Bagaimanapun proses pemiskinan dan penjajahan melalui utang/modal asing itu harus dihen-tikan demi tanggungjawab kita kepada Allah dan generasi yang akan datang. Akan tetapi penjajahan baru itu bukan musuh yang mudah ditaklukkan, karena di samping ia tersembunyi dari mata kebanyakan rakyat, ia juga memiliki pendukung yang kuat dari dalam negeri sendiri, yakni dari bangsa kita sendiri yang menjadi kaki-tangan penjajah asing atau yang otak mereka telah diracuni oleh pemikiran penjajah. Mereka ada di parlemen, pemerintah, media massa, perguruan tinggi, orpol, ormas dan LSM-LSM yang dibiayai asing. Sangatlah tidak memadai melawan neo-imperialisme hanya di pusat pemerintahan. Untuk menghadapi kaum neo-imperialis dibutuhkan dukungan seluruh rakyat yang pro-kemerdekaan dan anti segala bentuk penjajahan dari Sabang sampai Merauke. Dan untuk mewujudkan hal itu, rakyat mesti disadarkan akan kondisi keterjajahan mereka dan betapa masa depan akan menjadi lebih sulit bagi keluarga dan keturunan mereka jika mereka mengambil sikap diam tak peduli.
Untuk membangkitkan kesadaran akan adanya penjajahan baru, terutama di kalangan para pelajar, penulisan ulang buku ajar sejarah di mana disajikan materi tentang neo-imperialisme perlu dilakukan. Jika itu belum mungkin dalam waktu dekat, para guru yang berjiwa merdeka perlu mencari jalan untuk mencerahkan siswanya tentang hal tersebut. Lagu-lagu perjuangan dengan tema penjajahan baru juga perlu dikarang dan diajarkan. Peringatan HUT proklamasi kemerdekaan juga mesti diubah total dari kegiatan yang bersifat membodohi dan melenakan kepada yang bersifat mencerahkan, mencerdaskan dan membuat waspada. Untuk membang-kitkan kesadaran di kalangan rakyat umum, perlu dibentuk paguyuban-paguyuban dengan misi penyadaran yang berkelanjutan dan penggalangan kesetiakawanan sosial.
Akan tetapi bangkitnya kesadaran rakyat akan kondisi keterjajahan bangsa saja juga tidak cukup. Neo-imperialisme telah menimbulkan kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Keti-dakadilan di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial yang berlangsung selama masa Orde Baru (tiga dasa warsa) telah meruntuhkan bukan hanya moral pejabat/aparat pemerintah melainkan juga moral kebanyakan rakyat. Perampasan hak oleh dan terhadap sesama rakyat kini telah menjadi peristiwa biasa di seluruh nusantara. Kerusakan telah demikian mewabah hingga mengotori lembaga pendidikan dan agama yang seharusnya bersih. Oleh karena itu rakyat juga mesti dicerahkan tentang makna kemerdekaan, atau apa artinya menjadi manusia merdeka. Di tiap daerah harus ada gerakan penguatan moral yang dipimpin oleh kaum yang memiliki integritas moral yang tinggi. Kita yakin, di tiap daerah masih terdapat kaum yang menghayati makna kemerdekaan; yang di hatinya tidak bersemayam jiwa penjajah; yang tidak bersedia merampas/mencuri hak rakyat walau ada kesempatan; yang dengan sepenuh hati menolak segala bentuk perampasan hak (kedhaliman) sekecil apa pun, oleh dan terha-dap siapa pun; yang tak punya loyalitas kecuali kepada kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Akhirnya, kita semua perlu mencamkan dalam pikiran bahwa kaum neo-imperialis ingin mengabadikan cengkeraman mereka atas bangsa kita dan bangsa-bangsa lain yang telah mereka kuasai melalui jerat hutang. Lihatlah pernyataan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang menyebut dukungannya secara terang-terangan dan keyakinannya akan keberhasilan imperialisme, dalam pidatonya di depan Konferensi Partai Buruh tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001: “Imperialism’s return journey to respectability is under way” (Kembalinya imperialisme ke panggung kehormatan saat ini sedang berlangsung). (Lihat John Pilger: The New Rulers of the World)
Masa depan yang mereka rancang untuk kita, bila cita-cita mereka berhasil, adalah perbudakan ekonomi (economic slavery) selamanya. Pada saat ini bangsa-bangsa yang tertipu dan menjadi miskin menyetor bunga pinjaman tidak kurang dari 100 juta dolar tiap hari. Negara-negara kebangsaan itu, termasuk Indonesia, dikondisikan untuk menjadi negara gagal (failed states), kemudian akan dihapuskan beserta undang-undangnya untuk disatukan dalam Pemerintahan Dunia (One World Government) atau Tata Dunia Baru (New World Order) dengan undang-undang universal yang bersifat otoriter. Jika itu terjadi, maka kita benar-benar akan mengucapkan selamat tinggal kepada keadilan dan kemakmuran, dan bangsa Indonesia akan tercatat dalam sejarah dunia sebagai bangsa yang gagal meraih cita-citanya lagi dungu. (Lihat New World Order oleh DR. Dennis L. Cuddy dan Global Tyranny Step by Step oleh William F Jasper)
Sekarang persoalannya terpulang kepada kita kaum terpelajar. Apakah kita akan membiarkan bangsa kita, anak-cucu kita, terperangkap dalam perbudakan ekonomi tak berujung? Ingat, utang yang harus kita tanggung telah mencapai 2000 triliun, dan dengan mentalitas anggota DPR dan pemerintah seperti sekarang, dipastikan utang itu akan terus bertambah. Utang yang harus dibayar tahun 2012 ini Rp 139 triliun (cicilan pokok) + Rp 122.218 triliun bunganya. Apakah kita akan membiarkan kebiasaan mengemis utang yang sesungguhnya tidak perlu, memalukan, tidak cerdas, membuat kita terus dalam posisi lemah, dan sebagian cukup besar diboroskan dan dikorupsi itu? Apakah kita akan membiarkan bangsa kita menjadi bangsa dungu yang terus disandera, didikte, diperas dan dijarah kekayaan alamnya oleh kaum rentenir internasional dan antek-anteknya? Apakah kita baru akan sadar dan bergerak nanti setelah utang kita mencapai 10.000 triliun dan kita dipaksa melepaskan beberapa pulau kita untuk melunasi sebagian utang tersebut? Apakah kita rela Indonesia menjadi negara gagal dan diletakkan di bawah pengawasan lembaga internasional ciptaan kaum imperialis (PBB)? Jika jawaban kita “tidak”, maka kita harus berusaha dengan segala daya untuk mela-kukan gerakan penyadaran secara berantai tentang bahaya penjajahan baru dan tata dunia baru, lalu menggalang kekuatan kaum merdeka dalam satu barisan untuk membebaskan diri dari jerat hutang dan cengkeraman kaum neo-imperialis dan antek-anteknya.