Mohon tunggu...
Heru Heu
Heru Heu Mohon Tunggu... Jurnalis - Heu itu saya

Menulis untuk kesenangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebo Keramat, Mati Pun Dihormati

25 September 2010   01:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12946580401059936237

Sejak 250 tahun, kebo bule memiliki makna spesial dalam kehidupan di Keraton Surakarta, bahkan hingga saat ini, kebo bule tetap mendapat tempat terhormat. Terbukti, saat salah satu kebo bule itu mati, prosesi pemakaman dilakukan layaknya memakamkan manusia. Mulai dari ritual memandikan, dikafani, tabur bunga hingga ditutup dengan doa. Rabu (22/9) lalu, seekor kebo bule bernama Nyai Debleng mati karena usia tua. Keesokan paginya, Kamis (23/9), prosesi pemakaman pun digelar. Nyai Debleng (yang merupakan keturunan cukup dekat kebo Kyai Slamet, moyang kebo bule Keraton Surakarta) dikubur di salah satu areal kandang di Alun-alun Selatan Keraton Surakarta. Setidaknya 50 orang, termasuk belasan abdi dalem keraton, hadir dalam acara itu. Prosesi dimulai dengan mensucikan (memandikan) layaknya jenazah manusia. Dengan bergantian, para abdi dalem menyiramkan air berbunga mawar sebagai tanda penghormatan kepada hewan itu. Setelah dianggap suci, para abdi dalem yang berjumlah 12 orang mengangkat tubuh besar sang kebo untuk dimasukkan ke liang lahat berukuran 2,25x2 meter. Liang kubur dibuat memanjang arah utara-selatan dan dasarnya sudah dialasi kain kafan. Sang kebo lantas diposisikan menghadap barat, layaknya memakamkan manusia. Saat tubuh sang kebo sudah mapan, abdi dalem menyelimutinya dengan kain kafan, hingga semua tubuh terbungkus kecuali bagian kepala (wajah). Kemudian rangkaian bunga melati dihiaskan di tubuh kebo, diikuti taburan bunga mawar. Tak berselang lama, sejumlah warga tampak melemparkan uang (sawer) ke liang lahat, sebelum ulama keraton memimpin doa pemakaman. Seusai didoakan, liang pun ditutup dengan tanah layaknya makam-makam manusia. Hal yang menarik, abdi dalem dan pengunjung bergiliran menguruk kubur. Bahkan, tak sedikit pengunjung yang melakukannya dengan semangat tinggi dan tak kenal lelah. Hal ini mengindikasikan bahwa “sesuatu” yang dikubur tadi adalah “sesuatu” yang berharga dan sangat dihormati. Setelah gundukan terbentuk di makam itu, bunga pun ditaburkan. Prosesi pemakaman selesai. Namun demikian bagi sebagian pengunjung, prosesi belum selesai. Sebagian dari mereka berdoa di depan makam sang nyai. Memulai dengan mengatupkan tangan di depan wajah sebagai tanda penghormatan, komat-kamit melantunkan doa, dan kembali menyembah makam sang nyai. Sebagian lain, mengambil bunga yang sudah ditaburkan dan dibawa pulang. Ada pula yang menghubungi abdi dalem pemelihara kebo bule untuk menjadi perantara pendoa. Jika diminta demikian sang abdi dalem melakukan ritual di depan makam, lantas diambilnya gumpalan tanah kubur atau batu untuk diberikan kepada sang pemesan. Tinggal sampaikan saja keinginan kita, sang abdi akan menyampaikannya dalam ritual yang dilakukannya. Salah seorang pengunjung bernama Yayuk mengaku baru pertama kali menghadiri prosesi pemakaman kebo keramat ini dan dia meyakini yang dikubur bukan sembarang kebo. “Ini bukan musyrik, tetapi ini budaya dan kepercayaan masing-masing orang. Saya percaya akan hal itu,” kata Yayuk seperti dikutip laporan koran Joglosemar. Beberapa pengunjung yang kami temui pun menandaskan hal serupa. “Kebo bule yang dikubur bukanlah sembarang kebo.” Terlepas dari apa pun yang diyakini orang, kebo bule dan pernak-perniknya adalah bagian dari kekayaan budaya negeri ini. Dalam konteks budaya inilah, penghargaan kita terhadap eksistensi kebo bule keraton Surakarta patut kita junjung. Eksistensi kebo bule Keraton Surakarta, dapat kita pahami dari berbagai dimensi. Jika ditinjau dari awal keberadaannya, kebo bule sejatinya berdimensi politik. Menurut Babad Solo, leluhur kebo bule adalah hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Raja Pakubuwono II (1711-1749) yang saat itu masih berkuasa di Keraton Kartasura. Pada dimensi ini, jelaslah bahwa kebo bule adalah sesembahan bawahan (abdi) kepada atasan (raja). Motif politik (kekuasaan) tersirat pada peristiwa ini. Kebo bule ini lantas menjadi klangenan sang raja dan dipercaya menjadi pengawal pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Posisinya sebagai pengawal pusaka Kyai Slamet, membuat kebo bule ini akhirnya disebut sebagai kebo Kyai Slamet. Hingga saat ini keturunan Kyai Slamet masih “bertugas” mengawal pusaka keraton saat dikirab pada Malam 1 Suro. Posisinya sebagai klangenan raja, menempatkan kebo bule dalam strata sosial yang terhormat. Hewan ini menjadi sangat dihormati, bahkan diposisikan bertuah. Perannya sebagai pengawal pusaka keraton menguatkan tuah yang didapatnya dari masyarakat awam. Posisi sosial yang terhormat itu didapatnya hingga kini. Di Alun-alun Selatan Keraton, kebo-kebo bule tak akan diganggu (apalagi disakiti) meski dilepas begitu saja. Saat pemakaman salah seorang abdi dalem pun mengakui, bentuk penghormatan yang dilakukannya di antaranya karena “jenjang” kepangkatan sang kebo lebih tinggi pada hierarki kepangkatan keraton. Pemakaman Nyai Debleng (atau kebo keturunan Kyai Slamet lain) juga bisa dipahami sebagai bentuk tanggung jawab sosial raja kepada binatang yang dicintainya. Hewan itu dipelihara dengan cinta, maka ketika mati pun diperlakukan dengan cinta. Hal itu tersirat dalam penjelasan ulama Keraton Surakarta, RT Pujo Setyonodipuro saat diwawancarai sejumlah wartawan seusai pemakaman Nyai Debleng. “Keraton mempunyai tata krama tersendiri. Jika pemeliharaannya bagus, maka ketika meninggal harus diperlakukan baik pula,” ujarnya. [caption id="attachment_268685" align="alignright" width="300" caption="(satu di antara sekian banyak kebo bule yang masih hidup)"][/caption] Dimensi ketiga terkait dengan eksistensi kebo bule Keraton Surakarta adalah dimensi ekonomi. Dalam budaya Jawa, sesuatu yang dikultuskan pastilah memiliki dimensi ekonomi, yakni harapan untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik jika kita memuja mereka (ngalap berkah). Demikian pula dengan kebo bule, yang kotorannya selalu jadi rebutan saat kirab Malam 1 Suro. Mereka berebut kotoran kebo karena kotoran itu diyakini membawa rezeki. Pun saat pemakaman Nyai Debleng, mereka yang mengambil bunga mawar, melati, tanah kuburan, tak lain dan tak bukan memiliki pengharapan benda-benda itu akan membawa tuah dalam kehidupan ekonomi mereka. Jika mereka pedagang, mereka berhadap dagangannya bisa laris. Jika mereka petani, mereka berharap hasil taninya bisa lebih baik. Jika mereka pelajar, mereka berharap sekolahnya bisa cepat selesai dan lain sebagainya. Untuk memahami ini, kita tidak bisa berpandangan linier, semua harus dilihat dari banyak sisi. Sisi yang paling baik adalah kita selalu berpikir positif bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya untuk memotivasi diri. Pedagang semakin giat menjajakan dagangannya, petani semakin giat memelihara tanamannya, demikian pula dengan pelajar kian giat belajar. Sekali lagi, inilah salah satu kekayaan budaya kita. Jika kita tidak bisa menerima “irasionalitas” yang ada di dalam pemakaman kebo bule maka cobalah untuk berpikir dari sisi lain, sisi yang paling rasional dari peristiwa tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun