Mohon tunggu...
Mukhamad Bisri
Mukhamad Bisri Mohon Tunggu... Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta -

Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Alokasi APBN Sesuai Prinsip Ekonomi Islam

28 Agustus 2017   11:02 Diperbarui: 29 Agustus 2017   16:27 3260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungut.

Kebutuhan, secara umum dapat dibagi dua, yaitu: (1) kebutuhan negara dan (2) kebutuhan individu. Kebutuhan negara adalah kebutuhan yang pengadaannya difardukan kepada negara (Baitul Mal), dimana negara wajib mengadakannya melalui sumber-sumber pendapatan tetap, seperti: Shadaqah, Ghanimah, dan Fay'i. Pendapatan ini digunakan untuk kepentingan negara dan hal-hal yang menjadi tanggungan negara, seperti mengadakan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan individu adalah kebutuhan yang pengadaannya difardukan kepada kaum muslimin.

Dalam keadaan darurat dan terjadi kekosongan /kekurangan Baitul Mal, khalifah berhak untuk mengambil harta individu, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri (kaum muslim) seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, yang tidak terpenuhi oleh kas negara, lalu dipungutlah pajak (dharibah). Uang pajak itu harus digunakan untuk kepentingan kaum musliminn itu sendiri, misalnya: membuat jalan raya, sekolah-sekolah, menggaji aparat keamanan dan lain-lain.

Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta.

Menurut Nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus diadakan, melainkan tergantung sifat masing-masing pengeluaran itu. Ada pengeluaran yang wajib diadakan, walaupun tidak ada dana yang tersedia di Baitul Mal, sehingga Khalifah harus meminjam atau memungut pajak. Sebaliknya, ada pengeluaran yang hanya diadakan bila diadakan bila dana itu ada, seperti zakat. Berikut contoh-contoh pengeluaran yang dimaksud.

  • Pengeluaran zakat hanya di saat adanya harta zakat.
  • Zakat dalam Baitul Mal berada di tempat tersendiri, terpisah dengan mata anggaran lain. Ia adalah hak orang tertentu yang akan dibelanjakan hanya terhadap mereka, berdasarkan ada dan tidak adanya.
  • Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan dan mendanai jihad adalah di saat ada maupun tidak adanya harta.
  • Baitul Mal adalah pihak yang wajib menangani kekurangan atas fakir miskin, ibnu sabil atau untuk mendanai jihad. Pembelanjaan (pengeluaran) seperti ini tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya harta, melainkan sebagai hak yang bersifat paten (harus disediakan), baik di saat ada ataupun tidak di Baitul Mal.
  • Apabila harta ada, maka seketika wajib dikeluarkan. Bila tidak ada harta, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena pembelanjaannya ditangguhkan, maka negara bisa (harus) meminjam, untuk di salurkan seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulanya dari kaum muslimin.
  • Pengeluaran untuk kompensasi, harus dibayar di saat ada maupun tidak adanya harta.
  • Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar negara untuk kompensasi atau hak orang-orang yang memberikan jasanya, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya.
  • Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan , bukan untuk kompensasi adalah di saat ada maupun tidak adanya harta.
  • Pembelanjaan kelompok ini diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan. Contohnya: jalan raya, air, bangunan mesjid, sekolah, rumah sakit, dan masalah lainnya yang adanya dianggap vital dimana umat akan mengalami penderitaan.
  • Pembelanjaan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi.
  • Contohnya adalah pembuatan jalan baru, ketika jalan lain sudah ada, membuka rumah sakit baru yang sebenarnya sudah cukup dengan rumah sakit yang ada, dan sebagainya. Hak untuk mendapatkan pembelanjaan ini ditentukan berdasarkan adanya harta, bukan pada saat tidak ada.
  • Pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan (darurat) semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperti : paceklik, angin taufan, gempa bumi, atau serangan musuh.

Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan seketika itu juga. Apabila harta itu tidak ada, maka kewajiban dipikul oleh kaum muslimin seketika itu juga. Kemudian harta itu diletakan di Baitul Mal untuk disalurkan kepada yang berhak.

Pengeluaran harus hemat.

Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas bermanfaat dan hemat, tidak boros dan islam mengutuk pemborosan. Penimbunan juga dikutuk karena dengan penimbunan itu, kekayaan tidak dapat beredar dan manfaat pengunaannya tidak dapat dinikmati si pemakai dan masyarakat. Allab Swt. berfirman:

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."(Al Furqan : 67)

MUKHAMAD BISRI

Mahasiswa Pasca Sarjana MSI UII Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun