Sering mendengar tentang zodiak dan kaitannya dengan kehidupan manusia? Apakah itu keilmuan Astronomi atau hal lain? Mari kita ulas!
1. Perkembangan Astronomi di Zaman Kuno
Pada awal peradaban umat manusia, muncul suatu kebutuhan praktis untuk menggunakan tanda-tanda alam yang dapat menunjang keperluan pertanian, penentuan waktu, bahkan navigasi atau arah. Kebutuhan praktis itu digunakan oleh bangsa-bangsa kuno seperti Sumeria, Babilonia, Yunani, bahkan Bangsa Maya untuk mengamati gerak benda-benda langit, seperti Matahari, Bulan, planet serta bintang-bintang lain. Dengan kata lain, pada awal mula perkembangan keilmuan ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara Astronomi dan Astrologi. Secara lebih rinci, dapat kita tuliskan timeline perkembangan astronomi di zaman kuno seperti ini:
- Babilonia (sekitar 1800 SM): melakukan pencatatan gerakan benda langit secara teratur untuk mengembangkan sistem pembangian zona langit, yang hasilnya dikenal oleh orang banyak sebagai 12 zodiak.Â
- Mesir Kuno: mengembangkan kalender berbasis pada pengamatan bintang Sirius, yang menandai datangnya musim banjir Sungai Nil.
- India dan Tiongkok: mengembangkan sistem pengamatan bintang sendiri yang kemudian menjadi dasar astrologi Veda di India dan astrologi Tiongkok.
- Bangsa Jawa kuno: menggunakan fase bulan sebagai penanda waktu fase tanam dan panen.
- Yunani Kuno (600-300 SM): Filsuf seperti Thales dan Pythagoras mulai memisahkan pengamatan benda langit dari mitos-mitos. Plato dan Aristoteles memperkenalkan konsep "alam semesta yang teratur", sementara Hipparchus dan Ptolemaeus mengembangkan sistem geosentris atau Bumi sebagai pusat yang bertahan selama lebih dari 1.000 tahun.
Seiring berkembangnya waktu, aktivitas seperti ini mengalami pergeseran makna, dari yang awalnya digunakan untuk menjadi penanda untuk suatu aktivitas menjadi penanda terkait nasib manusia. Oleh karena itu, pada zaman Yunani Kuno sudah mulai ada usaha untuk memisahkan mitos yang dipercaya oleh masyarakat dengan fenomena alam yang terjadi. Pada periode ini terbentuk anggapan bahwa Astrologi, atau kegiatan pencatatan posisi benda langit dan kaitannya dengan kegiatan manusia di Bumi sebagai cabang keilmuan dari Astronomi.
2. Zaman keemasan Islam (8 - 15 M)
Zaman keemasan islam dinilai menjadi salah satu periode yang sangat signifikan dalam pengembangan keilmuan astronomi. Beberapa ilmuwan muslim memiliki peran yang sangat besar terutama dalam rangka penggunaan peralatan yang lebih canggih. Optimasi astrolabe dan mulai digunakannya observatorium menjadi tonggak kemajuan keilmuan ini. Pada periode ini juga terjadi pemisahan antara astronomi dan astrologi yang dilakukan secara bertahap. Pemisahan itu dilakukan oleh sosok bernama Al-Biruni yang secara gamblang mengatakan bahwa astronomi adalah ilmu pengamatan benda-benda langit sedangkan astrologi adalah ilmu ramal. Beberapa tahun setelah itu, Ibnu Sina memberikan kritik terhadap astrologi sebagai ilmu semu (pseudo-science), walaupun ia tetap mengakui beberapa peninggalan praktis terkait astrologi yang sangat berguna seperti kalender dan penanda waktu.
Pada periode ini, negara-negara muslim menjadi kiblat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
3. Zaman Revolusi IlmiahÂ
Setelah zaman keemasan islam selesai, perkembangan ilmu astronomi tidak ikut padam. Keilmuan ini justru semakin berkembang dan menciptakan banyak perdebatan. Pada periode ini juga astronomi dan astrologi mulai sepenuhnya terpisah. Pemisahan ini terjadi karena pergeseran paradigma dalam cara manusia memahami alam semesta, didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah dengan metode empiris dan pendekatan berbasis bukti.Â
Salah satu pergeseran paradigma paling fenomenal adalah pergeseran paradigma geosentris ke heliosentris (Matahari sebagai pusat tata surya). Orang yang pertama kali mengajukan gagasan itu adalah Nicolaus Copernicus. Gagasan yang diajukan oleh Copernicus dianggap spekulatif dan menentang pandangan gereja. Copernicus mempublikasi gagasannya di dalam bukunya yang berjudul "De Revolutionibus Orbium Coelestium" (Tentang Revolusi Bola-Bola Langit)" pada 1543 yang juga menjadi tahun kematiannya. Buku ini memuat model heliosentris
Gagasan yang diajukan Copernicus dianggap sebagai gagasan spekulatif dan berlawanan dengan pandangan gereja saat itu. Namun, alasan Copernicus mengajukan gagasan itu salah satunya karena adanya kesederhanaan matematika dalam konsep heliosentris jika dibanding dengan konsep geosentris. Â Selain itu, Copernicus juga menyadari bahwa Rotasi Bumi akan lebih masuk akan untuk menjelaskan terjadinya pergantian siang dan malam.Â
Ajuan Copernicus tersebut belum mengubah pandangan masyarakat umum terkait pusat tata surya. Masyarakat umum pada saat itu masih mengikuti pandangan gereja yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat tata surya. Namun, pada tahun 1616, Gereja Katolik mengizinkan penggunaan model heliosentris sebagai model matematis, tetapi tetap melarang model ini sebagai kebenaran fisik.
Pandangan ini kemudian mulai menjadi bahasan kembali saat Galileo Galilei menyatakan dukungan terbuka terhadap gagasan Copernicus. Galileo menyatakan dukungan secara terbuka bukan tanpa alasan. Ia membuat suatu teleskop yang dapat memperbesar hasil pengamatan sebesar 20 kali sehingga ia bisa mengamati benda-benda langit dengan lebih teliti. Dia menemukan empat bukti yang menyatakan bahwa gagasan Copernicus itu benar adanya.Â
- Fase-fase Venus: Bukti pertama yang Galileo Galilei temukan adalah fakta bahwa Venus memiliki fase seperti Bulan (bulan sabit, setengah, purnama). Fenomena ini hanya bisa dijelaskan jika Venus mengelilingi Matahari, bukan Bumi.
- Bulan-bulan Jupiter: Galileo menemukan empat satelit Jupiter (Io, Europa, Ganymede, dan Callisto). Penemuan ini membuktikan bahwa tidak semua benda langit mengelilingi Bumi, bertentangan dengan pandangan geosentris.
- Permukaan Bulan yang Tidak Sempurna: Galileo mengamati bahwa permukaan Bulan penuh dengan kawah dan pegunungan. Ini bertentangan dengan pandangan Aristoteles bahwa benda langit adalah "sempurna" dan tidak cacat.
- Bintik Matahari: Bintik-bintik di permukaan Matahari menunjukkan bahwa Matahari mengalami perubahan, bertentangan dengan gagasan bahwa benda-benda langit bersifat kekal dan sempurna
Bahkan, Galileo Galilei membuat sebuah buku berjudul "Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo" (Dialog tentang Dua Sistem Dunia). Buku ini cukup kontroversial karena Galileo menggunakan tokoh bernama "Simplicio" (yang berarti "orang bodoh" dalam bahasa Italia) untuk mewakili pendukung geosentrisme. Kejadian ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap gereja Katolik sehingga Gereja menganggap Galileo sebagai ancaman. Kemudian Galileo dihukum dengan penjara seumur hidup dan kemudian dikurangi menjadi tahanan rumah hingga kematiannya serta Buku Dialogo dilarang untuk beredar.
Menariknya sejak Galileo dihukum, ia masih memberikan kontribusi positif dalam perkembangan dunia sains, terutama untuk dunia matematika dan fisika. Ia menciptakan buku yang jika diterjemahkan akan berarti "Dialog tentang Dua Ilmu Baru". Buku ini berisi pandangan dan kajian terkait mekanika dan kinematika yang mana menjadi dasar dari mekanika Newtonian.
Karena Galileo juga lah, gereja-gereja mulai semakin ketat mengontrol perkembangan sains sehingga banyak ilmuwan yang meninggalkan topik kosmologi ataupun pindah ke negara-negara yang lebih toleran dalam melakukan pengamatan dan pengkajian. Di periode ini perkembangan sains di Italia mengalami kemunduran.
Menariknya, ilmuwan-ilmuwan di negara lain semakin penasaran dan mencoba menemukan jawaban terkait gagasan Copernicus dan Galileo. Dimulai oleh Johannes Kepler yang melakukan analisis terhadap orbit planet yang secara matematis mendukung konsep yang dikemukakan oleh Copernicus dan memperkuan gagasan Galileo. Pada akhirnya Kepler menemukan hukum gerak planet. Di belahan dunia yang lain, Isaac Newton juga menjelaskan hukum kepler dengan lebih universal dan menemukan bahwa konsep heliosentris adalah konsep yang paling masuk akal dan sesuai dengan mekanisme kerja alam semesta.Â
Pada saat ini pula masyarakat mulai menerima pandangan bahwa konsep tata surya adalah heliosentris dan tepatnya pada sekitar tahun 1822, pandangan heliosentris diterima secara resmi oleh institusi keagaaman yang 200 tahun sebelumnya menghukum Galileo Galilei dan menganggapnya spekulatif. Kemudian pada 1992, Paus Yohanes Paulus II secara resmi meminta maaf atas perlakuan Gereja terhadap Galileo dan mengakui kekeliruan yang dilakukan oleh Gereja terhadap Galileo dan heliosentrisme.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H