Apa yang terbesit di dalam pikiran Kompasianer saat mendengar kata Agent Of Change? Apakah sosok pemuda yang diharapkan? ataukah seseorang yang mampu mengubah dunia? ataukah seseorang yang bisa meruntuhkan status quo? Atau itu hanya sebatas kalimat indah yang sekarang hanya menjadi pajangan untuk para pemuda, karena pemuda nya lebih senang ikut dalam konflik-konflik yang tidak bermakna?
Sudah banyak pihak yang membahas dan mendiskusikan tentang makna kata tersebut dan biasanya diasosiasikan kepada para pemuda, walaupun pada dasarnya agen perubahan itu seharusnya siapapun tidak memandang tua ataupun muda, tidak memandang jabatan serta kuasa. Hal tersebut terjadi karena sejarah berbicara bahwa perubahan suatu kondisi selalu diinisiasi oleh para pemuda. Kita bisa mengambil contoh misalnya yang paling sering menjadi rujukan adalah Revolusi Prancis, Perjuangan ras kulit hitam di AS serta Arab Spring (2010-2012). Jika berkaca di dalam negeri, sejarah bangsa Indonesia juga tak lepas dari peran para pemuda yang sering disebut sebagai Agent Of Change itu. Sumpah pemuda, Peristiwa Rengasdengklok, Tritura, hingga Reformasi memberikan bukti bahwa memang pemuda punya peran yang cukup besar di dalam suatu perubahan terlepas dari konteks politik yang mengikutinya.
Jika melihat referensi ataupun peristiwa sejarah yang sudah disebutkan dan dibandingkan dengan era saat ini, maka sebagian besar orang terutama mahasiswa yang mengaku sebagai aktivis akan selalu menyebutkan bahwa Agent Of Change itu adalah suatu title tak terlihat dari para mahasiswa untuk membuat perubahan-perubahan yang besar. Asumsi dan anggapan yang dibangun ini tentu hadir karena para 'aktivis' mahasiswa ini tidak ingin kalah dari para pendahulunya dan ingin juga ikut serta menuliskan tinta sejarah di perjalanan dunia, terutama perjalanan bangsa Indonesia.
Hal tersebut bukan suatu hal yang keliru, tetapi tidak sepenuhnya juga benar. Jika kita memaknai lebih dalam kata 'Agent Of Change' maka kita akan mendapatkan makna 'Sosok atau agen yang menjadi pelopor perubahan'. Yang menjadi paradoks dari paradigma yang dibangun sebelumnya adalah, para 'aktivis' ini ingin mengubah status quo menjadi kondisi yang benar-benar ideal namun pada faktanya mereka sendiri tidak mampu merubah status quo yang terjebak di dalam diri mereka.Â
Masih banyak para mahasiswa yang mengaku 'aktivis' tapi meninggalkan studi dengan alasan 'berjuang' padahal  intensi yang terjadi hanya karena kemalasan. Masih banyak dari mereka yang bangun tidur selalu kesiangan. Masih banyak dari mereka yang tidak membaca buku dan hanya mendapatkan informasi dari 'kata orang'.Â
Hal ini hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah habis, jika para aktivis mahasiswa belum mampu mengubah diri mereka menjadi lebih baik. Pada akhirnya, kata 'agent of change' hanya menjadi komoditas politik bagi mereka yang memiliki kepentingan. Jika kita telisik lebih jauh terkait peristiwa-peristiwa sejarah yang telah disebutkan sebelumnya, para inisiator perubahan itu adalah orang-orang yang memiliki komitmen dan konsistensi dalam berjuang. Peristiwa sejarah itu tidak terjadi hanya dalam satu malam, melainkan bermalam-malam yang panjang.Â
Padahal, menjadi agen perubahan tidak sekompleks dan sesulit itu, sesederhana memindahkan motor yang parkir sembarang di tengah jalan dan menyebabkan kemacetan kemudian diucapkan terimakasih oleh para pengendara yang lain. Bahkan, sesederhana menjadi teman cerita para pejuang rupiah yang sedang beristirahat di warung makan atau mungkin sesederhana mengatakan tidak pada tawaran untuk membuat sim dengan cara 'menembak'. Menjadi agen perubahan tidak harus membakar ban dan meruntuhkan pagar DPR, tetapi disaat yang sama tidak pernah memerhatikan kondisi masyarakat yang ada disekitar. Bagaimana caranya kita bisa menekan para pemegang otoritas jika kita sendiri masih berjarak dengan masyarakat yang namanya selalu terdengar di setiap langkah perjuangan.Â
Ada dua pertanyaan menarik yang terdapat di artikel yang ditulis oleh John Izzo. Yang pertama adalah "Peran apa yang aku mainkan?" dan yang kedua adalah "Apa yang bisa aku lakukan di dalam situasi ini?" Sebuah pertanyaan reflektif yang dapat menjadi pukulan keras bagi para pihak yang ingin selalu menjadi agen perubahan.
So, apakah agent of change itu masih ada atau hanya tinggal nama?
sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H