Respon bangsa kita yang lemah terhadap penjajahan baru tentu ada sebabnya. Sikap mayoritas bangsa kita yang lebih suka mengalah ketika haknya dirampas, apalagi oleh pejabat/aparat pemerintah, adalah salah satu faktor penyebab. Sikap rakyat ini, baik di masa Orde Baru yang represif maupun di masa sesudah Reformasi yang bebas, masih dominan. Mereka takut akan timbulnya keributan kalau mereka menuntut hak, walaupun di belakang mereka menggerutu. Sikap represif rejim Orde Baru terhadap siapa saja yang memprotes kebijakannya, bahkan terhadap mereka yang sekedar menyampaikan petisi, adalah faktor penyebab lainnya. Akan tetapi di masa kini di mana tak ada lagi represi, kita juga tidak menyaksikan adanya protes rakyat terhadap misalnya kebijakan liberalisasi ekonomi yang sangat merugikan rakyat. Demo besar-besaran hanya terjadi untuk menanggapi kebijakan pemerintah yang secara langsung merugikan rakyat seperti kenaikan harga BBM, dan bukan terhadap hal yang merupakan sumber masalah, yang menyebabkan pemerintah menaikkan harga BBM. Jadi di sini ada persoalan informasi yang belum sampai kepada rakyat atau ketidakcerdasan rakyat dalam melihat persoalan.
Hal lainnya lagi yang menjadi faktor penyebab lemahnya respon terhadap penjajahan baru adalah pendidikan. Sejak usia dini kita telah diajari lagu-lagu perjuangan yang bernuansa anti penjajahan di sekolah, dengan tujuan agar kita memiliki kesadaran sejarah dan daya tangkal melawan penjajahan. Akan tetapi sayangnya lagu-lagu perjuangan itu hanya menanamkan kesan kepada para siswa satu bentuk penjajahan, yaitu yang dilakukan oleh bangsa asing dengan menggunakan ancaman senjata, atau yang disebut dengan kolonialisme.
Demikian pula pelajaran sejarah yang menyangkut perjuangan melawan penjajahan, tidak mengandung penjelasan tentang bentuk-bentuk penjajahan selain kolonialisme, apalagi tentang hakekat kemerdekaan/penjajahan itu sendiri. Pelajaran sejarah resmi di masa Orde Baru tentu dirancang yang sejalan dengan politik yang pro neo-imperialisme. Akibatnya kaum muda kita pada umumnya sangat peka akan isu ancaman agresi militer asing (misalnya kasus Ambalat), dan sebaliknya tidak peduli atau bahkan tidak kenal dengan penjajahan ekonomi. Terhadap ancaman agresi, mereka bersuara keras dan siap mengorbankan nyawa untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI. Akan tetapi ketika kekayaan alam kita dikuras pihak asing dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang diambil oleh Belanda dan Jepang atas izin (kolusi dengan) pejabat pemerintah, dan pemerintah dipaksa IMF dan Bank Dunia untuk menghapus fungsi sosialnya serta menjual aset-aset milik bangsa kepada asing guna membayar hutang, atau triliunan rupiah uang rakyat dijarah oleh para politisi, pejabat dan bankir, sebagian besar dari mereka tidak melihatnya sebagai penjajahan dan karenanya mereka tenang-tenang saja.
Lebih dari itu, karena tidak diarahkan untuk memahami makna sebenarnya dari kemerde-kaan, tidak sedikit dari mereka yang merasa sebagai kaum merdeka, padahal sikapnya sehari-hari tak beda dengan kaum penjajah asing, bahkan lebih kejam. Apalagi kalau mereka menjadi kelompok pemenang pemilu. Sikap kaum muda yang memiliki pemahaman yang bias tentang kemerdekaan/penjajahan ini diperparah oleh sikap generasi tua yang mewariskan nilai untuk tetap berbangga sebagai bangsa merdeka, meskipun nyatanya kedaulatan kita telah ditindas dan kekayaan alam kita telah dikuras dan yang masih tersisa telah tergadaikan.
Jadi ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya respon bangsa kita terhadap neo-imperialisme, yaitu: ketidakgigihan atau lemahnya mental mayoritas rakyat dalam memper-tahankan hak dari perampasan, tidak dimilikinya pemahaman yang utuh tentang bentuk-bentuk penjajahan dan hakekat kemerdekaan, dan adanya kebanggaan atau perasaan seba-gai bangsa merdeka yang setiap tanggal 17 Agustus selalu dipupuk, padahal sebenarnya kemerdekaan yang kita rayakan itu hanya ilusi. Ketiga faktor itu plus pengendalian pikiran melalui berbagai media yang bertujuan agar kita menerima konsep kehidupan yang didiktekan kaum penjajah, sebagaimana diutarakan oleh DR. Susan George, menyebabkan penjajahan jenis ini bisa terjadi dan bertahan lama tanpa perlawanan yang berarti.
Menanti Kebangkitan Kaum Merdeka
Bagaimanapun proses pemiskinan dan penjajahan melalui utang/modal asing itu harus dihen-tikan demi tanggungjawab kita kepada Allah dan generasi yang akan datang. Akan tetapi penjajahan baru itu bukan musuh yang mudah ditaklukkan, karena di samping ia tersembunyi dari mata kebanyakan rakyat, ia juga memiliki pendukung yang kuat dari dalam negeri sendiri, yakni dari bangsa kita sendiri yang menjadi kaki-tangan penjajah asing atau yang otak mereka telah diracuni oleh pemikiran penjajah. Mereka ada di parlemen, pemerintah, media massa, perguruan tinggi, orpol, ormas dan LSM-LSM yang dibiayai asing. Sangatlah tidak memadai melawan neo-imperialisme hanya di pusat pemerintahan. Untuk menghadapi kaum neo-imperialis dibutuhkan dukungan seluruh rakyat yang pro-kemerdekaan dan anti segala bentuk penjajahan dari Sabang sampai Merauke. Dan untuk mewujudkan hal itu, rakyat mesti disadarkan akan kondisi keterjajahan mereka dan betapa masa depan akan menjadi lebih sulit bagi keluarga dan keturunan mereka jika mereka mengambil sikap diam tak peduli.
Untuk membangkitkan kesadaran akan adanya penjajahan baru, terutama di kalangan para pelajar, penulisan ulang buku ajar sejarah di mana disajikan materi tentang neo-imperialisme perlu dilakukan. Jika itu belum mungkin dalam waktu dekat, para guru yang berjiwa merdeka perlu mencari jalan untuk mencerahkan siswanya tentang hal tersebut. Lagu-lagu perjuangan dengan tema penjajahan baru juga perlu dikarang dan diajarkan. Peringatan HUT proklamasi kemerdekaan juga mesti diubah total dari kegiatan yang bersifat membodohi dan melenakan kepada yang bersifat mencerahkan, mencerdaskan dan membuat waspada. Untuk membang-kitkan kesadaran di kalangan rakyat umum, perlu dibentuk paguyuban-paguyuban dengan misi penyadaran yang berkelanjutan dan penggalangan kesetiakawanan sosial.
Akan tetapi bangkitnya kesadaran rakyat akan kondisi keterjajahan bangsa saja juga tidak cukup. Neo-imperialisme telah menimbulkan kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Keti-dakadilan di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial yang berlangsung selama masa Orde Baru (tiga dasa warsa) telah meruntuhkan bukan hanya moral pejabat/aparat pemerintah melainkan juga moral kebanyakan rakyat. Perampasan hak oleh dan terhadap sesama rakyat kini telah menjadi peristiwa biasa di seluruh nusantara. Kerusakan telah demikian mewabah hingga mengotori lembaga pendidikan dan agama yang seharusnya bersih. Oleh karena itu rakyat juga mesti dicerahkan tentang makna kemerdekaan, atau apa artinya menjadi manusia merdeka. Di tiap daerah harus ada gerakan penguatan moral yang dipimpin oleh kaum yang memiliki integritas moral yang tinggi. Kita yakin, di tiap daerah masih terdapat kaum yang menghayati makna kemerdekaan; yang di hatinya tidak bersemayam jiwa penjajah; yang tidak bersedia merampas/mencuri hak rakyat walau ada kesempatan; yang dengan sepenuh hati menolak segala bentuk perampasan hak (kedhaliman) sekecil apa pun, oleh dan terha-dap siapa pun; yang tak punya loyalitas kecuali kepada kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Akhirnya, kita semua perlu mencamkan dalam pikiran bahwa kaum neo-imperialis ingin mengabadikan cengkeraman mereka atas bangsa kita dan bangsa-bangsa lain yang telah mereka kuasai melalui jerat hutang. Masa depan yang mereka rancang untuk kita, bila cita-cita mereka berhasil, adalah perbudakan ekonomi (economic slavery) selama-lamanya. Pada saat ini negara-negara yang tertipu dan menjadi miskin menyetor bunga pinjaman tidak kurang dari 100 juta dolar tiap hari. (Lihat John Pilger: The New Rullers of the World).
Negara-negara itu, termasuk Indonesia, sedang dikondisikan menjadi "negara gagal" (failed states), agar kemudian bisa diletakkan di bawah pengawasan PBB. Kaum neo-imperialis (globalis) bertekad untuk menghapus negara-negara bangsa dan menyatukan mereka dalam sebuah Pemerintahan Dunia (One World Government) atau Tata Dunia Baru (New World Order) dengan undang-undang universal yang bersifat otoriter. Presiden Abddurrahman Wahid dalam pidatonya di sidang PBB dengan jelas menyebut perlunya membentuk Peme-rintahan Dunia untuk mengatasi problem bangsa-bangsa. Jika itu terjadi, maka kita benar-benar akan mengucapkan selamat tinggal kepada keadilan dan kemakmuran, dan bangsa Indonesia akan tercatat dalam sejarah dunia bukan saja sebagai bangsa yang gagal meraih cita-citanya, melainkan juga sebagai bangsa yang benar-benar dungu. (Lihat The New World Order oleh DR. Dennis L. Cuddy dan Global Tyranny Step by Stepoleh William F Jasper)