Memasuki Dusun Pagerjurang di Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten, aura semangat kerja penduduk sangat terasa. Begitu masuk ke ke dusun berada di kaki kompleks pemakaman Sunan Pandanaran atau dikenal Sunan Bayat ini banyak dijumpai perajin tengah menjemur berbagai bentuk produk kerajinan gerabah berbahan dasar tanah liat.
Mengingat panasnya cuaca siang itu, akhirnya saya memutuskan singgah di angkringan berada di tengah perempatan jalan desa. Sembari menunggu datangnya pesanan es jeruk, mengecek gawai ternyata tidak ada sinyal. Kata si penjual angkringan, hampir di setiap rumah warga di desa perbatasan Kecamatan Wedi-Bayat yang dikenal sebagai sentra keramik dan gerabah ini sudah memasang wifi.
Beruntung, di dalam tenda gerobak dengan menu khas nasi kucing ini saya bertemu dengan Sidik Purnomo, mahasiswa semester akhir di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia datang bersama ketiga temannya,- yang salah satunya seorang perempuan asal negara Vietnam, untuk membuat vlog berjudul "Asal Usul Keramik di Desa Pagerjurang Klaten".
Sambil berkuliah, pemuda asal Dusun Bayemrejo RT 21/RW 06 Desa Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Klaten ini juga memiliki usaha gerabah bernama Buntari Ceramic. Studio beralamat di Jl. Karangjati, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DIY itu tentu saja klop dengan kuliahnya di jurusan Seni Kriya Keramik. "Kata buntari berasal dari bahasa Jawa yang berarti semangat pemuda," katanya.
Awal mula Sidik menggeluti gerabah dan keramik justru penuh liku-liku bak memasuki lorong labirin. Lulus dari bangku SMP, dia berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di SMK Prambanan. Namun menilik kondisi ekonomi orang tuanya yang bekerja sebagai buruh tani, dia memendam keinginannya tersebut. Ia pun melanjutkan sekolah di SMKN 1 Rota Bayat berbekal beasiswa hingga lulus.
"Industri keramik di Japan sangatlah banyak dan pesat perkembangannya, seperti Kasongan di Jogja dan Bayat di Klaten dengan kerajinan dan pengrajin keramiknya. Persis sama, hanya saja di sini pengelolaannya lebih baik dan teratur karena pemerintah menjadikannya asset yang dibina dengan serius," tulisnya di channel Youtube Buntari Production.
Berbagai macam teknik pengolahan tanah liat sampai proses pembakaran dia dapat selama di Jepang. Hal itu semakin memperkuat tekadnya mengenalkan tradisi teknik putaran miring khas Pagerjurang begitu kembali ke Tanah Air. Bahkan pada Februari lalu, proposal Buntari Ceramic masuk sebagai 10 wirausahawan muda terbaik Youth Creative Award yang diselenggarakan UNESCO dan Citi Foundation.
"Metodenya kontemplasi, tidak peduli hasilnya bagaimana. Ada juga yang sifatnya ilustratif, misal pakai daun munggur yang biasanya selalu digunakan warga Pagerjurang untuk finishing. Atau dekorasi berdasarkan warna tanah yang memiliki karakter kuat. Kita masukkan estetiknya, tidak sekadar polos seperti pabrikan," ucapnya seraya menyeruput kopi hitam dihadapannya.
Hasil produknya ialah keramik tableware atau peralatan makan dan minum. Seperti satu set cangkir untuk minum teh, mangkok, piring, toples hingga vas ulir dengan desain unik dan bervariasi. Harganya mulai Rp 50.000, tergantung tingkat kesulitan. Pembelinya berasal dari kalangan menengah ke atas, lebih spesifiknya hotel, kafe, artshop gallery, restoran dan ibu rumah tangga.