"Maaf, yah, buk. Zahra terpaksa melakukannya. Zahra dan kakek hidup kesusahan di kota. Apalagi Zahra baru saja diterima masuk ke Universitas. Zahra tidak mau merepotkan kakek lebih dari ini." Akhirnya dia tetap pada keputusannya. Dengan kepala tertunduk, ia berjalan keluar dan bersiap pulang membawa kotak perhiasan itu. Zahra sebenarnya enggan datang lagi ke rumah lamanya ini. Namun ia harus datang untuk mengambil benda itu. Demi biaya daftar ulang nya.Â
Memori dua tahun lalu masih hinggap lekat di kepalanya. Bak kabut, kemelut itu masih kerap menghantuinya tiap malam. Siapa yang tak trauma saat tiba-tiba ibunya menelepon ketika Mahameru tiba-tiba memuntahkan isi perutnya tanpa janji sebelumnya.Â
Dan hanya dalam hitungan menit, suara gaduh dibalik telpon genggamnya berubah riuh, makin histeris, lalu mendadak sunyi. Awan panas menyapu mereka secepat kilat, mengubur kehidupan. Momen rintihan itu masih terus berdengung di telinga Zahra. Juga, membuatnya merasa bersalah karena tak sempat melihat orang tuanya untuk terakhir kalinya. Hanya suara histeris ibunya lah yang menjadi salam perpisahan untuknya.
Pada bulan pertama, Zahra merasa tak akan pernah bisa berdamai dengan tragedi yang menimpanya ini. Sejujurnya, ia sangat benci dengan Mahameru. Karenanya lah, ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Selamanya. Dan trauma itu masih terus berlanjut sampai bulan-bulan berikutnya. Hingga berganti tahun. Â Namun seiring berjalannya waktu, berkat ketabahan dan iman yang kuat, Zahra akhirnya bisa berdamai dengan semuanya. Tak mudah memang. Setengah mati ia menahan ironi ini. Namun syukurnya Zahra mampu melewatinya.Â
Apalagi saat ia mengingat pesan ayah nya dulu. Ketika ia masih sekolah. "Apapun yang terjadi nanti, Mahameru tak pernah salah. Dia sudah ada disini sebelum kami ada. Kita hanya tamu yang diberi izin tinggal sementara oleh tuan rumah. Jadi, jangan pernah menyesali apapun yang terjadi. Kelak, Mahameru akan menjadi Mahaguru  yang mengajarkanmu tentang  kehidupan." Kala itu Zahra tak begitu paham dengan ucapan ayahnya. Namun kini, saat dia makin dewasa, akhirnya ia mengerti seutuhnya akan arti dari pesan itu.
"Mbah kakung, nanti mau dibelikan apa? Zahra nanti malam pulang. Setelah pergi ke toko emas."
"...Iya, kung. Zahra sudah mantab. Peninggalan bapa dan ibu bukan hanya perhiasan ini. Tapi juga hidup Zahra. Dan itu lebih berharga." Zahra tersenyum. Mengangguk pelan. Kemudian memasukkan ponselnya ke tempat semula.Â
Sebelum pergi, ia menoleh, memandang gagahnya sang Mahameru. Tak lupa, ia menaruh catatannya didepan rumah. Ditindih batu. Dalam senyumannya, Zahra mengucapkan salam perpisahan pada masa lalunya. Hari ini adalah terakhir kalinya ia akan berkunjung ke dusun nya ini. Dan terakhir kalinya ia melihat gagahnya Mahameru secara langsung.
"Mahameru, kau memang tak akan pernah keliru. Kau ada disitu juga bukan karena kehendak ku. Benar kata ayah, kami hanyalah tamu. Oleh karena itu, terimakasih atas cerita yang telah kau berikan padaku. Sungguh, inilah wujud nyata dari pepatah bahwa hidup itu berwarna. Dan warna yang kau berikan adalah sang kelabu. Tapi tak apa. Aku ikhlaskan semuanya..." Ku tarik gas motor ku pelan. Meninggalkan dusun berabu disetiap sudutnya. Selama perjalanan, masih tergambar jelas kenangan-kenangan yang tertinggal sekian lama. Namun sudahlah. Mari lupakan itu semua. Karena apapun yang terjadi, hidup harus tetap berjalan.Â
Hidupku adalah aku karakter utamanya. Dan akulah Zahra itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H