Mohon tunggu...
Mukhamad Bisri
Mukhamad Bisri Mohon Tunggu... Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta -

Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Sumber-sumber Pendapatan Negara; Umum vs Islami

28 Agustus 2017   11:38 Diperbarui: 29 Agustus 2017   13:09 10066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

  • Sumber-sumber Pendapatan Negara Secara Umum

Dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menghimpun dana guna menjalankan pemerintahan. Pertama, melakukan bisnis. Pemerintah dapat melakukan bisnisseperti perusahaan lainnya, misalnya dengan mendirikan Badan Usaha MilikNegara (BUMN). Seperti halnya perusahaan lain, dari perusahaan negara ini diharapkan memberikan keuntungan yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan negara.

Kedua, pajak. Penghimpunan dana yang umum dilakukan adalah dengan cara menarik pajak dari masyarakat. Pajak dikenakan dalam pelbagai bentukseperti pajak pendapatan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. Pajak yang dikenakan kepada masyarakat tidak dibedakan terhadap bentukusahanya sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan.

Dalam sistem dan tradisi kepemimpinan Islam, yang paling dipentingkan dalam pajak adalah faktor distribusi yang harus dibangun di atas prinsip penyamarataan dan netralitas. Di sisi lain, juga menekankan pada prinsip-prinsip kemudahan dan produktivitas.

Menurut Ibn Khaldun, penetapan pajak harus didasarkan pada prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Seperti pada pajak tanah, kharj, jizyah, dan lain-lain. Semua itu memiliki batas yang tidak dapat dilebihkan. Beliau juga menganalisis efek dari pengeluaran belanja pemerintah dalam perekonomian, yang nantinya diikuti oleh Keyness. Ia berpendapat, "Penurunan dalam penghasilan pajak disebabkan juga oleh penurunan belanja pemerintah".

Alasannya adalah negara sebagai pasar paling besar, ibu semua pasar, dasar semua perdagangan, substansi dari semua pemasukan dan pengeluaran. Apabila bisnis pemerintah merosot dan volume perdagangan kecil, secara alami pasar yang tergantung akan menunjukkan hal yang sama, atau lebih hebat lagi. Selanjutnya, uang selalu beredar di antara raja dan rakyatnya. Oleh karena itu, apabila raja menyimpan atau menahan uangan, maka kerugian akan menimpa rakyat. Sunah Allah berlaku atas hamba-hamba-Nya.

Ketiga, meminjam uang. Sebagaimana dipahami sekarang ini pada perekonomian modern, utang merupakan instrumen yang sangat lazim terjadi, sehingga seakan-akan tidak akan ada pembangunan bila tidak ditunjang dengan utang luar negeri. Perlu dipahami bahwa dalam perekonomian saat ini, utang sebagai kebijakan pembangunan bukan hanya timbul akibat kebutuhan yang berlebihan dari pada penerimaan, namun juga akibat kelaziman yang telah mentradisi, sehingga mau tidak mau sebuah negara akan sulit keluar atau bahkan menghindari kondisi utang.

Dalam Islam, sangat dianjurkan untuk tidak berutang, baik individu maupun kolektif (negara). Apalagi dalam konteks negara, kita dihadapkan pada situasi di mana sebuah negara Islam memiliki fungsi untuk menyebarkan dakwah Islam dalam diplomatik internasional secara mandiri dan bebas. Fungsi ini sangat menuntut kondisi negara Islam yang memiliki integritas tinggi. Bagaimana mungkin suatu negara dapat menjalankan fungsinya seperti itu bila kemandirian dan integritas sebagai bangsa tidak ada akibat dililit oleh utang.

Bagi pemerintah di suatu negara dapat saja meminjam dana dari masyarakat atau sumber-sumber lainnya, namun harus dikembalikan di kemudian hari. Dan masyarakat perlu mengetahui dan mendapat informasi yang jelas bahwa dikemudian hari mereka akan membayar pajak yang lebih besar untuk membayar utang yang dipinjam hari ini. Meminjam uang hanya sementara dan tidak boleh dilakukan secara terus-menerus.

  • Sumber-sumber Pendapatan Negara Secara Islami

Sumber-sumber pendapatan negara di zaman Rasulullah Saw. tidak hanya terbatas pada zakat semata, namun ada beberapa pos lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyokong keuangan negara. Zakat sendiri baru disyariatkan pada tahun kedelapan Hijriyah. Pertama, zakat. Pada masa awal-awal Islam, penerimaan pendapatan negara yang bersumber dari zakat berupa uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan. Zakat merupakan unsur penting karena sistemnya penunaiannya yang bersifat wajib (obligatory zakat system), sedangkan tugas negara adalah sebagai 'mildalam mekanismenya.

Zakat merupakan kewajiban bagi golongan kaya untuk memberikan perimbangan harta di antara sesama masyarakat. Dalam negara yang memiliki sistem pemerintahan Islam, maka negara berkewajiban untuk mengawasi pemberlakuan zakat. Negara memiliki hak untuk memaksa bagi mereka yang enggan berzakat jika mereka berada pada taraf wajib untuk mengeluarkan zakat. Apalagi jika mempertimbangkan keadaan masyarakat yang secara umum lemah perekonomiannya.

Mencoba memperbandingkan dengan sistem konvensional, maka pemasukan zakat sangat tergolong kecil. Meskipun demikian, negara Islam tidak berada pada posisi yang terbebani, karena secara mendasar, sistem zakat telah secara langsung dan signifikan telah mengurangi beban negara dari spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya, yaitu menanggulangi kecenderungan negatif dan pengangguran, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Dilain sisi, zakat merupakan ujung tombak pertama dari negara yang berfungsi untuk menjamin kebutuhan minimal rakyat.

Kedua, ghanmah. Ghanmahmerupakan pendatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil ghanmahsecara khusus diatur langsung dalam Alquran surah al-Anfl ayat 41. Empat perlima dibagi kepada para prajurit yang ikut dalam perang, sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang sitaan akibat
pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanmah.

Ketiga, khumus. Khumusatau seperlima bagian dari pendapat ghanmahakibat ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Meskipun demikian, perlu hati-hati dalam penggunaannya karena aturan pembagiannya telah jelas, seperti pada ayat di atas. Khumus, juga bisa diperoleh dari barang temua (harta karun) sebagaimana terjadi pada periode Rasul.

Ulama Syiah mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun harus dikenakan khumussebesar 20%. Sedangkan ulama sunni, beranggapan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. 'Uman Ab 'Ubayd menyatakan bahwa yang dimaksud khumusitu bukan hasil perang saja, tapi juga barang temuan dan barang tambang. Dengan demkian, di kalangan ulama sunni ada sedikit perkembangan dan memaknai khumus.

Keempat, fay'. Fay'adalah sama dengan ghanmah. Namun bedanya, ghanmahdiperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fay'tidak dengan pertumpahan darah. Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay'adalah pendapatan negara selain dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya : kharj, jizyah, ghanmah,'usyur, dan pendapatan-pendapatan dari usaha komersil pemerintah. Definisi inilebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah.

Kelima, jizyah. Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebutuhan pendidik bukan Muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut reladalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya kepada penduduk Muslim saja.

Jizyah ini bisa disebut pula dengan istilah pajak perlindungan. Ketika nonMuslim hidup dengan tenang dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah Islam, maka dengan jizyah tersebut bisa menjadi imbalannya. Perlindungan yang dimaksud baik dalam maupun gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan secara adil dengan penduduk Muslim sendiri, yang telah dibebani beberapa instrumen biaya yang harus dikeluarkan ke negara, seperti zakat.

Keenam, kharj. Kharj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, kharj sebagai pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah dari kharj bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.

Kharj adalah pajak terhadap tanah, yang bila dikonversi ke dalam perekonomian modern, ia dikenal sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara sistem kharj dan sistem PBB adalah kharj ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan produktivitas dari tanah (land productivity), dan bukan berdasarkan zona sebagaimana dalam aturan sistem PBB (zona strategi). Hal ini bisa jadi dalam sistem kharj, tanah yang bersebelahan, yang satuditanami buah kurma dan tanah lainnya ditanami buah anggur, mereka harus membayar kharj yang berbeda.

Yang menentukan jumlah besar pembayaran kharj adalah pemerintah. Secara spesifik, besarnya kharj ditentukan berdasarkan tiga hal, yaitu: karak-teristik tanah/tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman (termasuk marketability dan quantity), dan jenis irigasi.

Kharj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat baik orang-orang Muslim maupun orang-orang non-Muslim. Pertama, 'usyur. 'usyur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke dalam negara Islam (barang impor). Pada masa Rasul, 'usyur hanya dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.

Rasulullah Saw. berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapusksan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan pelbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-menukar barang.

Menurut 'Umar ibn al-Khaththab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tarif yang diberlakukan negara lain atas barang Islam yang diekspor.

Kedua, infak, sedekah, dan wakaf. Infak, sedekah, dan wakaf merupakan pemberian sukarela dasri rakyat demi kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah Swt. semata. Namun, oleh negara dapat dimanfaatkan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara. Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi spiritual masyarakat secara umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan besar. Sebaliknya jika keimanan masyarakat buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif kecil.

Ketiga, lain-lain. Masa Rasul, selain diperoleh dari pendapatan primer, adapula yang didapatkan dari peroleh sekunder. Fiskal pemerintahan masa Rasul, diantaranya: Pertama, uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan. Kedua, pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekah) untuk pembayaran uang pembebasan kaum Muslimin dari Judhaimah atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyyah (sampai waktu tidak ada perubahan).

Ketiga, nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat. Dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk. Keempat, amwl fadhil, yaitu bersumber dari harta kaum Muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Atau bisa pula bersumber dari kaum muslilmin yang meninggalkan tanah kelahirannya tanpa ada kabar berita maupun wasiat. Kelima, bentuk lain bisa diperoleh dari kurban dan kaffrah.

Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variabel seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara sesama Islam serta bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat, baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.

Dalam konteks ekonomi modern saat ini, tentu saja negara akan memiliki pos penerimaan yang cukup variatif. Misalnya berupa penerimaan devisa dan berupa keuntungan dari badan usaha milik negara (BUMN). BUMN tersebut tentu saja harus dikelola secara profesional dan efesien sehingga dapat mendatangkan hasil yang optimal.

Dalam khasanah ideal pemerintah Islam, pengelolaan usaha-usaha milik negara tidak melibatkan penguasa secara langsung dalam kegiatan perekonomian pasar. Hal tersebut akan cenderung membuat pasar tidak berjalan secara wajar dan efesien. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme relatif akan terjadi, jika para pemimpun atau pejabat negara juga berperan sebagai pelaku pasar.

Ab Bakr al-Shiddiq, sebagai khalifah pertama, pernah mengingatkan sahabatnya 'Umar ibn al-Khaththb untuk tidak berniaga (bertani), karena cukup baginya upah sebagai pejabat negara yang diberikan oleh bayt al-mal kepadanya. Ab Bakr al-Shiddiq menyadari betul bahwa sukar bagi siapapun untuk dapat berlaku adil dan maksimal pada masing-masing perannya, jika pada saat yangsama seseorang berperan ganda, sebagai pemegang otoritas politik dan sebagai saudagar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun