" Bagiku merokok adalah sebuah kesenangan dan tak boleh ada orang lain yang melarangku. Betapa egoisnya aku ya ," terusnya.
" Terus, bagaimana awalnya sampai Bapak memutuskan untuk berhenti merokok, biasanya kan berat untuk memulai ,"Â tanyaku sedikit menyela pembicaraan.
" Anakku marah besar dan setiap kali menemukan rokok langsung dibuangnya.
 Aku sempat emosi dengan tindakannya itu. Bagaimana mungkin rokok yang kubeli mahal-mahal tiba-tiba saja sudah berada di tempat sampah. Ingin rasanya ku menamparnya."
"Tapi aku sadar, bagaimana mungkin aku akan menyakiti darah dagingku sendiri. Justru diriku lah yang seharusnya ditampar, karena mengabaikan kebenaran yang disampaikannya."
Aku makin tertarik dengan kisah Bapak tersebut dan dengan seksama terus mendengarkannya bercerita.
" Aku kemudian mengalah dan memilih pergi dari rumah ketika bibir ini sudah tak sabar ingin bertemu rokok lagi. Entah nongkrong di angkringan atau pergi ke pinggir jalan demi sebatang rokok ,"Â lanjut Bapak itu.
" Wah, repot juga kalau setiap mau merokok harus keluar rumah gitu ," kataku menimpali.
" Repot dan sangat merepotkan. Aku merasa tersiksa sendiri,"Â balasnya.Â
"Lantas aku kemudian mulai berpikir apakah ini saatnya aku mulai berhenti merokok saja."
" Ya, setelah aku renungkan beberapa waktu ternyata tak ada alasan yang tepat untuk menjawab mengapa aku perlu merokok. Aku merokok hanya untuk perintang waktu. Sekadar untuk gaya-gayaan saja. Tak lebih dari itu ."
" Aku kemudian mantap untuk berhenti total. Dan supaya tak gampang tergoda untuk kembali menyulut rokok, aku sengaja tak membawa korek di saku. Logikanya, kalau tak ada korek kan gak bisa merokok ". Bapak itu masih bersemangat bercerita.