"Sedang apa kalian semua di rumah adikku?", tanya beliau ke mereka. "Kami sedang menunggu Sayyidina Husen untuk mengutarakan segala kebutuhan yang kami inginkan agar diberikan solusi oleh beliau. Kami mengharap keberkahan dari beliau", jawab mereka dengan bahasa yang berbeda, tetapi intinya adalah mereka ingin dibantu oleh Sayyidina Husen yang menjadi tokoh masyarakat dan cucu dari Baginda Nabi.
Hingga lama mereka menunggu dan Sayyidina Husen belum juga muncul untuk menemui dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Hingga Sayyidina Hasan menjadi iba terhadap kerumunan orang yang sedang lama menunggu ini. Beliau meminta secarik kertas dan meminjam polpen kepada satu dari mereka, lalu menuliskan sebuah kalimat pendek dalam bahasa arab yang kurang lebih jika artikan adalah "Butuhnya manusia kepada dirimu adalah sebuah nikmat yang Allah berikan kepadamu, maka jangan kau sia-siakan, jika tidak ingin berubah menjadi musibah".
Kata itu oleh Sayyidina Hasan diselipkan di bawah pintu masuk rumah Sayyidina Husen. Ketika Sayyidina Husen hendak keluar dari rumahnya, beliau melihat kertas itu dan membacanya. Seketika apa yang ditulis oleh kakaknya itu menjadi pedoman selama hidupnya. Beliau tidak pernah lagi mengabaikan setiap orang yang butuh kepadanya. Hidup beliau senantiasa untuk Khidmah, melayani masyarakat. Sungguh pesan yang sangat mulia, selaras dengan sebuah ungkapan yang berarti, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka".
Minggu pagi, aku berangkat dari Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Sumberberas untuk memenuhi undangan dari Gus Lukman mengisi kajian sharing STON. Jadwalnya adalah jam 08.30, aku berangkat jam 08.00, secara jadwal pasti telat, karena perjalanan dari Sumberberas ke Genteng, jika menggunakan mobil, mestinya lebih dari 30 menit.
Sampai di lokasi acara hampir jam 09.00, tempat sudah ramai. Para peserta sedang menunggu. "Assalamu'alaikum", aku mengucap salam dan bersalaman kepada mereka yang sedang asyik mengobrol bersama teman-temannya. "Silahkan, silahkan Ustadz", tampak seseorang keluar dari dalam rumah dan bergegas mempersilahkan kepadaku untuk duduk bareng bersama seorang tamu.
"Saya Irul", "Saya Rizwan", keduanya memperkenalkan diri setelah aku juga berkenalan. Mas Irul dari Tegalsari, teman dari Gus Lukman. Mas Rizwan, aku mengetahuinya dari meme acara ini yang tersebar dan sekarang aku bisa bertemu bertatap muka secara langsung, beliau rumahnya di dekat Ponpes Aswaja, depan kampus UBI di Cluring. Jurnalis dari Times Indonesia di Banyuwangi.
Gus Lukman sendiri, aku sudah lama mengenalnya, tapi sebatas dari media sosial Facebook saja, ini adalah pertama kalinya aku bertatap muka secara langsung. Alhamdulillah, berkah shilaturahim.
Jam 09.30 kami memulai acara. Gus Lukman sebagai pembawa acara dan memberikan prolog. Kami menyanyikan bersama lagu Indonesia Raya sebagai bentuk kecintaan sejati kepada tanah air tercinta dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci al-qur'an surat Asy-Syams secara tartil. Secara sekilas Gus Lukman memperkenalkan dua pembicara yang duduk disamping beliau, lalu memberikan waktunya kepadaku untuk berbicara sharing tentang dunia dakwah terlebih dahulu sebelum dilanjutkan oleh Mas Rizwan yang akan berbicara tentang dunia media.
Aku memperkenalkan diri lagi, menambahkan apa yang sudah dimulai barusan oleh Gus Lukman. Teorinya tetap klasik, "tak kenal maka tak sayang". Dengan baghround jurusan Tafsir Al-qur'an yang pernah aku pelajari di Universitas Al-Azhar Mesir, aku tertarik untuk mengulas kandungan makna dari Surat Asy-Syams yang barusan dibacakan oleh salah satu santri dari Gus Lukman.
Aku juga menjelaskan tentang pentingnya berdakwah sesuai dengan konteks yang dibutuhkan oleh masyarakat, sesuatu yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan. Kepo, ingin tau dengan kondisi yang ada di sekitar, sehingga apa yang disampaikan bisa memberikan solusi permasalahan yang ada.
Namun, semua tetap ada aturannya. Tidak setiap orang berhak untuk berdakwah menyampaikan ajaran agama. Walaupun konsep umumnya adalah hadits yang sering sekali kita dengarkan dan sering diulang-ulang oleh para dari, "sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat" yang sering menjadi pedoman agar setiap orang menjadi dai.