Kita mengenal figur Gus Dur sebagai tokoh yang berperan memperjuangkan faham pluralisme di Indonesia. Semasa hidupnya, presiden keempat Indonesia ini aktif merangkul dan memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.
Pluralisme merupakan sebuah faham yang menghargai keberagaman dalam masyarakat dan membiarkannya terus berkembang sesuai keunikan masing-masing.
Seperti halnya Gus Dur gerakan pluralisme juga disuarakan mantan ketua umum Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii, begitu beliau biasa disapa, mendirikan Maarif Institute untuk menyebarkan gagasannya ini.
Maarif Institute merupakan lembaga yang mendorong pembaruan pemikiran dalam Islam dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan praktek yang berkeadilan sosial.
Dalam kegiatannya, Maarif Institute mengkampanyekannya dengan membuat berbagai kajian, menerbitkan buku dan jurnal serta memberi pelatihan kepada generasi muda agar bisa menyerap dan mengaplikasikan ide-ide beliau.
Menurut Buya Syafii, keberagaman itu adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang sudah menjadi sunnatullah atau ketetapan ALLAH. Karena itu tak perlu dipermasalahkan.
Pemikiran ini sejalan dengan apa yang difirmankan ALLAH dalam Alquran surat Al-Hujurat bahwa tujuan penciptaan manusia yang  bersuku-suku dan berbangsa-bangsa itu agar mereka saling mengenal. Bukan untuk bermusuhan atau saling berperang mencari siapa yang lebih unggul.
Dalam menyikapi keberagaman ini perlu dilandasi semangat pluralisme. Dalam hal ini setiap kelompok diberi kesempatan yang sama untuk tetap eksis dengan tetap mempertahankan ciri khasnya masing.
Selanjutnya setiap kelompok harus mengedepankan nilai toleransi dan tak mempersoalkan perbedaan yang ada. Kesemuanya kemudian dibingkai dengan nilai kemanusiaan, keislaman dan keindonesiaan.