Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngofi ke 4: Ngobrol Sufi

7 Oktober 2020   21:04 Diperbarui: 7 Oktober 2020   21:07 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngofi. Ngobrol Sufi di Kantor PCNU Banyuwangi (Foto : Bisyri)

Gus Dillah membuka pembicaraannya dengan mengatakan bahwa kehadiran beliau di acara ini awalnya karena dipaksa oleh Gus Aan. "Alhamdulillah berkah ngaji kemisan, kita dipertemukan kembali di acara ini. 

Ngofi, ngobrol sufi. Karena judulnya ngobrol, jadi kata Gus Aan saya suruh mengobrolkan pengalaman saya waktu mondok di Makkah di pesantrennya Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliky", ungkap beliau.

"Ceritanya, saya dulu lulus SD tahun 1973. Lalu melanjutkan mondok di Jember, tepatnya di Kencong sampai tahun 1982. Tahun 1983, saya ketiban pulung. Panjenengan semua tahu pulung? Apa itu pulung? Sejenis keberuntungan. Saya menjadi satu-satunya santri di Kencong yang mendapatkan kesempatan untuk bisa melanjutkan mondok di Makkah. Pada waktu itu anak Kyai saya di Kencong lebih dulu mondok di Makkah, beliau pulang ke Jember dan mencari satu santri yang bisa diajak mondok ke Makkah, santri itu adalah saya".

Gus Dillah melanjutkan ceritanya bahwa beliau mondok di Makkah selama 10 tahun. Pada tahun 1983 itu Saudi Arabia sedang ketat-ketatnya urusan visa atau izin tinggal, sehingga pada waktu itu Sayyid Muhammad Alwi memberikan persyaratan kepada santri yang baru mondok untuk tidak boyong, pulang untuk jangka waktu yang lama.

"Mondok, belajar di pesantrennya Abuya Sayyid Muhammad Alwi itu secara konsep berbeda dengan mondok di Indonesia. Kalau kita di Indonesia, tiap bulan harus bayar SPP sendiri. Belum lagi uang untuk kebutuhan hidup. Kami di sana, tiap bulan justru dibayar sama Abuya, waktu itu beliau memberikan setiap santri sebanyak 75 riyal, bahkan semua kebutuhan harian, gratis sudah tanggung semuanya oleh Abuya. Malah, setiap hari raya dibelikan baju baru semuanya", lanjut beliau.

"Baru di pesantrennya Abuya ini saya mengenal ada banyak sekali hizb, bacaan-bacaan doa yang beraneka ragam yang tidak saya temukan waktu  mondok di Kencong dulu. Di sana baca wirid itu 24 jam, setiap santri bergiliran membaca dimulai dari jam 3 pagi pada saat tahajjud. Pada saat wirid kok ada yang mengantuk, Abuya sangat marah, bahkan biasanya ada yang sampai dihantam sama gelas. Padahal di sini yang namanya ngantuk saat wirid itu seakan menjadi rukun ya,  la yasihhu al wirdu bila nu'asin, tidak sah wirid itu kalau tidak ada bumbu ngantuknya. Hehe".

"Kenapa kami memanggil Sayyid Muhammad Alwi dengan sebutan Abuya? Karena beliau itu selalu mengatakan kepada kami bahwa hubungan kami dengan beliau itu bukan antara ustadz dan murid, bukan antara kyai sama santri, tapi lebih dari itu adalah hubungan antara bapak sama anak. Terbukti, dalam dua puluh empat jam, beliau itu berkumpul ke keluarganya hanya mulai jam 12 malam sampai jam 3 pagi, mulai jam 3 pagi sampai jam 12 malam, semua waktunya beliau habiskan untuk ngopeni, mendidik santrinya. Jam 3 pagi saat tahajjud, seringkali beliau membangunkan sendiri para santrinya. Itulah kenapa kami memanggil dengan sebutan Abuya".

Gus Dillah terus bercerita tentang guru yang sangat beliau cintai. Bahkan saat Gus Dillah baru pulang ke Indonesia setelah 10 tahun menimba ilmu di Makkah dan menikah di usianya yang ke 35 tahun, beberapa tahun berikutnya beliau masih mendapatkan kiriman uang dari Sayyid Muhammad Alwi. Begitu luar biasa perhatian Abuya kepada seluruh santrinya, entah itu santri dari golongan Saadah, secara nasab darah masih keturunan dari Kanjeng Nabi, maupun dari golongan 'aajam, orang umum seperti Gus Dillah yang dari Indonesia.

Setelah satu jam bercerita. Gus Dillah menutupnya dengan memberikan buku yang dihadiahkan kepada Ashab MATAN Banyuwangi dan diwakili pemberian itu kepada Gus Arif. Setelah ditutup doa, kami mengakhiri acara ngofi ke empat malam ini dengan makan bersama dengan daun pisang yang dijejer secara memanjang. Makan bersama dengan piring daun pisang seperti ini mengajarkan kepada kami akan arti kebersamaan dan egalitas. Semua pada posisi yang sama. Tidak ada perbedaan antara santri dan kyai, antara guru dan murid. Penilaian yang dilakukan oleh Allah Swt. adalah berdasarkan amal dari masing-masing pribadi yang ada.

Gus Aan menemani Gus Dillah yang berpamitan usai acara makan malam. Saya bersama Ashab MATAN Banyuwangi yang lain asyik bercengkrama sambil menghisap syisha di balkon dengan ditemani hembusan angin malam kota Genteng. Kami mengobrol hingga dinihari. Sekitar jam 2 dinihari, teman-teman banyak yang pulang. Saya memutuskan untuk menginap. Malam ini kami benar-benar mengimplementasikan tema yang kami buat, yakni ngofi; Ngobrol Sufi. Sufi itu adalah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasany Rohimahulloh Ta'ala.

-----------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun