Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ideologi Kebencian Merebut Kebenaran

11 Oktober 2019   19:51 Diperbarui: 11 Oktober 2019   20:10 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Mudjia Raharja saat memberikan mata kuliah filsafat bahasa sebelum bertolak ke Jakarta (Foto : Bisyri)

Ada sebuah ungkapan, "Ilmu berkembang bukan karena banyaknya pengetahuan, tetapi karena sedikitnya kesalahan (Karl R. Popper)", kalimat ini disampaikan kemarin oleh Prof. Dr. Mudjia Raharja saat mengisi mata kuliyah Filsafat Bahasa di kelas kami S3 UIN Malang kemarin hari kamis dari pukul 10.00 hingga pukul 12.00 siang sebelum beliau bertolak ke Bandara menuju Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Jokowi. Saat mata kuliyah selesai, saya membuka social media dan begitu terkejutnya, bahwa apa yang baru saja disampaikan oleh Prof. Mudji menjadi kenyataan dengan bukti kasus tertusuknya Bapak Wiranto oleh seseorang yang diduga terkena faham radikalis ISIS.

Teori-teori konspirasi bermunculan banyak sekali di social media dan kegaduhan kembali terjadi antara berita yang menyebutkan fakta dan data dengan media yang menganggap bahwa itu hanya sandiwara belaka. Terlepas, dari semua teori yang mengemuka. Saya secara pribadi merasa miris dengan sikap tidak adanya empati dari beberapa oknum dengan adanya kejadian ini. Dari sini, bisa diambil sebuah pelajaran bahwa faham ideologi kebencian telah mulai ingin merebut kebenaran dengan versinya sendiri. Kasus Bapak Wiranto hanya fenomena gunung es di Indonesia dari penyebaran faham ideologi kebencian ini.

Prof. Mudji saat di dalam kelas mengangkat sebuah tema besar "apa itu truth; kebenaran?". Dalam filsafat, pandangan tentang kebenaran terbagi menjadi dua golongan pendapat, pertama  adalah pendapat dari golongan positivistik yang menganggap bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang maujud. Yang terlihat itulah yang dianggap benar. Sementara golongan kedua adalah madzhab humaniora, kebenaran adalah share perspective; makna yang disepakati.

Contoh dari pendapat golongan positivistic adalah adanya alam semesta ini. Tuhan menciptakan realita di alam semesta terbagi menjadi dua bagian, pertama given, ciptaan pemberian Tuhan untuk manusia seperti bumi, langit, gunung, sungai dan lain sebagainya. Kategori kedua adalah constructive reality, realitas yang diciptakan oleh manusia, seperti penemuan-penemuan dalam dunia kedokteran dan teknologi.

Realitas sendiri maknanya sangat luas. Ada realitas yang bisa difahami dan ada realitas yang belum difahami oleh manusia. Apa yang belum difahami oleh manusia tentunya lebih banyak. Contoh sederhana saja, ketika kita disuruh untuk mendiskripsikan realitas yang telah kita lihat di depan mata kita, apalagi dengan menuliskannya, pasti tidak akan bisa mewakili dari realitas yang ada. Nah, salah satu tugas seorang ilmuwan adalah mengungkap realitas yang masih belum difahami.

Namun, mengungkap realitas ada batasnya. Dalam surat al-Baqoroh ayat 11 dan ini masih masuk dalam surat kedua dalam al qur'an yang artinya pesan pertama saat kita membaca dan mencoba memahami al-qur'an jelas sekali disana dikatakan oleh Allah Swt. "Dan apabila dikatakan kepada mereka; "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi", maka mereka menjawab; "sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berbuat kebaikan". Ayat ini mengandung isyarat bahwa pengungkapan realitas yang dilakukan oleh manusia syarat utamanya adalah jangan sampai melakukan kerusakan di muka bumi.

Manusia diberikan oleh Tuhan menjadi seorang abdulloh dan khalifah. Mereka adalah hamba Allah sekaligus pemimpin di dunia. Abdulloh; hamba Allah juga disandang oleh mahluk selain manusia, bisa jadi para malaikat dan juga para jin. Namun, kategori kedua hanya diberikan untuk manusia, sebagai khalifah fil ardl, pemimpin di bumi. Nah, predikit kedua ini ada syaratnya, yakni tidak boleh berbuat kerusakan di atasnya.

Sedangkan kategori kedua dari makna kebenaran seperti contoh norma. Norma adalah kebenaran. Tetapi benarnya norma yang belaku di masyarakat tergantung dari kesepakatan atas norma itu. Sehingga masing-masing wilayah akan memiliki penilaian yang berbeda tentang kebenaran dari penilaian yang kedua ini. Norma di Barat, saat seseorang mengobrol, maka norma yang berlaku, pendengar memandang mata orang yang sedang bicara sebagai bentuk penghormatan. Norma di dunia pesantren, justru sebaliknya, seorang santri akan menundukkan pandangan dari Kiainya yang bicara sebagai bentuk penghormatan.

Sumber untuk memperoleh kebenaran itu terbagi menjadi empat, pertama dengan menggunakan panca indera. Mata menjadi salah satu perantara untuk memperoleh kebenaran. Namun, sumber yang pertama ini yang paling lemah karena akan memudar seiring berjalannya waktu, seperti mata yang memakai kaca mata karena lemahnya penglihatan. Penilaian dari yang pertama ini juga cenderung subjektif, tergantung kekuatan indera yang ada.

Sumber Kedua adalah kebenaran filsafat. Sumber ini diperoleh melalui perenungan yang mendalam; deep reasoning. Biasanya dilakukan oleh para filosof. Ketiga adalah kebenaran agama. Kebenaran inilah yang masuk kategori kebenaran absolut dan mutlak. Sebuah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat dan mesti diterima apa adanya. Misalkan ajaran dalam agama islam, tidak semuanya reasionable, seperti contoh proses Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw. Ajaran ini masuk dalam kebenaran yang absolut. Sumber kebenaran yang keempat adalah kebenaran ilmiah yakni kebenaran yang diperoleh dengan cara melakukan sebuah penelitian.

Entah itu kebenaran menurut teori positivistic ataupun kebenaran menurut pendapat golongan humaniora bisa berkembang berkat bahasa. Dari bahasa, manusia membuat kebudayaan, dari kebudayaan manusia menciptakan peradaban. Kebudayaan merupakan nilai-nilai yang diciptakan oleh manusia dan ini berhubungan dengan norma, sedangkan peradaban lebih kepada kemajuan yang bersifat fisik. Artinya, bahasa, budaya, dan peradaban menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Makna kebenaran secara teorti bertemu di titik ini.

Melihat dari yang sudah dijelaskan oleh Prof. Mudjia ini, saya memahaminya sebagai teori penting dalam kita memahami fenomena di masyarakat saat ini. Bahwa makna kebenaran ini akan selalu diperebutkan sepanjang masa. Saat ini, yang mengemuka adalah ada ideologi kebencian yang ingin merubah norma yang sudah berlaku di Indonesia. Secara norma yang berlaku sejak dulu, Indonesia memiliki norma yang terkenal dengan keramahannya. Inilah yang ingin mereka rubah.

Saat ideologi kebencian menguasai. Semua norma yang berlaku akan dibangun di atas kebencian semuanya dan menjadi sebuah kebenaran baru yang disepakati. Saat banyak orang diam dan menganggap fenomena yang ada selama ini sebagai hal yang tidak terlalu serius, ideologi kebencian akan semakin cepat menemukan momen untuk mewujudkan hal itu di Indonesia dan apa yang diprediksikan oleh Bapak Prabowo bahwa tahun 2030 Indonesia bubar bisa jadi terwujud akan lebih cepat lagi.

Namun ketika ada orang-orang yang masih peduli dengan keutuhan norma kebenaran yang ramah dan berlaku di Indonesia saat ini terus bergerak, selalu mengingatkan keindahan akan norma itu. Maka cita-cita Indonesia Emas tahun 2045 yang digaungkan oleh Bapak Jokowi bukanlah menjadi cita-cita yang kosong belaka. Bukan saatnya orang-orang yang menganut ideologi ramah untuk diam. Detik ini, saat ini, hari ini, semestinya para pecinta negeri ini perlu untuk menggaungkan lebih keras lagi dalam menyebarkan ideologi ramah ini.

Sejak dulu keramahan menjadi ciri khas dalam perkembangan negeri ini, keramahan gaya Nusantara hingga menjadi Indonesia sekarang. Ideologi ramah itu terkumpul dalam makna Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada ruang buat Ideologi kebencian yang diimpor dari pengalaman keberhasilan memporak-porandakan bangsa yang dilakukan oleh ISIS (didukung Israel dan beberapa negara Barat) di Timur Tengah. Sekali lagi, mari bangun! Jangan sampai kita baru sadar saat ideologi kebencian menjadi norma resmi negara dan semuanya sudah hancur. Ideologi kebencian sedang merebut kebenaran.

Malang, 11 Oktober 2019 Pukul 19.43 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun