Gangguan seksual (disfungsi seksual) yang dialami kaum pria selain ejakulasi dini (Edi) adalah disfungsi ereksi (DE). Pada dasarnya, pria yang DE tidak mampu mendapatkan dan mempertahankan ereksi untuk aktivitas seksual memuaskan. Di mana proses-proses aktivitas seks terjadi dari naiknya libido, mengalami ereksi, kemudian ejakulasi dan terakhir merasakan orgasme.
Menurut Dr Herdinan Bernard Purba, SpRM, seksolog dari RSCM, definisi ereksi melibatkan pembuluh darah di penis dan sistem syaraf. Penis terdiri atas dua struktur yang bermula pada bagian dalam pelvis dan mengalir sejajar satu sama lain sampai mencapai ujung-ujung penis.
Struktur-struktur tersebut terdiri atas jaringan spongiosa yang mengandung banyak pembuluh darah dan menciut. Sehingga menyebabkan aliran darah masuk dan penis keluar secara seimbang.
Menurutnya, penyebab utama DE karena faktor kejiwaan. Artinya, disfungsi seksual ini banyak dipengaruhi karena faktor stres mental dan fisik.
“Salah satu penyebabnya karena kesibukan dalam pekerjaan sehingga tidak memberi kepuasan kepada pasangan. Atau karena capek fisik dan menderita psikis. Jadi, syarat utama supaya tidak DE harus sehat mental dan fisik. Dengan demikian hubungan seksual bisa dilakukan optimal,” ungkapnya.
Tak hanya itu saja, peluang DE meningkat seiring dengan bertambahnya umur. DE juga bisa merupakan salah satu gejala dari berbagai penyakit seperti diabetes, penyakit-penyakit kardiovaskular, hiperlipidemia dan hipertensi. DE juga bisa terjadi sebagai dampak dari terapi obat, operasi besar, atau radioterapi.
Diperkirakan pada 1995, terdapat lebih dari 152 juta pria di seluruh dunia yang menderita DE. Proyeksi pada 2025 menunjukkan prevalensi sekira 322 juta pria, artinya akan terjadi penambahan sebanyak 170 juta penderita DE dalam kurun waktu 30 tahun.
Karena dapat memengaruhi kepuasan seksual, lanjut pria berjanggut ini, maka mereka yang mengalami DE harus secepatnya disembuhkan. Bila dibiarkan, perasaan takut, mider, stres, bahkan merasa dikucilkan selalu menghantui. Dampak DE terhadap fisik spiritual penderita adalah menurunnya bangkitan seks (sex arousal), berkurangnya gairah seks serta memperparah tingkatan DE, kemudian memengaruhi gangguan fungsi seksual lain.
“Disfungsi ereksi sering dihubungkan dengan munculnya rasa depresi, hilang rasa percaya diri, persepsi diri yang buruk serta meningkatnya rasa gelisah atau ketegangan dengan pasangan seksual. Untuk mengetahui DE, harus mengetahui penyebab utamanya atau akar masalahnya terlebih dahulu,” terang pria bertubuh tinggi besar ini.
Saat ini, DE sudah dikenal oleh kalangan luas sebagai sebuah “masalah bersama” pasangan karena pasangan si penderita pun merasakan dampak yang sama besarnya. Karena itu, berkonsultasi dengan para ahli agar dapat diketahui penyebab utamanya akan membantu proses penyembuhan.
“Tiba-tiba pasangan tidak mampu untuk memuaskan kita. Karena ereksinya tidak keras, terbersit pikiran apakah kita tidak menarik atau kita tidak bisa membawa dia ke suasana yang baik? Saya selalu menyarankan meski yang disfungsi ereksi adalah pasangan pria, pasangannya harus berkonsultasi juga,” jelas Zoya Dianaesthika Jusung, M. Psi, psikolog dari IPPSI.
Kasus disfungsi ereksi, ditambahkan oleh Herdinan, dapat diobati dengan berbagai cara. Keberhasilan pengobatan DE dapat ditandai dengan perbaikan pada fungsi ereksi dan fungsi seksual yang kemudian akan menghasilkan perubahan positif pada hubungan emosional maupun seksual dengan pasangan.
“Salah satu upaya pengobatan pada pria penderita DE ialah terapi oral yang telah ditemukan pada tahun 1990-an. Oral seks yang dilakukan dengan pasangan dapat menjadi bagian dari foreplay atau afterplay dan variasi dalam beraktivitas seks. Namun, dalam penerapannya kembali lagi pada kesepakan pasangan masing-masing dan memiliki dasar saling suka,” bebernya.
Selain itu, penghambat PDE5 (Phosphodiesterase-5) merupakan golongan obat vasoaktif yang secara khusus dikembangkan untuk pengobatan DE. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan aktif menghambat enzim PDE5 yang menyebabkan naiknya kadar clynic guanosine monophostate (cGMP) hingga menimbulkan relaksasi pada otot polos di penis.
“Saat ini, telah dikembangkan pula metode penyembuhan baru untuk kasus DE yaitu Erection Hardness Score (EHS). Metode ini merupakan pengukuran tingkat kekerasan ereksi yang dapat dilakukan sendiri dengan menggunakan empat skala pengukuran yang sederhana,” tukasnya.
Jadi jangan takut, DE adalah penyakit yang bisa disembuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H