Mohon tunggu...
el lazuardi daim
el lazuardi daim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerita Sendu Pedagang Pakaian di Pasar Tradisional pada Ramadan 2022

30 April 2022   16:15 Diperbarui: 30 April 2022   16:26 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berapa keuntungan dari berjualan pakaian selama bulan Ramadan ? Seorang pedagang grosiran di Yogyakarta menyebut angka tak kurang dari 100 juta dalam sebulan. Sementara pada skala yang lebih kecil,beberapa pedagang eceran di pasar tradisional menyebut angka 15-20 juta. Angka-angka yang cukup menggiurlan bukan?

Ini bukan cerita halu atau bualan. Dengan margin keuntungan Rp 5000 per potong seorang pedagang grosiran bisa menjual 20-25 ribu potong pakaian selama Ramadan. Silakan kalikan saja angka-angkanya!

Bulan Ramadaan memang laksana panen raya bagi para pedagang pakaian. Tradisi membeli pakaian baru setiap menyambut Lebaran membuat penjualan pakaian meningkat tajam hingga tiga sampai empat kali lipat dibanding diluar Ramadan. Tak salah memang kalau bukan suci umat Islam ini juga sering disebut bulan penuh rahmat dan karunia Tuhan.

Tapi sayang, cerita-cerita manis itu bukan cerita tahun ini. Tapi cerita enam tujuh tahun yang lalu. Cerita ketika minyak goreng harganya tidak sampai Rp 25.000/ liter. Cerita ketika tarif PPN belum 11 persen. Cerita ketika seliter pertamax belum dihargai Rp 12.500. Pokoknya ketika harga-harga barang belum semahal sekarang.

Bagaimana ceritanya sekarang? Boro-boro memperoleh pendapat sebanyak yang disebut diatas. Bisa mendapatkan separuhnya saja sudah luar biasa.

Bahkan ada yang menanggapinya dengan jawaban pesimis. "Jangankan mikir keuntungan,bisa melunasi tagihan saja sudah lumayan," demikian yang mereka sampaikan.

Para pedagang pakaian di pasar tradisional menjadi kelompok yang mengalami penurunan pendapatan cukup signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Jumlah pembeli terus berkurang. Sementara harga kulakan terus makin mahal.

Pada Selasa, empat hari lalu penulis berkunjung ke Pasar Demangan Yogyakarta. Suasananya sepi. Tak banyak pembeli berjubel. Padahal biasanya mendekati sepuluh hari menjelang Lebaran ini suasana pasar sangat ramai.

Sekilas tampak hanya kios-kios sembako dan makanan yang dituju para pembeli. Sementara para pedagang pakaian lebih banyak menganggur. Mereka terkantuk-kantuk menunggu pembeli yang tak jua datang.

Penulis menyempatkan untuk mengobrol dengan salah satu dari mereka. Seorang Bapak yang menjual aneka pakaian anak dan dewasa. Dari keterangan Bapak tersebut didapat informasi kalau pasar paling lesu dialaminya sejak tahun lalu. Termasuk pada bulan Ramadan.

"Ramadan tahun ini sudah ada sedikit peningkatan omset,tapi masih jauh dari harapan. Paling tinggi dapat omset satu juta dengan margin keuntungan 200-300 ribu saja. Itupun hanya beberapa kali saja," demikian cerita yang penulis dengar.

Kondisi seperti ini sebenarnya sudah mulai mereka rasakan sejak tahun 2019 lalu. Masa-masa menjelang PEMILU lalu.Pandemi Covid 19 yang diikuti resesi ekonomi sejak dua tahun lalu makin memperparah kondisi mereka.

Menyikapi kondisi ini sebagian dari mereka memilih banting stir pindah profesi. Sebagian yang lain mencoba bertahan meski kondisinya kembang kempis.

Ada beberapa persoalan pokok yang harus dihadapi para pedagang pakaian di pasar tradisional di balik situasi yang kurang menguntungkan ini.

1. Situasi perekonomian yang belum membaik.

Mayoritas masyarakat saat ini mengalami penurunan pendapatan. Sementara biaya-biaya yang harus mereka keluarkan makin bertambah.

Sejumlah  harga komoditas, khususnya komoditas pangan terus bergerak naik. Begitu juga dengan pungutan seperti PPn ikut naik. Biaya hidup makin mahal.

Situasi ini membuat orang lebih memikirkan kebutuhan pangan lebih dulu sebagai kebutuhan paling utama dibandingkan sandang. Beli baju sesekali saja bila ada uang berlebih.

2. Harga kulakan naik signifikan.

Para pedagang mengeluhkan harga kulakan yang naik gila-gilaan. Bila tarif PPN cuma naik 1 persen, namun kenaikan kulakan pakaian naik hampir sepuluh persen. Celakanya kenaikan ini tak diimbangi dengan kenaikan harga penjualan.

Kondisi ini membuat mereka dalam situasi terjepit. Hendak menaikkan harga jual khawatir konsumen akan lari. Sementara bila tidak menaikkan harga keuntungan semakin menipis.

Dalam prakteknya para pedagang lebih memilih opsi tidak menaikkan harga jual. Meski pilihan ini membuat pendapatan jauh berkurang. Namun opsi ini dinilai lebih menguntungkan dalam situasi sulit ini.

3. Makin maraknya penjualan secara online.

Secara perlahan penjualan secara online mulai menggeser penjualan secara offline. Pergi ke pasar bukan lagi pilihan utama dalam mencari berbagai kebutuhan. Semuanya kini sudah tersedia dalam genggaman jari saja di layar hape.

Ya, dengan hanya memencet layar hape dan menunggu beberapa waktu, barang -barang yang kita inginkan sudah berada di hadapan kita dengan diantarkan kurir.Dan sistem berbelanja seperti ini ternyata amat digemari masyarakat saat ini.

Orang tak perlu ke pasar lagi untuk berbelanja. Cukup dari rumah saja. Para pedagang pasar pun terkena dampaknya

Apakah cerita sendu ini masih akan terus berlangsung atau akan segera berganti cerita manis? Sepertinya jawaban pertama lebih mungkin terjadi.

Bila kita membaca situasi terkini, mustahil rasanya cerita indah masa beberapa waktu yang lalu itu akan terulang lagi. Gaya hidup dan sistim yang dianut masyarakat saat ini telah mengubah segalanya.

Masyarakat saat ini adalah masyarakat yang menyukai sesuatu yang instant, praktis dan simpel. Mereka tak mau berpayah-payah. Kalau ada jalan yang mudah kenapa harus menempuh jalan yang sulit ? Begitu prinsip orang-orang zaman sekarang.

Dunia terus berputar mengikuti zamannya. Siapa yang tidak ikut perlahan-lahan akan mati tergilas Dan cerita sendu pedagang pakaian di pasar tradisional adalah satu di antaranya.

Hari ini terlihat banyak ibu-ibu menenteng belanjaan dari pasar. Sepertinya pasar cukup ramai hari ini. Apakah para pedagang pakaian kecipratan ramai hari ini ? Entahlah, tapi semoga saja iya.

Besok Minggu menjadi hari terakhir Ramadan. Masih ada satu hari lagi menjelang hari raya. Masih ada harapan tersisa. Dan para pedagang pakaian di pasar tradisional masih terus berdoa. Semoga hari terakhir Ramadan besok menjadi hari dimana mereka bisa tertawa sumringah.

Ah, semoga saja.

(EL)

Yogyakarta, 29042022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun