"Berapa harga sepatunya Lae?" tanya Paman penulis pada suatu siang di Pasar Senapelan kota Pekanbaru.
"Ampat puluh ribu Bang. Harga pas," jawab si Lae dengan logat Bataknya.
"Ah,mahal kali. Masak barang bekas harganya macam barang baru!" kata si Paman lagi dengan maksud menawar "Kuranglah!"
"Gak bisa  Bang.Barangnya istimewa," jawab si Lae kukuh dengan pendiriannya. Maklum yang berminat ada lima orang.
Pada akhirnya Paman penulis menyerah dan menebus sepasang sepatu hitam itu dengan harga Rp.4000. Agak mahal memang. Padahal dengan hanya menambah 10 atau 20 ribu saja sudah dapat sepatu baru model lain dengan kualitas biasa-biasa saja. Sementara harga sepatu bekas biasanya berkisar 15 sampai 20 ribu.
Sepatu itu dihadiahkan untuk penulis. Dan selanjutnya sepatu itu terbang ke kota Padang menemani hari-hari penulis selama tiga tahun di bangku SMA.
Sejak pukul 6 pagi sampai 2 siang sepatu itu menemani penulis ke sekolah tiap hari. Sepatu itu amat setia. Kami selalu bersama berjalan menyusuri jalanan beraspal sampai jalanan becek dan juga trotoar  sampai berlari-lari mengejar angkot.
Tak peduli hujan atau panas, bahkan terkadang dia harus rela kemasukan air karena jalanan sering tergenang bila hujan deras.
Sepatu itu teramat baik. Selama tiga tahun bersamanya, dia tak pernah berulah. Dia tetap seperti yang dulu ketika penulis pertama kali memakainya. Tak ada kulit yang mengelupas, tak ada jahitan yang lepas. Pokoknya tak ada tampak tanda-tanda kerusakan. Sepatu itu tetap terlihat "baru".
Sepatu itu benar-benar menjaga perasaan penulis, si pemakainya. Dia tak mau si pemakai menanggung malu karena ada yang rusak. Dia hanya ingin si pemakai bangga dan terlihat keren.
Agaknya benar yang dikatakan si Lae penjualnya waktu itu kalau sepatu itu istimewa. Istimewa harga dan kualitasnya. Susah dicari padanannya. Awet dan tak gampang berulah alias rusak.