Belakangan Indonesia sedang diramaikan dengan beberapa peristiwa-peristiwa yang yang beraneka ragam, mulai dari demo-demo yang tidak berkesudahan menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden. Hingga kasus kerusuhan di Papua.Â
Diantara yang membuat ramai adalah Revisi UU KPK yang dianggap sebagai undang-undang untuk melemahkan KPK dalam proses pemberantasan korupsi dan lagi-lagi bola panas ingin diberikan kepada presiden Jokowi agar mengeluarkan Perpu dalam menindaklanjuti adanya RUU KPK ini. Banyak juga kalangan yang mengambil sikap tegas dengan menolak mentah-mentah Revisi UU KPK ini.
Di sisi yang lain, orang-orang yang dianggap buzzer pemerintah, mati-matian memberikan argumentasi bahwa RUU KPK tidak berbahaya, justru dengan adanya RUU KPK ini, KPK menjadi tidak kebal hukum dan ada pengawasan, karena KPK bukan organisasi malaikat yang suci, cara pertahanan ini salah satunya lewat image yang selalu ditanamkan berupa informasi bahwa "ada Taliban di dalam tubuh KPK", tentunya yang paling viral dalam mengomentari istilah ini adalah Denny Siregar dengan slogannya yang berbunyi markibong.
Catatan ini bukan untuk mengomentari RUU KPK, bukan berarti saya setuju atau tidak setuju, tetapi saya ingin melihat hal lain yang menurut saya belum dipertimbangkan oleh berbagai kalangan. Bagaimanapun, para pimpinan KPK berpengaruh terhadap kinerja manajemen di dalam tubuh KPK.Â
Kalo kita melihat nama-nama para pimpinan KPK ini, dimulai dari Pertama, Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali), Kedua, Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) periode 2013-2018), Ketiga, Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember), Keempat, Alexander Marwata (komisioner KPK petahana sekaligus mantan hakim tindak pidana korupsi), dan ketua pimpinannya adalah yang Kelima, Irjen Firli Bahuri (Kepala Polda Sumatera Selatan).
Dari kelima pimpinan KPK ini, ada satu nama yang saya secara pribadi tidak asing. Nama yang tidak asing itu adalah Bapak Nurul Ghufron, beliau diberikan amanah sebagai ketua umum MATAN Jember dan beliau orang sudah berbai'at thoriqoh yang sudah diakui di NU.Â
Walaupun di media-media tidak ada yang mengangkat peran beliau di masyarakat sebagai pimpinan organisasi anak-anak muda yang concern dalam dunia tasawwuf dan hanya mengangkat peran beliau sebagai dekan fakultas hukum Universitas Jember, tetapi di MATAN sendiri, nama beliau sudah tidak asing lagi. Karena saya sendiri juga diberikan amanah untuk menjadi ketua umum MATAN Banyuwangi.
MATAN singkatan dari Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabaroh An Nahdliyah. Definisi mahasiswa adalah seseorang yang sedang menempuh dan mengamalkan ilmu thoriqoh atau tasawwuf, baik yang sedang dalam pendidikan atau telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi pada jenjang Strata 1 (S.1), Strata 2 (S.2), Strata 3 (S.3), atau di lembaga pendidikan pesantren dan atau pendidikan thoriqoh atau tasawwuf lainnya.
Adapun yang dimaksud Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabaroh adalah para pengamal thoriqoh yang silsilah sanadnya terhubung (muttashil) hingga Baginda Rosulullah Muhammad SAW. Sedangkan An Nahdliyyah yang dimaksud di sini adalah bahwa thoriqoh yang mu'tabar tersebut telah diverifikasi dan ditasheh oleh Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyah (JATMAN) sebagai thoriqoh yang diakui dan masuk dalam Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' (NU). Saat ini JATMAN dipimpin oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan.