Kita semua pasti sudah mendengar cerita Malin Kundang.Kisah anak durhaka yang dikutuk jadi batu.Endingnya menyedihkan sekali.
Sayang sekali tak ada disebutkan bagaimana reaksi ibu Malin Kundang ketika melihat anaknya jadi batu.Merasa puaskah karena bisa meluapkan kekesalannya.Atau malah menyesal dan merasa sedih melihat nasib anaknya jadi batu.Ceritanya seolah menggantung.
Kalau boleh mengubah jalan cerita,penulis akan mengganti alurnya.Bahwa ibunya akan mema'afkan sikap anaknya.Karena mengutuk seorang anak tidak menggambarkan tentang cinta ibu pada anak.
Kalau bicara tentang kata cinta.Maka cinta dapat dimaknai sebagai pengorbanan,ungkapan kasih sayang,atau harapan menjadi yang terbaik bagi yang dicintai.
Maka cinta ibu pada anaknya adalah perwujudan dari pengorbanan dan curahan kasih sayang serta doa-doa terbaik bagi si anak.
Bukankah cinta ibu itu tidak terbatas.Bukankah rasa sayang ibu itu mengalir tiada henti sepanjang masa.Bukankah kasih ibu itu hanya memberi tak harap kembali seperti halnya sang surya yang menerangi dunia.
Maka sebesar apapun amarahnya pada si anak tidak menjadikannya melaknat anaknya seperti ibu Malin Kundang.Itu sama saja mengkhianati cinta suci yang diikrarkannya ketika menyambut kedatangan anaknya ke dunia dahulu.
Adakah ibu yang tega melihat anaknya susah dan hidup merana.Rasanya tidak ada.Seorang ibu justru lebih merasa sedih menyaksikan anaknya menderita.Melebihi apa yang dirasakan anaknya.
Beda Indonesia,beda pula negeri Arab.Kalau di Indonesia hanya legenda,kalau di Arab kisah nyata.Meskipun topiknya sama yakni ketika ibu marah pada anaknya.
Ada kisah menarik tentang ibu dari Syekh Abdurrahman bin Abdul Azis  As Sudais.Imam bersuara merdu yang dikenal sebagai Imam Besar Masjidil Haram.Kisah tentang bagaimana sang ibu meluapkan kemarahan pada anaknya.
Alkisah waktu itu sang ibu sedang memasak hidangan untuk tamu yang akan berkunjung.Tiba-tiba As Sudais kecil menaburkan tanah pada hidangan itu.Ibunya berucap "Idzhab ja'alakallahu imaaman lil haramain" (pergi kamu,biar kamu jadi imam di Haramain).
Ibunda Syekh As Sudais menyadari bahwa setiap kata-katanya adalah doa.Dan doa ibu untuk anaknya pasti dikabulkan Tuhan.Maka dari itu beliau menjaga sekali kata-kata yang terucap dari mulutnyaÂ
Jangan sampai terlontar kata-kata yang jelek.Karena itu berarti dia telah menciptakan kesulitan bagi anaknya.Maka dia selalu berkata perkara yang terbaik untuk si anak.
Dan semua itu bisa dilakukan ibunda Syekh As Sudais karena dorongan cinta.Cinta tulus dan suci seorang ibu.Cinta murni tanpa embel-embel.
Kisah ibu Malin Kundang dan ibu Syekh As Sudais setidaknya memberi gambaran tentang bagaimana seorang ibu merawat cintanya pada anaknya.
Ibu Malin Kundang tak bisa menjaga cintanya seutuhnya.Beliau tergoda untuk melaknat anaknya ketika mendurhakainya.Dan hasilnya anaknya menderita.
Sementara ibu dari Syekh As Sudais lulus dalam memelihara cintanya pada putranya.Kenakalan anaknya dibalas dengan harapan akan kebaikan bagi putranya.Dan doanya dikabulkan Tuhan.
Cinta ibu pada anak pada dasarnya adalah cinta yang murni dan suci.Karena itu perlu dijaga agar tidak rusak atau ternoda.
Si anak harus senantiasa berbuat baik,patuh dan berbakti pada sang ibu.Agar tidak menimbulkan kemarahan ibu.
Sementara ibu harus sanggup mempertahankan cinta pada anaknya agar tidak berubah,apapun keadaannya.Termasuk ketika prilaku anaknya tak sesuai cita-citanya.Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik buat anaknya.
Untung cerita Malin Kundang itu hanya sebatas legenda
Yogyakarta,17012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H