Mohon tunggu...
Heru Heu
Heru Heu Mohon Tunggu... Jurnalis - Heu itu saya

Menulis untuk kesenangan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bibir & Bokong dalam Pispot

18 Agustus 2010   05:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:55 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa untuk menghilangkan rasa bosan atau memburu rasa ngantuk, aku selalu membaca buku. Buku apa saja, yang penting aku mood membacanya. Nah, sepekan puasa ini, enggak terasa pula sudah dua kali aku membaca buku kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti, "Bibir dalam Pispot". Jadi ini untuk kesekian kalinya aku merampungkan membaca kumpulan cerpen itu sejak aku membelinya empat tahun silam. Cerpen-cerpen Bung Hamsad memang sangat menarik, mengalir dan dibangun dari berbagai kejadian nyata baik yang dialami langsung penulisnya atau peristiwa hanya didengarnya. Ceritanya unik dan endingnya tak terduga. "Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tidak bisa dibuang begitu saja." Dia diam sejenak memandang bercak hitam di kejauhan samudra. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." Dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukkan. Lama, agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu", inilah cerpen dengan imajinasi yang membumbung tinggi. Sederhana namun mampu membuat kita terbang ke awang-awang, membayangkan apa iya ada seorang cantik yang membutuhkan bibir lain untuk menghapus bekas bibir kekasihnya di bibirnya? Kalau pun nyata pasti akan sangat menantang, he..he..he. Pasti banyak yang akan berkata: "Kusiapkan bibirku, untuk menghapus bekas bibirnya di bibirmu." Atau bahkan "Untuk menghapus semua jejak bibirnya di seluruh bagian tubuhnya." Ola..la.. "Bapak orang baik. Saya harus mengatakannya! Saya tidak boleh membiarkan bapak terus menerus merasa berdosa." Dia kembali menunduk. "Saya bukan penjambret tapi saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu keluar dalam pispot. Tiga kali pula aku menelannya." Dia lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandang padaku. Itu cuplikan ending cerpen "Pispot". Kisah ironis tentang seorang yang terpaksa menjambret karena butuh biaya untuk anaknya yang sakit keras. Karena ketahuan penjamret itu menelan kalung yang baru digaetnya. Polisi yang menginterogasi kemudian berupaya "mengeluarkan" dengan memaksa sang penjambret memakan garam inggris dan berbagai buah-buahan agar mongsor. Tanpa sepengetahuan polisi, sang penjambret selalu menelan kembali kalung curian itu hingga polisi menyerah dan akhirnya melepaskan sang penjambret karena tak ada bukti. Bukan tak sengaja buku ini diberi judul "Bibir dalam Pispot" karena dua inilah cerpen terbaik. Kadang aku membayangkan bagaimana kalau wanita dalam "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu" sejatinya adalah Pispot. Adakah yang rela menghapus bekas bibirnya di bibir pispot? Dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukkan. Lama, agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu. "Tapi yang menodai bibirmu bukanlah bibir kekasihmu?" tanyaku ragu. "Apa bedanya?" "Ya, bukan bibir kekasihmu, tetapi bokong kekasihmu." "Lantas kenapa?" "Aku tak sanggup, jangan paksa, aku tak akan sanggup." "Ha..ha..ha. tak ada beda antara bibir dan bokong di zaman gila seperti sekarang. Bokong mungkin busuk tapi lebih jujur. Tahukah kau, banyak bibir manis tapi sejatinya busuk, penghisap, menipu, mencela, mencemooh, menggunjing, memfitnah. Manusia-manusia tak lagi bisa memuliakan dan menjaga bibir. Mereka tak sadar bahwa bibir mereka sudah menjadi bokong!" Aku terkesiap mendengarnya. Apakah bibirku saat ini sudah berubah menjadi bokong. Alangkah busuknya bibirku ini! Kartasura, 18-8-2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun