Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Baltaji: Preman Mesir Berpistol

26 Oktober 2011   00:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_143939" align="alignleft" width="298" caption="Pistol nodong punggungku (ilustrasi by google.com)"][/caption] "Istafti qalbak, istafti qalbak, istafti qalbak!!", entah kenapa malam ini, nasehat dari guru spiritualku terngiang terus menerus di hati dan fikiran, tidak biasanya. "Mintalah nasehat/fatwa ama hatimu!". Aku sedang berada di rumah sahabat di Toubromly belakang dekat area pemakaman luas untuk penduduk Mesir wilayah Nasr City yang jika dilihat dari balkon apartemen ini layaknya perumahan yang berjajar rapi dan banyak lampu-lampu kecil yang ada di sana. Ada bau tak sedap ketika aku berdiri di balkon, tidak jauh dari area pemakaman yang seperti pemukiman itu memang ada markaz militer Mesir dan pembuangan sampah terakhir. Padahal, jaraknya banyak kilo, angin membawa bau itu sampai ke sini. "Gimana gus, kita jadi berangkat ngaji gak?", aku bertanya kepada gus Bara, putra salah satu Kiai besar di Jawa timur yang sedang menempuh semester akhir di universitas al-Azhar. Sekarang sudah jam 2 dinihari. Sudah umum di kalangan teman-teman di Cairo, malam menjadi siang, siang menjadi malam. Kami jarang tidur malam, bahkan kadang tidurnya bisa diqadha' setelah beberapa hari kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu, dunia Mesir terasa lambat, apalagi kalau lagi masa liburan, seperti santai kayak di pantai slow kayak di pulau, rileks kayak di Alex. "Hatiku merasa gak enak gus, tapi eman dengan wirid berjama'ah nanti setelah shalat subuh di masjidnya Syeikh Yusri", Aku mengutarakan perasaan hatiku kepada gus bara. Aku termasuk istiqamah kalo untuk urusan mengaji, padahal jarak dari Toubromly sini ke masjidnya Syeikh Yusri tidak dekat. Untuk bisa ke sana yang letaknya di atas wilayah gunung/gabal Muqattam, kami harus ke Hayyu sabi' terlebih dahulu dan barulah di sana ada beberapa kendaraan yang akan mengantarkan hingga ke pasar di Muqattam, biasanya walaupun dinihari seperti ini, selalu ada kendaraan taksi. Aku tetap goyah, "berangkat gak, berangkat gak, berangkat gak", pertanyaan yang gak bisa ku jawab. Aku bertanya lagi, "Udah, ayo berangkat", kata gus bara. Ya sudahlah aku manut. Eman, sekarang adalah hari jum'at dan setiap dini hari setelah shalat subuh, para jam'aah di masjidnya Syeikh Yusri selalu mengadakan wirid khusus berjama'ah, sejenis wirid untuk tarikat sufi. Aku kagum dengan guruku yang satu ini, beliau adalah Doktor Al-Azhar, beliau juga seorang dokter bedah profesional, ilmu agamanya sangat dalam dan ilmu kedokterannya juga sangat dikenal di Mesir, dan beliau juga pemimpin sebuah tarikat sufi di Mesir. Kami turun dari apartemen dari lantai tiga. Udara dingin sudah terasa, seperti berada di kota mati. Hanya ada suara gonggongan anjing berasal dari gurun pasir sebelah kanan tempat apartemen gus bara dan teman-temannya tinggal. Di lantai dasar, di sebelah kiri yang dibuat tempat tinggal oleh penjaga apartemen sudah tutup pintunya, ruangan itu kecil dan ditempati oleh suami istri dan beberapa anak orang Mesir yang bertugas menjaga apartemen kami, kami memanggil mereka dengan sebutan "bawwab" yang berarti penjaga pintu. Tiap bulan tiap rumah dari apartemen harus membayar mereka 50 pound, setara dengan sekitar 100 ribu, jika setiap lantai ada 4 rumah dan satu apartemen ada lima lantai, berarti tinggal ngalikan aja. "Gus, aku tetap ragu, tidak biasanya". "Udahlah, tawakkal 'alallah, insya Allah khair", gus bara menguatkan tekatku. Di bawah apartemen-apartemen yang menurutku jika diamati seperti sarang burung ini tidak ada orang sama sekali. Mereka sudah terlelap dalam mimpi-mimpinya. Aku katakan sarang burung karena bentuknya tidak nyeni sama sekali, hanya kotak seperti kubus dan di luarnya pun tidak halus, katanya sih emang sengaja dibuat kasar dan berwarna coklat agar walaupun selama dibangun hingga bertahun-tahun tidak dibersihkan, gak kelihatan kotornya, karena warna debu dan warna bangunannya sama. Mobil-mobil di bawah apartemen terparkir berbentuk pararel dan banyak yang asal parkir. Di kawasan Toubromly ini tidak ada garasi mobil di bawah apartemen, sehingga mobil-mobilnya berserakan sampai ke jalan-jalan. Aku bersama gus bara berjalan menembus kegelapan menyeberangi jalan raya yang 50 meter dari arah kiri sudah masuk kawasan pemakaman luas Toubromly, kami sengaja memilih jalan raya ini, karena di sini masih banyak kendaraan yang lalu lalang. Jalan raya ini adalah tembusan jalan dari jalur utama Ring Road Ma'adi, jalan lingkar Cairo yang selalu ramai 24 jam. Dini hari seperti ini pasti udah gak ada kendaraan umum yang lewat. Makanya kami ngawur saja mencegat setiap kendaraan yang lewat untuk bisa mengantarkan ke hayyu sabi'. "Sabi',,sabi'?", tiap mobil kami teriaki. Tidak ada yang mau berhenti. Ah! mungkin dan bisa saja mereka takut untuk berhenti. Kami seperti hantu. Suara yang rupa orangnya tidak kelihatan, hanya tau ketika lampu mobil menyoroti wajah. Ya, aku dan gus bara berdiri di kegelapan pinggir jalan. Di sini tidak ada penerangan sama sekali, aneh, padahal di sisi kanan sekitar 100 meter adalah pusat pembagian listrik untuk wilayah Nasr City dan di tempat aku berdiri malah gelap-gelapan. Sebuah minibus berhenti, ketika kami berteriak bersama, "sabi'...sabi'". Di dalam bus itu tidak ada lampu, gelap, tidak kelihatan orang sama sekali, bahkan aku tidak melihat sopirnya juga. Udah jalannya gelap, bus itu juga sengaja atau emang gak punya lampu. Pintu depan dibuka secara otomatis oleh sopir. Ada suara muncul dari dalam bus, "sabi' fein?", sabi'nya mana?. Aku maju mendekat ke pintu sembari mengintip ke dalam bus, "uddamu syabrowi", depan syabrawi. "Ta'al yallah", ayo silakan, kata si sopir. "Ente yakin mau naik ini", tanya gus bara khawatir. Aku memperlihatkan jam tangan kepadanya, "Udah hampir subuh gus, kita harus ngejar waktu, perjalanan dari hayyu sabi' menuju Muqattam paling tidak 20 menit, bismillah aja lah". Dia tetap ragu, tapi aku meyakinkannya lagi. Aku masuk minibus lebih dulu sembari mengucap salam kepada si sopir yang tetap saja tidak kelihatan seperti apa bentuk wajahnya. Saat kami sudah masuk bus, si sopir memencet pintu otomatis dan pintu bus tertutup. Kami berangkat. Aku mengamati dengan pelan-pelan dalam gelap. Aku kaget, ternyata di dalam bus, di kursi-kursinya ada 4 orang, berarti ada lima orang jika ditambah dengan si sopir. Tiba-tiba mereka menyapa kami. "Rouh fein ila sabi'?", mau pergi ke mana kok ke sabi'?, tanya salah satu dari mereka, entah yang mana yang nanya karena mataku tidak begitu canggih bermain dalam gelap. "Ila muqottom, ila syeikh Yusri, syeikh fi jami'atil azhar", ke Muqottom, ke syeikh Yusri, salah satu guru di Universitas Al-Azhar", jawabku dengan nada datar. "Inta tholib fil azhar?!", nada pertanyaan yang dia ajukan agak tinggi, seperti ada ketidakpercayaan. Aneh mungkin, ngapain dinihari begini ada orang asing jalan-jalan bahkan berani mencegat mobil tak dikenal dan berani menaikinya juga, aku hanya menduga-duga jalan fikirannya saja. "Na'am, dih fi santhoh kullu kutubul jami'ah", ya, di tas kami ini semuanya berisi kitab, jawabku mantap sambil memindahkan posisi tas yang awalnya di punggung kupindah ke depan. Tiba-tiba, "Grek!", di punggungku ada sebuah benda menyentuh dan dalam. Bus berhenti di kawasan sangat sepi dan gelap di dekat kawasan pabrik di belakang gedung wafa' wal amal, juga dekat dengan pabrik Pepsi Cola. Tidak ada orang sama sekali. Hanya bus yang kami tumpangi yang ada. "Gus, gimana", dengan nada agak takut aku sapa gus bara. Aku dan gus bara sudah tidak bisa berkutik, seluruh pintu minibus tertutup rapat. Empat orang yang tadi duduk, tiba-tiba semuanya berdiri dan mengelilingi kami. Ternyata benda yang ada di punggungku adalah pistol, seluruh orang yang ada di dalam bus menodong kami dengan pistol. Wajah mereka garang, terlihat dari sedikit cahaya pabrik yang mampu menembus gelapnya bus. "Fein fulus?", mana uangnya?, nada bentakan untuk memberikan uang keluar dari mulut mereka sambil tangan mulai merogoh ke setiap saku. "Ana tholib, ma fisy fulus", aku hanya pelajar, tidak ada uang, jawabku dengan sedikit gemetar. Aku terus membaca shalawat kepada Nabi, meminta pertolongan kepada Allah. Ternyata apa yang aku khawatirkan tadi ketika hendak berangkat jawabannya ada di sini. "Istafti qalbak". Benar sekali apa kata guruku ini. Jika mantap majulah, jika masih ragu, gak usah. Aku tadi ragu dan tetap menembus keraguan. Inilah hasilnya. "Fein yabny!!!??", ayo mana?!, bentakan keluar lagi. Aku memegang dan memeluk erak tas yang kubawa. Selama sehari tadi aku keliling ke rumahnya teman-teman mahasiswa Indonesia di kawasan Hayyul ashir untuk menagih mereka bayaran untuk bisnis akun pulsaku dan di dalam tas ini ada uang 6000 pound, jika dirupiahkan ada 12 juta dan ada dua hp, itu bukan uangku, aku harus setor kepada bosku, rencananya besok sore setelah pulang mengaji. Aku merinding, ada keringat dingin keluar dari tubuh. Sementara gus bara yang ada di depanku tidak bergerak sama sekali, dalam keremangan ku lihat wajahnya merah dan matanya sedikit melotot, dia tetap diam. "Plak..plak..plak!!!", mataku langsung sangat panas, dari belakang ada tangan kasar sekali menampar wajahku. "Duh Gusti apa salahku", hatiku mulai mengadu. Air mata panas tidak bisa sembunyi dari bilik mata karena tamparan keras barusan. Mereka sudah bermain kasar setelah membentak beberapa kali dan tidak kami gubris. Todongan pistol dari punggung juga mulai terasa sakitnya, todongan itu terasa sampai tulang seperti pisau yang ditempelkan. Mulailah tangan yang bermain, dia berhasil mengambil 2 handpondku. Ketika hendak merogoh tas yang berisi uang, aku berusaha mempertahankan diri. Aku teringat dengan penggalan hadits Nabi, bahwa orang yang mati untuk mempertahankan harta yang hendak dicuri, maka baginya dihukumi mati syahid. Aku melihat orang di depanku yang sedang menggeledah gus bara mendapatkan hp E73 dan beberapa lembar uang. "Khalash..khalash!", setelah beberapa menit berlalu dalam ketegangan, si sopir melihat kami dengan wajah memelas, dia memberi peringatan kepada teman-temannya yang sedang asyik mempermainkan ketakutan kami. "Udah..udah", kata dia. Aku melihat sorot matanya, ada rasa kasihan di sana. Mata sebelah kananku terasa panas sekali. Gus bara menoleh kepadaku, mata kami bertemu, duh! aku gak tega melihat ekspresi dia, aku langsung tertunduk. Punggungku juga semakin terasa sakit sekali, todongan itu semakin ke dalam. Tiba-tiba pintu bus dibuka dan empat orang mendorong kami keluar. Aku kaget dan hampir terjatuh di aspal. Minibus itu langsung tancap gas dan menghilang dari pandangan kami. "Gimana keadaan sampean gus?", spontan aku langsung nanya gus bara. "Hp baru kena dan uang ada 600 pound, hampir 1,2 juta". "Punyaku dua hp gus, sony dan nokia, uangnya ada 300 pound", jawabku. "Gimana gus, kita pulang atau lanjut ke syeikh Yusri". "Pulang aja yuk, aku masih trauma banget, besok siang aja kita ke sana ikut ngaji setelah shalat dhuhur, sekarang kita istirahat dan menenangkan diri dulu". Kami berjalan lemas menembus kegelapan lagi ke Toubromly. Sampai rumah, aku langsung membuka internet dan menuliskan apa yang barusan terjadi. Kabar langsung menyebar ke seantreo Cairo setelah kami mempublish kejadian itu lewat situs jejaring sosial teman-teman mahasiswa Indonesia di Mesir. Mesir pasca Revolusi selalu tidak bisa diprediksi, banyak sekali preman bersenjata yang terkenal dengan nama Baltaji, semua dari mereka membawa pistol bahkan aku pernah mengerti dengan mata sendiri membawa senapan laras panjang, entah mendapatkan dari mana. Apalagi hukum masih sangat lemah sekali karena masih dipegang oleh pemerintahan sementara. Pagi hari, saat teman-teman bangun, mereka heran. "Wajahmu kenapa, mata sebelah kanan wajah merah banget, abis gulat yaa", sambil ketawa. Aku ceritakan kronologinya, akhirnya mereka memberikan simpati. Ba'dha duhur aku pergi ke kediaman Syeikh Yusri, beliau langsung mengusap bekas lukaku dan membawaku ke klinik kecil di rumahnya dan diberikan obat. Beliau memberikan banyak sekali nasehat yang menyejukkan. "Itu adalah pelajaran berharga bagimu, lain kali jangan sembrono, apalagi waktu dini hari saat gak ada orang, jangan mudah percaya dengan orang yang hendak memberi tumpangan", kata beliau. Saat ini aku baru benar-benar percaya dengan pesan guruku tentang "istafti qalbak", dengarkan apa kata hati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun