*) didedikasikan untuk Ibunda Sri Pudijastuti
Ibu, hari ini diperingati banyak orang di Indonesia sebagai “Hari Ibu”. Setiap kali hari Ibu, aku selalu teringat padamu karena ulang tahun ibu bertepatan dengan hari yang diperingati sebagai bentuk bakti kepada seorang ibu.
Pada peringatan Hari Ibu tahun ini berarti sudah tujuh tahun berlalu sejak janji suci kepada Ibu itu aku ucapkan---aku tak kunjung bisa memenuhi “hutang itu” kepada Ibu.
“Aku ingin memberangkatkan Ibu berhajike Tanah Suci. Nanti semua aku yang biayai,” kataku lima tahun silam di beranda rumah rentapeninggalan almarhum Bapak di Surabaya.
Ibu terdiam. Beberapa saat seperti ada yang berkecamuk dalam pikiran Ibu.
“Apa sudah kamu pikirkan betul? Kalian kan masih baru menata rumah tangga. Anak-anakmu masih kecil-kecil dan butuh banyak biaya,” kata Ibu memecah kesunyian.
“Ibu tak perlu risaukan itu. Insya Allah rezekiada saja setiap hambanya berniat berangkat haji. Sudah banyak contohnya,” kataku meyakinkan.
Ibu tidak mengatakan “Ya” atau “Tidak”. Ibu hanya meminta waktu untuk memikirkan tawaranku itu.
Sejak itu, setiap kali aku datang berkunjung, Ibu tak jua memberi jawaban. “Masih ibu pertimbangkan, Bismo. Ibu mau tanya ke adik-adik (maksudnya : bulik-bulikku)…”
Berbulan-bulan aku tunggu jawaban dari Ibu. Sampai di suatu pagi. Ibu berujar.
“Apa iya…badan kurus kerempeng kayak ibu bisa menjalankan ibadah haji yang demikian berat?” tutur Ibu pelan. “Nanti di sana Ibu hanya akan merepotkan.”
Ibu memang punya riwayat kesehatan yang kurang bagus. Paru-paru ibu mengalami komplikasi. Kalau sudah kambuh merepotkan Bapak dan anak-anaknya. Napasnya tersengal-sengal. Tidak doyan makan. Karena sudah menahun, tubuhnya tergerogoti oleh penyakit. Tinggal lunglit. Balung kulit atau tulang dan kulit.Namun demikian, malah pada akhirnya Ibu masih kuat bertahan sementara Bapak sudah mendahului kami—enam bersaudara— wafat pada tahun 2002 karena penyakit diabetes melitus. Bahkan di sela-sela sakitnya, Ibu terpaksa turut merawat Bapak yang diopname di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama dua bulan.
“Ibu jangan khawatirkan itu. Di Tanah Suci banyak keajaiban. Orang yang gagah tinggi besar bisa tiba-tiba tidak bisa berjalan. Orang yang lumpuh, malah bisa saja segar bugar sehingga mampu menunaikan semua rukun haji,” kataku meyakinkan.
Aku lalu bercerita berbagai kisah seputar keajaiban ibadah haji. Beberapa nama teman dekatku yang juga dikenal oleh Ibu aku jadikan contoh. Aku sampaikan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) adalah wajib hukumnya dan menempati rangking kedua setelah beribadah kepada Allah SWT. Aku ingin bahagiakan Ibu. Sesuatu yang tidak sempat aku lakukan kepada Bapak.
“Hanya tinggal Ibu ladang berbakti dan mencari bekal pahala sebesar-besarnya. Dulu ketika Bapak masih hidup aku baru mulai bekerja sebagai calon pegawai. Sekarang aku sudah diterima sebagai pegawai tetap. Meski bukan pejabat tinggi, namun aku yakin bisa membiayai ibu,” kataku.Aku memang belum pernah berangkat ibadah haji. Namun aku selalu tertarik dengan kisah-kisah teman-teman kantor yang sudah berangkat ke Tanah Suci.
Aku lalu sampaikan beberapa ayat kepada Ibu yang menunjukkan keutamaan birrul walidain :
“Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa“. (QS. An Nisa’ : 36).
Lalu ada pula ayat berikut ini :
“Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya engkau tidak menyembah melainkan kepadaNya semata-mata dan hendaklah engkau berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sekali, sampai kepada umur tua dalam jagaan dan peliharaanmu, maka janganlah engkau berkata kepada mereka (sebarang perkataan kasar) sekalipun perkataan “Huh” dan janganlah engkau membantah mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun).“. (QS. Al Isra’: 23).
Dan yang ketiga adalah ayat berikut ini :
“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusuinya) dan menyapih dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibu bapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (QS. Luqman : 14).
Berkaitan dengan birrul walidain ini, Rasulullah SAW. bersabda:“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi).
Mendengar ayat-ayat itu Ibu tak kuasa menahan air matanya. Dengan tatapan kasih sayang, Ibu memandangku lalu perlahan memelukku.
“Yo wis Bis. Ibu mau berangkat haji. Ikhlaskan Ibu jika Allah memanggil dan wafat di Tanah Suci,” kata Ibu lirih. Aku tak kuasa menahan haru. Aku pun larut dalam tangis bahagia. Aku bayangkan akan mendapat pahala tak ternilai dari ridho Ibu yang berkenan berangkat haji.
**
11 Januari 2010. Berita itu benar-benar ibarat godam besar menghantam dadaku. Aku mendapat kabar Ibu meninggal dunia. Aku memang sempat menengok Ibu dirawat di Rumah Sakit. Tapi aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Aku tak sempatmerawat dan menunggu masa-masa akhir hidupnya yang tergolek tak berdaya selama berhari-hari di ruang perawatan. Aku tak sempat mendengar petuah dan pesan-pesan. Bahkan aku seperti melupakan janji suci itu.
Sejak “Janji Memberangkatkan Ibu ke Tanah Suci” karirku memang tiba-tiba melesat. Aku ditunjuk menjadi Kepala Cabang di Madiun. Setahun di sana aku lalu dipromosikan di Surabaya. Sebuah lompatan besar dalam karirku. Tapi dengan kemurahan rezeki yang Allah limpahkan itu, aku tak kunjung “serius” menabung demi Ibu bisa berangkat haji sebagaimana pernah aku desak-desakkan kepada Ibu dulu.
Sampai akhirnya aku harus menghadapi kenyataan: waktu itu telah habis dan aku tak sempat membayar hutang kepada Ibu.
Sejak kepergian Ibu aku mengalami berbagai musibah beruntun. Mulai dari kebangkrutan bisnisku. Karirku tiba-tiba jatuh. Aku bahkan nyaris kehilangan pekerjaan. Hartaku disita bank. Aku mengalami hari-hari kelam tak lama setelah wafatnya Ibu. Aku kerap menyalahkan diriku karena tak segera memenuhi hutang itu kepada Ibu. Aku acap menghubungkan kesialanku dengan janji suci yang tak kunjung aku tunaikan.
Ibu… melalui untaian kata demi kata ini semoga di alam sanamendengar permohonan maafku. Aku ingin tetap menjalankan birrul walidain dengan berangkat haji untuk menebus hutangku itu.Aku mohon ridhomu Ibu. Aku mohon ikhlasmu. Aku ingin segera wujudkan impianku dan impian Ibuberangkat haji. Melalui ridhomu itu akan melapangkan ridho Allah kepadaku sehingga hari-hari ke depan juga makin mudah aku jalani.
Di hari spesial ini, aku ingin Ibu bahagia di sana dengan segera menyandang gelar : Hajjah Sri Pudijastuti.
****
Bandung, 22 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H