Sudah dua minggu saya absen menulis di Kompasiana setelah sempat menulis beberapa catatan harian. Hari kamis kemarin, saat mata kuliyah Filsafat Bahasa di S3 PBA UIN Malang yang diampu oleh Prof. Dr. Mudjia Raharja, semangat untuk menulis muncul lagi. Beliau selalu menyemangati kami yang ada di kelas untuk belajar dan selalu menulis. Menulis apa saja. Beliau bukan hanya mengatakan dan memberikan nasehat untuk menulis, tetapi juga memberikan suri teladan.
Diantaranya ada tiga tulisan beliau yang dipaparkan di kelas dan begitu terkejutnya saya ketika di akhir artikel tertulis tanggalnya, 31 Oktober 2019, yang artinya tulisan itu masih fresh ditulis di hari sama yang sama saat beliau mengajar kami. Beliau mengatakan, 3 artikel itu diselesaikan ditulisnya di hari kamis hari itu juga dan masing-masing artikel, rata-rata 1000 karakter untuk artikel yang beliau paparkan di kelas. Produktif sekali.
Saya merasa tertampar dengan produktifitas yang beliau lakukan. Beliau tiada hari tanpa menuliskan sesuatu. Entah itu tulisan-tulisan ringan dengan menuliskan fenomena yang beliau temui setiap hari di masyarakat, setelah itu beliau nilai dengan teori-teori keilmuwan yang beliau miliki serta mencari pelajaran dari terjadinya fenomena itu, hingga menulis sesuatu yang dianggap berat, mulai jurnal sampai buku.
Salah satu pesan beliau adalah fenomena apapun di masyarakat, bagi seorang yang bukan terpelajar, tidak akan memiliki nilai apa-apa, tidak ada yang istimewa, ia lewat begitu saja. Tetapi bagi seorang yang terpelajar, fenomena sekecil apapun, akan menjadi istimewa, ia menjadi bahan untuk mengambil sebuah pelajaran di dalamnya, menuliskannya, menilainya dan menjadi kajian yang menarik.
Beliau menulis artikel berjudul "Budaya Ngerumpi dan Rendahnya Literasi". Judul ini beliau ambil setelah melihat fenomena yang terjadi di bandara Cengkareng, saat hendak melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Saat di ruang tunggu, beliau bercerita bahwa di sana ruangan hampir penuh dengan para penumpang yang juga sedang menunggu penerbangan.
Semuanya sedang asyik ngobrol dengan teman duduknya. Di pojok ruangan ada berbagai macam tumpukan koran dengan berbagai merek, mulai Kompas, Jawa Pos, Sindo, Media Indonesia, The Jakarta Post, dan lain-lain, anehnya yang beliau lihat di ruangan tunggu, tidak ada yang menyentuh koran-koran ini, padahal ini adalah koran baru hari ini dan menurut pandangan beliau, koran-koran ini sedang menyajikan berita yang sedang hangat di masyarakat.
Sementara di sebuah meja di dalam ruangan itu, ada satu pemandangan yang berbeda. Ada 3 orang bule yang duduk bersama juga. Tetapi mereka tidak ngerumpi sebagaimana para penumpang yang lain. 3 bule itu asyik dengan dunianya sendiri. Masing-masing sedang khusyuk membaca sebuah buku. Saat beliau mencoba mendekat, terlihat bahwa yang mereka baca adalah sebuah novel. Dari situ beliau mendapatkan pelajaran berharga dari fenomena ini. fakta di dalam ruang tunggu bandara ini, walaupun tidak bisa dibuat ukuran generalisir, paling tidak memberikan sebuah gambaran, bagaimana budaya literasi masyarakat kita, mereka lebih suka ngerumpi. Sebaliknya 3 orang bule itu sedikit mewakili budaya literasi masyarakat mereka, yang lebih suka membaca.
Beliau juga menunjukkan ke kami artikel yang berjudul "Disertasi Bukan Sembarang Karya" yang berisi tentang penilaian beliau saat menjadi penguji disertasi di UIN Malang. Masing-masing dari kami di kelas, diminta untuk membaca artikel yang beliau tulis ini. Membaca sedikit demi sedikit dan pelan sambil memahami dan mengambil pelajaran dari sana. Artikel ini beliau tulis sebagai bentuk introspeksi terhadap fenomena ujian disertasi yang ada selama ini. Karena ada beberapa kasus yang menurut beliau kurang tepat. Disertasi adalah karya penelitian terakhir dalam sebuah jenjang Pendidikan formal di Indonesia untuk bisa meraih gelar Doktor di S3. Artinya karya disertasi haruslah perfect; sempurna yang tidak ada cacat di dalamnya.
Saat menjadi penguji disertasi, awalnya beliau ingin bertanya tentang substansi dari isi disertasi yang dituliskan. Namun, keinginan ini ternyata terbantah ketika membuka satu persatu lembaran disertasi yang ada di dalamnya. Bagaimana beliau akan bertanya substansi, jika cara penulisan disertasi itu sudah banyak yang salah. Seperti halnya cara penulisan kata "di". tentu penulisan kata "di dalam" dengan kata "diantaranya" akan berbeda. Satu dipisah dan satunya disambung. Nah, kaedah sederhana ini saja sudah banyak yang salah penulisannya. Kalo ada satu dua kata yang salah, bisa dimaklumi, bisa jadi karena salah pengetikan. Tetapi kesalahan ini tetap berlanjut hingga hampir halaman-halaman terakhir.
Tentunya ini menjadi peniliain beliau, bahwa penulis tidak faham dalam tata cara penulisan yang tepat. Sehingga beliau berkesimpulan bahwa bagaimana akan berbicara isi, kalo penulisan dalam kata saja sudah banyak yang salah. Bahasa menggambarkan fikiran seseorang. Bahasa yang baik, akan melahirkan tata kata dan tata penulisan yang baik, begitu juga sebaliknya. Adanya kesalahan yang beruntun, menunjukkan bahasa penulis tidaklah baik dan menurut penilaian beliau yang saya fahami, juga menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang yang menjadi penulis itu. Akhirnya beliau merasa kecewa, bagaimana mungkin sebuah karya tertinggi dalam bidang akademik kualitasnya seperti ini.
Sebuah karya haruslah sempurna, tidak boleh asal-asalan, apalagi karya itu adalah disertasi. Tidak boleh asal jadi. Tidak boleh asal ujian. Tidak bisa berprinsip pada "yang penting ujian dulu, yang lain dipikirkan nanti". Itu adalah cara berfikir yang tidak tepat. Seharusnya berfikirnya adalah "harus sempurna dulu, baru ujian". Tidak ada kesalahan dulu, baru diujikan. Karena tujuan dari sebuah penulisan, apapun itu bentuk tulisannya, termasuk penulisan disertasi adalah ingin memberikan kesan yang baik bagi seorang pembaca, dan memberikan kesan yang baik itu tidaklah mudah, begitu juga merubah kesan yang buruk menjadi baik, lebih tidak mudah lagi. Dari sinilah, kesempurnaan dalam sebuah karya seharusnya menjadi sebuah keharusan.
Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap beliau selesai menulis sebuah artikel, beliau akan mengeditnya, membaca kembali dua sampai tiga kali bahkan lebih, untuk memastikan tidak ada kesalahan pengetikan di sana. Beliau baca berulang kali tulisan itu sehingga saat yakin sudah nyaman dibaca oleh orang lain, barulah tulisan itu beliau publish. Karena, sebuah tulisan masih menjadi milik penulisnya saat belum disampaikan atau diberikan kepada orang lain atau pembaca. Saat sebuah tulisan sudah disampaikan apalagi sudah dipublish, maka itu bukan milik penulis lagi, tetapi sudah milik publik, mereka yang akan menilainya, sehingga jadikan tulisan itu sempurna, berikan kesan baik buat para pembaca.
Masih ada lagi arttikel yang beliau tunjukkan dan ditulis hari kamis tanggal 31 Oktober 2019 juga, bahkan artikel itu beliau tulis spesial untuk mata kuliyah kami di S3 Pendidikan Bahasa Arab UIN Malang, artikel itu berjudul "Kecerdasan Linguistik itu Apa?". Masing-masing dari kami membaca sedikit demi sedikit artikel itu, namun saat tiba giliran saya, saya memohon maaf kepada beliau, saya duduk di kursi paling kiri dari beliau duduk, tulisan yang ada di pantulan proyektor tidak begitu jelas terlihat oleh mata saya yang minus.
Dalam artikel itu beliau menjelaskan bahwa manusia itu adalah satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa. Manusia diberikan oleh Tuhan tiga kecerdasan sekaligus yang tidak dimiliki oleh ciptaanNya yang lain. Tiga kecerdasan itu disebut dengan "Educational Attitude", yang meliputi Verbal Rasioning Ability, Numerical, dan abstract. Yakni kecerdasan verbal, kecerdasan numerik, dan kecerdasan konsep. Masing-masing dari tiga kecerdasan ini memiliki peran.
Kemampuan bahasa adalah bagian dari kecerdasan verbal. Para orang tua seharusnya membiarkan anaknya yang masih kecil ketika dia cerewet, karena itu bagian dari latihan mereka untuk belajar mengasah kecerdasan verbalnya. Kecerdasan kedua adalah numerik, yakni memahami ide yang diekspresikan melalui angka, berfikir melalui angka seperti aktifitas matematika. Dan yang ketiga adalah kecerdasan konsep, yakni kecerdasan membuat konsep tanpa menghadirkan objek secara nyata, seperti memunculkan sebuah imaginasi. Ketiga konsep kecerdasan ini beliau contohkan dengan gaya Pendidikan yang ada di Singapura, sekilas jumlah rakyat di sana tidaklah banyak, tapi Pendidikan mereka mampu menghadirkan tiga kecerdasan ini untuk rakyatnya, sehingga walaupun jumlah SDM mereka sedikit, namun berkualitas.
Inilah ketiga artikel yang beliau tulis dalam satu hari saja, dan ada ribuah artikel yang sudah beliau tuliskan sejak masa remaja hingga sekarang. Selalu ada hal istimewa yang menarik untuk dituliskan dan diberikan penilaian terhadapnya. Terimakasih Prof. Mudjia, walaupun catatan saya sebagai murid anda masih sangat acak-acakan sekali, tetapi semangat saya untuk menuliskan apapun dari fenomena yang saya lalui, mulai muncul lagi. Anda adalah inspirasi yang baik buat perkembangan budaya literasi yang ada di negeri ini. Semoga Beliau selalu diberikan kesehatan, umur Panjang, dan selalu menyebarkan manfaat untuk Indonesia. Sekali lagi, terimakasih Prof. semoga saya bisa mengikuti jejak keistiqomahan anda dalam menulis. Salam hormat selalu.
Batu, 2 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H