Syahdan, suatu ketika ada diskusi mencari siapa tokoh paling bersih dalam sejarah Indonesia:
"Mungkin Bung Hatta!"
"Bukan."
"Soedjatmoko?"
"Bukan."
"Wali Songo?"
"Bukan."
"Lalu siapa?"
"Pak Harto."
Ya. Pak Harto paling bersih karena selalu dijilati orang di kiri dan kanannya. Pagi dijilat, siang dijilat, sore dijilat, malam, tengah malam, selalu dijilat. Pada hari ulang tahun, selesai pidato, habis sarapan, habis mukul beduk, setiap saat Pak Harto dijilat. (M Sobary dalam Singgasana dan Kutu Busuk, 2004).
Sobary menambahkan jilat-menjilat bisa membuat geli-geli nikmat dan memabukkan. Orang mabuk tak bisa berpikir jernih. Ya, dijilat emang enak.
Cobaan ini yang agaknya sedang dialami presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono, sebut saja mulai dari kontroversi pembagian buku Agus Harymurti saat perayaan HUT ke-65 RI, peluncuran album menyanyi sampai munculnya usulan "bodoh" memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Maaf saya sebut bodoh, karena pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode karena kita belajar dari kesalahan masa lalu.
Pak Harto awalnya sangat mungkin tak ingin berlama-lama menjadi presiden, namun kemudian mabuk kekuasaan yang distimuli oleh jilatan-jilatan tadi. Geli-geli nikmat dan tak lagi berpikir jernih, sehingga 30 tahun lebih jabatan itu digenggamnya!
Soal jilat-menjilat, teman saya Dul Manap punya pandangan sendiri:
"Dalam konteks privat, maksud saya rumah tangga, jilat dan menjilat sungguh awesome. Terkadang saking menikmatinya, saya sampai tertidur," kata Dul Manap yang otak kotornya mulai nyetel. "Apalagi kalo pas bagian yang vital," lanjut Dul. Jilat-menjilat di sini adalah aksi yang mutualisme, lanjut Dul Manap.
"Utekmu ki pancen reget Dul," timpal teman saya lainnya Dul Songong.
"Lho kotor gimana, sekarang aku tanya kepala itu vital ndak, gimana kalau kamu ndak punya kepala?"
"Ya Vital."
"Mulut itu vital, ndak?"
"Perut vital, ndak?"
Songong cuma terdiam. "Oke semua vital, tapi maksudmu bukan itu tho?"
Dul Manap kemudian melanjutkan ocehannya. Dia berkata jilat menjilat akan menjadi persoalan lain dalam konteks sosial, apalagi politik. Dul Manap mengatakan penjilat politik sejatinya bekerja untuk dirinya sendiri, dia bekerja dengan prinsip "seolah-olah". Seolah-seolah rakyat mendukung, seolah-olah junjungannya yang paling top, seolah-olah tak ada tokoh yang mampu mengantikan SBY, seolah-olah anaknya SBY yang paling hebat dan ribuan seolah-olah lainnya. Itu menyesatkan, Pak.
"Semoga Pak SBY tersadar," aku menimpali.
Ya, bagaimana tidak, ada banyak persoalan negeri yang sangat penting saat ini. Sebut saja kasus bom elpiji yang meledak di mana, rekening gendut pejabat polisi, korupsi masih di mana-mana, buruh yang masih miskin, pengangguran, pendidikan yang masih amburadul, dan lain sebagainya. Semoga persoalan-persoalan riil itu tidak ditutup-tutupi oleh penjilat tadi. "Iya ndak Dul?"
"Setuju."
Semoga pula para politisi itu ndak terus-terusan ndagel, kerjaannya cuma mengeluarkan komentar yang tak bermutu. Ya seperti perpanjangan jabatan presiden itu. Rakyat sudah capek, mikir gas, harga kebutuhan yang naik, listrik naik, air naik.
"Tapi apa Pak Presiden bisa dengar kita ndak ya Dul," tanyaku.
"Ndak tahu. Kalau tidak ada yang menjilati telinganya, mungkin dia akan dengar kita."
Ha..ha..ha... geli-geli nikmat dan memabukkan...
Solo
18 Agustus 2010 (23.00 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H