangiku untuk cepat pulang”
Kalimat itu. Kalimat itulah yang diucapkan Gentur di dalam kesunyian dirinya ketika Ibu Mala lagi-lagi menyuguhkan kopi tiap kali Gentur datang.
Gentur datang ke rumah Ibu Mala setiap diperintah ayahnya untuk mengambil kain bahan dan juga ketika kembali mengantarkannya apabila kain sudah berbentuk baju. Jika sedang beruntung Bu Mala akan memberikan uang tambahan selain dari upah menjahit untuk Gentur. Uang itu adalah uang bensin. Jumlahnya lumayan, karena ada lebihnya. Tentu lebihnya itu bisa digunakan selain untuk sekadar membeli bahan bakar.
Setiap Gentur ditugasi oleh Ayahnya ke rumah Bu Mala, Gentur tidak bisa lekas cepat pulang. Dia harus terlebih dahulu menghabiskan secangkir kopi panas yang disuguhkan oleh Bu Mala. Sekali, dua kali, dari sejak awal pertama kali Gentur datang ke sana selalu ada secangkir kopi panas yang harus diminum sebelum pulang.
Kopi-kopi tersebut selalu disuguhkan Bu Mala untuk setiap tamu yang datang dengan maksud menghormatinya. Gentur pun demikian, Gentur selalu menyempatkan waktu untuk menunggu suhu kopi menjadi lebih dingin lalu meminumnya untuk menghargai sebuah pemberian dari tuan rumah.
Namun, ketiga kali, empat kali dan seterusnya Gentur mulai terganggu dengan bercangkir-cangkir kopi yang dihadapkan di depannya lagi, lagi dan lagi. Bukan karena Gentur sebetulnya tidak suka kopi. Bukan juga karena Gentur memiliki selera kopi yang amat tinggi. Bahkan Gentur tidak mengerti cara membedakan secangkir kopi harga Rp.1500,- dengan harga Rp.100.000,-. Gentur hanya merasa tiada guna menghabiskan waktu hanya untuk menunggu kopi menjadi dingin.
Gentur tahu, ketika setiap kali Gentur sedang menunggu kopi mendingin Bapak Mala (Suaminya Ibu Mala) selalu mengambil kesempatan itu untuk mengobrol satu meja di halaman depan rumah yang udaranya segar. Obrolannya selalu menarik. Obrolannya bisa sampai ngalor-ngidul. Bahkan ketika sedang sangat asyik obrolannya bisa sampai menerobos ngulon-ngetan.
Pak Mala juga dibuatkan secangkir kopi. Kopi yang sama dengan yang disuguhkan untuk Gentur. Namun Pak Mala akan menghabiskannnya lebih lama. Bapak Mala selalu meminumnya dengan pelan-pelan. Bapak Mala sepertinya tahu betul cara menikmati kopi. Bapak Mala meminumnya dengan cara menyeruput lalu diresapi di lidah, dengan suara desis yang merdu dari lidahnya dia meneguk kopinya sedikit sekali, sedikit demi sedikit, bagai tidak ada yang mampu diteguknya lebih sedikit dari air kopi.
Selain kopi, apalagi temannya kalau bukan rokok. Secangkir kopi biasanya akan habis setelah Bapak Mala sudah menghisap asap lebih dari 5 batang rokok. Itu waktu yang terlalu lama bagi Gentur. Apalagi bagi Gentur yang tak tahan dengan asap rokok. Gentur selalu kehabisan nafas saat dikepung oleh asap rokok. Dia selalu menahan nafas lebih lama dari biasanya jika berada dalam kepungan asap rokok.
Sedangkan Bapak Mala di usianya yang sudah menginjak kepala lima terus saja bercerita tentang apa pun yang Ia tahu, tentang cerita apa pun yang pernah Ia alami, tentang cerita apa pun yang sebetulnya tak perlu dibagi. Sampai bagai seperti tidak ada lagi cerita yang mampu Ia ceritakan.
Gentur sebenarnya sudah bosan dengan ocehan Bapak Mala. Baginya cerita Pak Mala sudah bagaikan kaset kusut yang terpaksa betapapun Ia ingin pergi, Ia harus mendengarkan lagi, terus, dan berkali-kali.
Maka Gentur hanya bisa memasang wajah yang seakan tertarik dan mangut-mangut saja setiap kali Bapak Mala berbicara. Obrolan Gentur dan Bapak Mala seakan hanya berjalan satu arah. Bapak Mala sebagai pembicara dan Gentur sebagai pendengar.
Akhirnya air kopi di dalam cangkir milik Gentur pun sudah dingin. Gentur meminumnya dengan segera. Cara meminum kopi Gentur tidak sama dengan yang Bapak Mala lakukan. Tanpa basa-basi dengan sekali, dua kali tegukan secangkir kopinya langsung habis ditelan masuk ke kerongkongan. Setelah habis, Gentur hanya tersenyum.
Dari dalam rumah Bu Mala melihat secangkir air kopi milik Gentur sudah habis. Lalu Bu Mala bergerak menghampiri pintu dan menatap Gentur dari sana. Lalu berkata “Jangan pulang dulu nak. Temani Bapak mengobrol sampai sore, sampai malam, sampai tidur. Bapak selalu ingin bercerita tentang Dia bersamamu”
Gentur menggeleng. “Tidak. Tidak lagi!” Bentak Gentur yang tidak pernah sekali pun ingin membentak Bapak dan Ibu Mala. “Saya sudah tidak tahan mendengar cerita tentang Mala. Mala yang cantik, Mala yang pintar, Mala yang baik, Mala anak Bapak(Mala) satu-satunya yang selalu mau menemani Bapak (Mala) setiap kali ingin bercerita ini dan itu bersama kopi dan juga rokok.” Gentur sudah tak segan lagi, meski selama ini dia selalu segan menolak. Kali ini dia menolak. Dia bilang “Saya tidak ingin mati seperti Mala sebagai pecandu kopi dan juga perokok pasif.”
Gentur lalu pulang dan tak pernah ingin kembali. Meski Ayahnya pernah menyuruhnya meminta maaf dan kembali. Ia sudah muak tentang Mala. Mala yang pernah dia sentuh untuk mengukur setiap besaran tubuhnya menggunakan alat ukur yang melintang ke sana kemari. Mala yang pernah minta dibuatkan baju pengantin dengan ukuran yang sangat ketat dan pas membentuk tubuhnya. Mala yang kini sudah mati ditikam asap rokok dan dicekik ampas kopi.
*** Iya Mala, dia hilang bukan karena malaria atau malapraktik. Mala hanya dihantui malampir, setiap malaminggu datang dan bernyanyi-nyanyi di malaysia “dududu… sendunya, dududu…”***
https://ebitfrista.wordpress.com/2015/11/16/obrolan-mala-tentang-rokok-dan-kopi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H