Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"80 Coret Mesir"

14 November 2020   21:20 Diperbarui: 14 November 2020   21:22 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 100 meter dari loket tempat kami membayar, kami berhenti. "Sepertinya ini lokasi cocok dibuat foto-foto", ajakku kepada istriku. Kami mengambil 4 buku yang aku taruh di bagasi motor. Istriku mengambil satu buku yang warnanya sama dengan warna bajunya, yaitu buku Umroh Koboy yang sama-sama warna biru. Ketiga buku yang lain, aku taruh di atas jok motor. Aku yang menjepretkan foto memakai kamera hp redmi note 9. Baru saja aku menjepretkan foto, lagi-lagi mobil hiace yang tadi menyalip kami lewat.

"Mampir ke Sadengan tempat hewan banteng-banteng tidak?", tanyaku kepada istri ketika hendak melewati pertigaan, dimana ketika lurus ke arah Sadengan dan ketika ke kanan akan menuju ke Pancur, Alas Purwo. "Ke Sadengan dulu, kita foto-foto di sana", jawabnya dengan penuh kemantapan. Jalanan ke Sadengan sampai saat ini belum beraspal, namun sejak memasuki Alas Purwo tadi sudah aspal hotmix, atau orang Banyuwangi, teman-temanku sering menyebutnya dengan istilah aspal Korea, karena aspalnya yang halus, bahkan lebih halus dari jalanan aspal yang ada di pasar Sumberayu, Muncar.

Motor kami parkir tidak jauh dari Sadengan. Hanya tampak dua mobil yang parkir dan motor hanya 4, artinya tempat wisata ini masih belum terlalu ramai. Itupun, mereka semua hanya sedang bersantai di warung yang ada di pojok tempat parkir. Aku mengagandeng istriku berjalan ke arah Sadengan. Kami duduk di tempat duduk permanen sembari melihat para banteng yang sedang makan rumput.

Istriku menyiapkan tripot yang kami bawa dari rumah, aku mengeluarkan empat buku serial Mesir yang kami bawa. Buku "80 Coret Mesir" menjadi buku pertama yang aku buka. Aku membuka artikel pertama yang tertulis. Ingatanku seketika ditarik kembali ke Mesir. "Ogah Pulang, di Mesir Enak" adalah artikel pertama yang aku cantumkan di buku 80 Coret Mesir. Dulu artikel ini aku tulis pada saat siang harinya aku berdiskusi dengan teman-teman dari berbagai negara ketika aku kursus bahasa arab di Fajr Center for Arabic Language di Cairo. Kami saling memberikan pendapatnya, kenapa banyak mahasiswa merasa betah di luar negeri dan ogah pulang ke negaranya ketika lulus kuliyah? Jawaban kami berbeda-beda waktu itu.

Jasadku duduk di Sadengan, Alas Purwo. Istriku beberapa kali membidikkan kamera kepadaku, ingatanku dan akalku sedang berada di Mesir, sedang berdiskusi dengan teman-teman di Cairo. Saat aku membaca artikel "80 Coret Mesir", judul yang sama dengan nama buku yang aku pegang, aku diingatkan saat bergelantungan di bus 80 Coret yang penuh penumpang ketika hendak pergi ke kampus Al-Azhar. 80 Coret di Mesir adalah bus yang sangat berkah dengan segala kekurangan yang dimilikinya. Setiap generasi orang-orang Indonesia di Mesir, pasti pernah merasakan 80 Coret. Bahkan, pada saat menonton film Ayat-ayat Cintanya Habiburrahman El-Shirazy, di sana ada bus 80 Coret yang dinaiki oleh Fachri.

Aku masih diingatkan dengan banyak kisah nyata yang aku alami sendiri saat membaca buku 80 Coret Mesir ini. Sosial budaya masyarakat Mesir terekam jelas di otakku. Mulai dari kebudayaan masyarakat Mesir yang ada di pinggiran sungai nil, kecintaan orang Mesir terhadap presiden Soekarno, pada saat Syeikh Muhammad Thantawi, yang pada waktu itu menjabat sebagai Syaikhul Azhar, Grand Syeikh Al-Azhar, mengeluarkan sebuah kebijakan pelarangan cadar di Al-Azhar, aku masih merekam kisah itu semua. Dengan membaca artikel-artikel ini, aku sedang kembali ke Mesir.

"Kita pindah tempat ke Pancur yuk mas?", suara istriku menyadarkan kekhusyukan akalku yang sedang berada di Mesir. Ternyata aku masih di Alas Purwo. Kami berjalan kembali dengan motor menuju Pancur. Pantai selatan Banyuwangi yang jika berenang akan sampai ke Australia. Dari Pancur, jika kami mau terus berjalan, akan sampai ke pantai Plengkung, sering juga terkenal dengan nama G-Land, karena pantainya yang indah dan sering digunakan untuk perlombaan surving internasional. Konon, ombak pantai G-Land hampir sama kualitasnya dengan pantai di Hawai, Amerika.

"Aku lapar yang, kita makan dulu", aku mengajak istriku untuk pergi ke warung dekat dengan pantai Pancur. Hanya kami yang ada di sana, tidak ada tamu lain, padahal banyak kendaraan travel juga sedang parkir, entah pada kemana orang-orang yang datang di pantai ini. Mungkin sedang menikmati sunset di pantai selatan ini. Habis kopi hitam satu dan sepiring nasi pecel, aku mengajak istriku untuk shalat berjama'ah ashar dulu. Lagi-lagi di masjid yang ada di Alas Purwo ini, hanya kami yang sedang melaksanakan shalat, di kamar mandi dekat masjid, ada beberapa tamu yang sedang antri mandi.

"Kita langsung ke pantai Pancur mas", ajak istriku setelah shalat ashar. Di pantai aku membuka kembali buku "80 Coret Mesir" dan membaca kembali beberapa artikelnya. Aku seakan ditarik ke Mesir kembali. Aku sedang membaca artikel tentang "Mesir Negara tanpa Lampu Merah". Aku sedang di mobil bersama Omar dan berkeliling di kota-kota yang ada di Mesir. Hampir semua wilayah di Cairo, lampu merahnya tidak berfungsi. Keberadaan lampu merah digantikan oleh para polisi lalu lintas yang kebanyakan adalah para pemuda wajib militer Mesir. Banyak cerita yang aku jumpai bersama Omar, sahabatku orang Mesir, ketika kami bersama di jalan raya.

Lalu aku diingatkan kembali pengalaman pada saat menaiki kereta cepat bawah tanah yang menjadi transportasi andalan masyarakat Mesir. Ada yang menjadi perhatianku waktu itu, yakni tulisan "Khosh Lissayyidat" di beberapa gerbongnya. Ya, itu adalah gerbong-gerbong khusus untuk para penumpang perempuan. Pengalaman itu aku tuliskan secara rinci di buku "80 Coret Mesir" ini.

Lagi-lagi istriku menyadarkanku. Aku diajak untuk berfoto-foto layaknya seorang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Aku mengikuti pose yang diinginkannya. Termasuk kami memfoto 4 buku serial Mesir yang kami bawa dengan beberapa gaya. Lumayan, bisa dibuat untuk media promosi di media sosial yang kami miliki. Aku bisa menggunakan foto-foto ini sebagai marketing, memasarkan buku-buku yang sudah aku tulis di facebook, Instagram dan whatsapp.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun