Selain Derrida, Michael Foucault juga menjelaskan bahwasanya sebuah kekuasaan bukan hanya represif saja tetapi juga bisa membentuk pengetahuan dan identitas sosial melalui diskursus atau dialog. Dalam konteks Bosnia dan Herzegovina diskursus etnis itu sendiri memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dan tindakan pada masyarakat.
Para pihak pemerintah dan juga elit politik yang ada menggunakan dialog etnis ini untuk membenarkan tindakan mereka dan juga mendukung beberapa terobosan. Diskursus atau dialog ini menciptakan sebuah narasi yang dimana menggambarkan para etnis lain sebagai sebuah ancaman dan juga musuh yang memperkuat kekuasaan mereka sendiri.
Dalam dialog antaretnis, media juga sangat berpengaruh penting dalam menyebarkan diskursus etnis selama konflik sedang terjadi. Media juga seringkali digunakan untuk menyebarkan propaganda etnis, yang dimana hal ini juga sangat berpengaruh pada kebencian antaretnis sehingga timbul rasa kebencian.
Lalu dalam sebuah media, penyebaran informasi yang tidak sesuai dan bisa dibilang provokatif melalui berbagai media massa yang ada dapat memperkuat hal negatif oleh para etnis. Dalam hal ini media tidak digunakan hanya untuk menyebarkan informasi saja tetapi juga bisa dibilang sebagai salah satu unsur atau instrumen yang digunakan untuk mempengaruhi interaksi sosial antaretnis yang sedang berkonflik.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memahami bagaimana dialog antaretnis ini digunakan, supaya dapat lebih efektif untuk dapat membangun pertahanan yang lebih kokoh terutama yang bersangkutan dengan suatu etnis. Karena dialog-dialog yang muncul ini merupakan hasil dari suatu proses yang dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, politik, dan tidak lupa aspek historis.
Analisis dari post-strukturalisme terhadap konflik di Bosnia dan Herzegovina memberikan bukti bahwasanya konflik ini sangatlah rumit atau kompleks. Yang dimana dinamika identitas etnis itu sendiri yang saling terkait dengan kekuasaan dan juga dialog-dialog yang ada.
Pada dasarnya, identitas etnis bukanlah suatu hal yang tetap tetapi juga selalu dalam proses pembentukan melalui berbagai praktik sosial yang ada. Dengan melakukan dekonstruksi pada suatu identitas etnis, kita dapat melihat bahwa bagaimana aspek historis dan politik dapat digunakan untuk menggerakkan dukungan dan juga membenarkan adanya kekerasan.
Hal ini juga menekankan bahwasanya pentingnya melihat sebuah identitas etnis sebagai sesuatu yang dinamis atau seimbang dan juga terbuka terhadap perubahan yang ada. Dari analisis Post-Strukturalisme ini juga menyoroti mengenai kebijakan yang mendukung dialog antaretnis supaya konflik yang terjadi tidak terulang kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H