[caption id="attachment_160206" align="alignnone" width="640" caption="Penampakan di depan Goa Tsur, Makkah. (Foto : Irfan Islami)"][/caption] Catatan ini merupakan kelanjutan kisah perjalanan saya ketika umroh ramadhan kemarin selama lebih dari satu bulan menggunakan perjalanan darat, laut dan udara dari Mesir. Setelah fakum lama, hampir dua bulan, pagi ini kok tiba-tiba saya pengen melanjutkan lagi. Semoga ada yang membaca dan bisa sharing pengalaman buat teman-teman kompasiana. Tepat tanggal 2 Syawwal jam tiga dinihari, saya bersama teman-teman Mesir yang berkumpul di asrama Rubbath di Makkah sudah berada di pinggir jalan raya, mencari kendaraan yang bisa ditumpangi. Sayang, Makkah tidak sama dengan Jakarta yang pada saat dini hari masih ada saja angkot yang berkeliaran mencari penumpang. Kami menelinguk kesana kemari dan mencegat kendaraan apa saja, ya semuanya pasti mobil pribadi. Tiba-tiba, di depan toko ada orang arab, dia menuju mobilnya yang bermerk Hilux Toyota. Terang saja, beberapa dari kami langsung mengejarnya. Kami mengucap salam, basa basi, "Mumkin naruh ila jabal tsur?", mungkin kita bisa pergi ke gua tsur?. Dia agak bingung, mungkin dia kira ngapain dinihari begini ke sana. Apalagi kami orang asing juga. Suasana jalanan masih sepi. Di sebelah kanan saya, terlihat menara jam besar yang ada di dekat masjidil haram dari jarak jauh. "Antum kam nafar?", kamu semua ada berapa orang?, tanya orang arab itu. Kami mulai berhitung, mas faiq yang menjadi ketuanya. "tsalatsa asyar", 13. "Kullu nafar bi tsalatsah riyal, mesyi?!", tiba-tiba mas faiq langsung memberikan harga, "setiap orang tiga reyal, oke?!". Orang arab yang tidak kami tahu namanya itu yang kami panggil hanya dengan sebutan "Ya Haj", layaknya memanggil orang arab yang tidak dikenal tampak berfikir. "Yallah bina", ya udah ayolah. Kami semua naik, di depan ada 5 orang dan sisanya berkumpul dibak belakang. Udara sepoi-sepoi. Ramadhan masih masuk dalam musim panas, sehingga hawa sejuk sangat terasa ketika kami naik mobil. Saya hanya memakai kaos lengan pendek dan tidak terasa kedinginan sama sekali. Mas Irfan yang berasal dari NTB mulai jeprat jepret, baginya setiap view yang ada di mana saja adalah sasaran empuk untuk mengabadikan moment. Setiap dari kami yang berdiri di bak belakang tidak lupa kena bidikan kameranya. Maklum kameranya bagus sih, merek Nikon. Saya berdiri di bak bagian depan dengan siwak di mulut. Lampu-lampu kota Makkah begitu indah di sepanjang jalan. Ada beberapa mobil yang menyalip kami dan mereka adalah orang-orang arab yang kelihatan heran. Mungkin, fikirnya ngapain juga orang asing jalan-jalan di dinihari yang sepi. Tapi kami malah ngajak mereka guyon saja. Ulin yang biasanya meramaikan suasana, kali ini tampak menikmati dan diam saja. Kami berhenti di pinggir jalan raya. Menurut informasi yang kami terima dari teman-teman asrama Rubbath Jawa, butuh waktu paling tidak 3 jam untuk bisa sampai di puncak gunung Tsur yang dulu menjadi tempat persembunyian Nabi Muhammad dan sahabat Abu Bakar ketika kaum kafir quraisy mengejar beliau berdua yang hendak hijrah ke kota Madinah. Sepi. Seperti kota mati, tidak ada kehidupan sama sekali. Hanya ada lampu-lampu kuning yang menyala di depan apartemen-aparteman orang arab yang tertutup. Saat kami berjalan baru 50 meter, si ulin buat gara-gara. "Aku ingin buang air kecil, sekalian mau menunggu subuh", kata dia. Waduh. Padahal sesuai rencana ketika berangkat tadi, kami sudah sepakat mengejar adzan subuh di puncak gunung tsur. Kami perkirakan waktu masih nutut untuk shalat di sana. Karena anak muda, jadi jarak tempuh yang biasanya katanya butuh 3 jam, bisa dipercepat. "Ditahan dulu lah lin, nanti aja, jam segini mana ada masjid yang buka, atau ente jadi kebanyakan orang Mesir aja yang kullu makan hammam (setiap tempat adalah toilet) karena bisa kencing di mana-mana. hahaha", gurauan teman-teman. Tapi ulin tidak menggubris, dia langsung pergi begitu saja meninggalkan kami mencari masjid yang bisa ia buat membuang hasratnya buang air kecil. "Udah kita tinggal aja, kalo kita menunggu ulin, kita gak dapat waktu subuh", kata yang lain. Saya ngikut aja. Ternyata tadi kami hanya membawa satu galon air aqua yang ukuran 2 liter, padahal jumlah kami banyak, mana cukup air segitu untuk persediaan minum selama perjalanan, apalagi ini musim panas dan tau sendiri, gunung di arab tidak sama dengan gunung di Indonesia, di sini semuanya bebatuan campur pasir. Panas! Benar saja, baru sekitar 200 meter kami menanjak gunung, kami sudah mulai kehausan. Baru berhenti sejenak dan kami meminum air yang kami bawa, air dua liter sudah tinggal separo. "Udah, ayo kita lanjut, siapa tau di atas ada orang jualan", kata khairan, teman saya. Saya berjalan bareng pak Zawawi, beliau merupakan kandidat doktor di Universitas Al-Azhar, Mesir. Awalnya ketika kenal beliau pertama kali, saya tidak percaya kalo dia adalah hampir Doktor, karena perawakan yang kecil seperti saya dan wajah yang kelihatan sangat muda. Ternyata dia adalah senior saya jauh. Dan semangat beliau sungguh luar biasa selama umrah ramadhan ini. Saya salut padanya. Banyak teman-teman yang sudah loyo ketika sampai tengah perjalanan. Saya akui. Mendaki gunung di arab yang paling diserang adalah tenggorokan, rasanya garing banget. Mungkin karena di sekitar kami tidak ada pepohonan sama sekali dan juga banyaknya debu dan pasir yang diterjang oleh angin. Keadaan seperti ini juga pernah saya rasakan ketika mendaki gunung Sinai yang ada di Mesir. "Kita istirahat dulu lah", kata teman-teman. "Ayo kita naik dikit-dikit, mengejar subuh", pak zawawi mengajak saya. Saya ayo saja. Walaupun terasa capek dan tenggorokan seperti digaruk-garuk terasa kotor, saya memberanikan diri untuk terus naik. Saya kaget ketika hampir di atas kok tiba-tiba ada orang tidur di pinggir jalan yang saya lewati. Saya amat-amati ternyata dia adalah seorang pengemis orang Banggali. Oalah. Kasihan dia. Dia tidur beralaskan hanya kertas. Kami terus naik dan alhamdulillah kami sampai di puncak. Ternyata pas di atas goa tsur sudah ada tiga teman yang telah mendahului saya, tadi mereka jalan memang agak cepat. Yang satu teman waktu di Indonesia emang udah biasa mendaki gunung dan orang pramuka, jadi biasa aja menghadapi medan seperti ini. Alhamdulillah ada warung juga pas di depan pintu goa tsur. Penjaganya lagi-lagi orang Banggali. Saya langsung membeli dua botol air mineral, untuk minum dan untuk berwudlu. Kami bersama menikmati keindahan kota Makkah dinihari dilihat dari ketinggian. Sungguh indah, sorotan lampu masjidil haram begitu terang. Jam yang katanya terbesar di dunia yang ada di tower Zamzam juga terlihat sombong dan kami bisa melihat dengan jelas jarumnya. Tidak lama kemudian terdengar suara bersahut-sahutan dari penjuru kota Makkah. Adzan subuh berkumandang dari seluruh masjid. Di atas kami, ada rombongan teman-teman dari Turki, salah satu mereka mengumandangkan adzan, suaranya sangat merdu. Saya menuju ke bawah dekat goa, rupanya teman-teman yang lain belum sampai atas juga. Kami ikut berjama'ah bersama teman-teman Turki. Saat selesai membaca surat Fatihah dilanjut dengan bacaan salah satu surat dalam al-qur'an. Betapa hati saya terenyuh dan seakan saya hadir ketika Nabi Muhammad dan sahabat Abu Bakar dikejar oleh para kafir quraisy dan bersembunyi di goa dekat kami shalat. Ya, imam shalat membacakan ayat yang menerangkan tentang kisah Nabi dan Abu Bakar ketika bersembunyi di goa tsur ini. Usai shalat subuh, kami narsis-narsis dengan mengambil foto view gunung-gunung yang ada di sekitar gunung tsur. Saya masuk ke dalam goa. Saya duduk dan melihat sekeliling goa. Masya Allah, inilah tempat yang dulu pernah diduduki oleh manusia terbaik di alam ini. Saya membacakan shalawat atas Beliau beberapa kali. Saat tiba waktu dhuha, saya shalat di atas sajadah yang ada di dalam goa sambil duduk, karena ketinggian goa yang tidak memungkinkan saya untuk berdiri. Teman-teman sudah datang semua dan ketika matahari sudah mulai menampakkan cahayanya, banyak para jama'ah umroh yang belum pulang ke negaranya yang mendatangi tempat ini. "Beruntug ya tadi kita berangkatnya dinihari, jadi masih sepi dan bisa menikmati berdoa di dalam goa tsur", kata teman-teman. Karena saat kami mulai turun, sudah ada antrian yang panjang di mulut goa, mereka semua menunggu untuk mendapatkan jatah bisa berdoa dan melihat seperti apa sih goa tsur itu. Di bawah gunung sudah sangat ramai, ketika kami sampai. Kami agak lama menunggu untuk pulang karena sulit mendapatkan kendaraan lagi. Akhirnya kami berpisah, ada beberapa teman yang terpaksa mencegat taksi sendiri dan pulang ke asrama Rubbath. Tapi, mas faiq emang gigih, dia tetap berusaha mencarikan kami kendaraan. Ada satu kendaraan tramco yang mau mengantar kami, padahal dia lagi nunggu jama'ah. Mas faiq dan teman-teman negosiasi harga, "Okeh, ayo naik, kita langsung ke masya'iril haj (tempat-tempat untuk ibadah haji) yang ada di Mina dan arafah", kata mas faiq semangat. Kami berangkat dan sopir menyetir dengan ogal-ogalan. Berlanjut ke kisah berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan #dapatkan fee Rp. 500 ribu seumur hidup bagi yang berhasil mengajak 1 orang menjadi mitra bisnis sy. *call me for info "SAATNYA ANDA MENJADI ENTREPENEUR".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H