Mohon tunggu...
el lazuardi daim
el lazuardi daim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Tilang Elektronik di Media Sosial dan Cita-cita Menjadi Negara Maju

2 Juli 2022   11:08 Diperbarui: 2 Juli 2022   11:42 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Tilang Elektronik. Foto: Rindi Nuris Velarosdela/kompas.com

Kita sering iri melihat negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang,Korea Selatan, negara-negara Eropa barat dan sebagainya yang berhasil menempatkan diri mereka di deretan negara maju. Sering kita bertanya-tanya sendiri, " Kapan ya Indonesia bisa seperti mereka ?" 

Sudah lebih dari tujuh puluh tahun usia negara kita. Dan hingga kini masih berstatus calon negara maju alias negara berkembang. Bukan sesuatu yang buruk. Namun bagaimanapun juga kita tentu punya cita-cita suatu saat republik ini menjadi negara maju. 

Tidak gampang mewujudkan mimpi menjadi negara maju. Perlu perjuangan dan kerja keras. Dalam hal ini kita bisa meniru apa yang dilakukan negara-negara yang telah mencapai fase tersebut.

Satu yang bisa kita contoh adalah dalam hal penegakan disiplin dan kepatuhan pada peraturan negara. Negara maju banyak peraturan dan setiap warga " dipaksa " mengikutinya. Kalau melawan, hukuman sudah menanti didepan mata.

Faktanya, " pemaksaan " ini berdampak positif. Masyarakat di negara maju rela tunduk pada peraturan. Mereka menyadari peraturan itu dibuat untuk kebaikan mereka juga.Dan dengan disiplin dan kerja keras, mereka berhasil mengembangkan berbagai sumber daya yang mereka miliki.

Bagaimana dengan situasi di negeri kita. Apakah mayoritas warga sudah taat peraturan seperti di negara-negara maju ? Sepertinya persentasenya lebih kecil. Contoh sederhana dapat kita lihat dalam kebiasaan berlalu lintas.

Tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas masih rendah. Baru 60 persen, demikian diungkapkan Direktur Penegakan Hukum Korlantas Polri, Brigjen Pol. Aan Suhanan seperti dikutip dari detik.com pada bulan Mei lalu. 

Bukan sebuah catatan yang bagus meski tidak juga jelek. Yang jelas, angka 60 persen itu menunjukkan masih rendahnya tingkat kedisiplinan warga. Sebagai catatan, pada tahun 2021 kemarin tercatat 19 juta pelanggaran yang tertangkap lewat tilang elektronik.

Memang sebagian anggota masyarakat masih suka mengabaikan aturan lalu lintas. Mereka malas pakai helm, malas pasang sabuk pengaman, melawan arus, melanggar rambu-rambu dan banyak pelanggaran lainnya.

Dan mirisnya, berbagai pelanggaran itu mereka lakukan sebagai sebuah kesengajaan. Peraturan yang ada dianggap merepotkan. Padahal peraturan-peraturan itu dibuat demi keamanan dan keselamatan bersama. Tapi banyak yang tutup mata dengan fakta ini.

Beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan unggahan surat konfirmasi tilang elektronik terhadap pengendara di area yang dekat dengan persawahan menjadi perbincangan para netizen. Banyak netizen menyayangkan pemberian tilang di daerah tersebut.

Seperti diketahui, unggahan itu memuat konfirmasi tilang bagi seorang pengendara yang tidak memakai helm. Perbuatan ini jelas sekali sebagai salah satu bentuk dari pelanggaran terhadap  UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Polemik muncul karena warga punya pemahaman berbeda. Berbagai komentar yang muncul justru memberi kesan menyalahkan polisi yang memberikan tilang. Padahal tindakan polisi sudah sesuai ketentuan yang berlaku.

Menurut warga, aturan penggunaan helm seperti yang tertuang pada pasal 291 ayat 1 UU Lalu Lintas itu tidak berlaku di area yang dimaksud karena bukan merupakan jalan protokol. Padahal aturan itu berlaku secara menyeluruh di setiap tempat. Tak ada pengecualian. 

Pada dasarnya masyarakat sadar bahwa mereka harus patuh terhadap peraturan dimana ada konsekuensi bila melanggar. Tapi sayang kesadaran itu tak dibarengi niat untuk melaksanakannya. Melanggar aturan dijadikan sebagai sebuah kebiasaan. Atau yang lebih parahnya lagi menjadi kebanggaan.

Ya, masih sulit mengajak warga untuk mendisiplinkan diri. Padahal prilaku disiplin merupakan faktor penting  menuju kesuksesan. Tanpa kedisiplinan semuanya bisa berantakan.

Apakah kita tetap bertahan dengan situasi seperti ini ? Tidak disiplin dan gemar menabrak aturan ? Tentu tidak bukan ? Jangan sampai. Nanti kita rugi sendiri.

Negara-negara maju telah membuktikan bahwa mereka membangun kesuksesan itu dengan kedisiplinan sebagai fondasinya. Fondasi yang kuat nantinya akan membuka jalan bagi ide-ide yang telah dikonsepkan. Dengan demikian apa yang yang direncanakan bisa terwujud.

Sebaliknya prilaku tidak disiplin terbukti membawa kerugian. Segala yang direncanakan bisa gagal. Akhirnya cita-cita menggapai kemajuan gagal diwujudkan.

Mematuhi aturan berlalu lintas adalah salah satu cara dalam membentuk karakter disiplin bagi setiap diri pribadi. Untuk itu mari jadikan kebiasaan dan dukung setiap upaya penegakannya yang diimplementasikan dalam aturan UU yang berlaku. Tak perlu mencari pembenaran terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan.

Kedepannya nantinya kebiasaan disiplin ini bisa menjadi budaya keseharian kita semua. Tidak hanya dalam berlalu lintas, tapi juga dalam berbagai aspek kehidupan seperti yang diterapkan di negara-negara maju. Hingga akhirnya cita-cita menjadi negara maju bisa terealisasi sesuai harapan kita semua.

(EL)

Yogyakarta,02072022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun