" Bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang, " demikian tulis sang penyair. Sebuah fragmen yang tepat sekali menggambarkan suasana hatiku di hari Lebaran ini.
Ya, begitulah yang kurasakan di hari raya ini. Aku merasa diriku terbagi ke dalam dua dunia. Bahagia dan sedih.
Aku bahagia karena berhari raya. Tapi aku juga bersedih karena tak berada di tengah-tengah keluarga. Teknologi yang mencoba mengobati kesedihanku ini dengan tatap muka lewat video call tetap saja tak cukup untuk melakukan itu semua.
Aku berkeluh kesah sendiri. Mencoba merenungi, kenapa Tuhan menempatkanku pada situasi seperti ini. Tapi aku yakin, pasti ada iktibar dibaliknya sebagai pembelajaran diri.
Ya, berlebaran jauh dari keluarga telah menyadarkanku akan arti dari keluarga itu sendiri. Tentang kebersamaan dan orang-orang yang mencintaiku. Dan aku menjadi semakin paham bahwa keluarga itu merupakan harta paling berharga yang harus dijaga selamanya.
Di tengah segala kegalauan ini aku kemudian bangkit. Membuka pintu dan memandang keluar.
Aku membuka mata lebar-lebar. Menatap langit dalam-dalam. Menarik napas dengan perlahan. Mencoba membuang beban kesedihan masih bergelayut ini.
Aku terus melamun. Membayangkan kembali apa-apa yang baru saja kualami. Di tengah lamunan, aku seperti mendengar seseorang berseru kepadaku.
" Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan "
Aku merasa tak asing dengan suara itu. Itu adalah perkataan Imam Syafii, seorang ulama panutan dan juga penyair, yang banyak memberikan petuah sebagai penguat hati bagi para perantau.
Suara itu bergema begitu kuat di dadaku. Menelusup terus merasuk ke sanubari. Memberi rasa damai di jiwa. Dan memberiku kekuatan agar tak hanyut dalam pusaran kedukaan.