Mohon tunggu...
Birgita Olimphia Nelsye
Birgita Olimphia Nelsye Mohon Tunggu... Desainer - Sambangi isi pikiranku.

Hakikat hidup adalah belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menjawab Dilema Jurnalisme Pro Lingkungan dan Pro Pembangunan

16 Mei 2017   16:52 Diperbarui: 26 Mei 2017   08:44 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pertemuan dunia yang dikenal dengan nama World Summit on Sustainable Development (WSSD), pengertian Jurnalisme Lingkungan (environmentalism journalism) telah diredefinisi. Jurnalisme lingkungan menjadi dapat berkontribusi, berhubungan, maupun dapat ditarik dari jurnalisme pembangunan (environmentalism journalism). WSSDdihadiri oleh lebih dari 130 kepala negara, lembaga PBB, lembaga finansial multirateral, sektor swasta, bisnis, organisasi non-pemerintah, organisasi masyarakat madani, kelompok media massa, dan kelompok lainnya.

            Aliran Jurnalisme lingkungan mulai menyebar pada tahun 1972 karena dipelopori oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Sementara aliran Pembangunan telah tersebar pada tahun 70an. Konsep Pembangunan adalah konsep politik yang digunakan pasca perang dunia kedua. Pembangunan diartikan sebagai indikator dari pertumbuhan ekonomi oleh banyak negara, termasuk di Indonesia pada zaman Soeharto. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, mall, bandara, hotel, dan sebagainya dapat berhasil tanpa penolakan karena jurnalis memberitakan dampak positif dari adanya pembangunan, dan tidak menyoroti dampak negatifnya terhadap lingkungan. Pada masa itu, isu lingkungan hanya sekadar menyinggung daripada menjadi bagian integral dari pembangunan. Sehingga aliran Lingkungan pun mulai untuk melebarkan sayapnya ke dunia politik.

            Pertama, kita harus memecah definisi Jurnalisme Lingkungan dulu ke dalam pengertian jurnalisme dan pengertian lingkungan. Jurnalisme adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan (gathering), menulis (writing), mengedit (editing), dan mempublikasikan (publishing) suatu fakta untuk diolah menjadi berita. Sedangkan Lingkungan adalah dunia di mana orang-orang hidup di dalamnya. Definisi lingkungan mencakup definisi tentang ekologi. Ekologi adalah hubungan antara makhluk yang hidup di dalamnya (manusia, hewan, dan tanaman― biotik) dengan lingkungannya (cahaya, tanah, air― abiotik). Maka seseorang yang melaporkan suatu diskusi tentang lingkungan, berarti ia juga melaporkan suatu hubungan ekologis yang buruk, dan adanya gangguan terhadap keseimbangan alam (Rademakers, 2004: 15). Sehingga, jurnalisme lingkungan adalah kegiatan pemberitaan (mengumpulkan, memproses, dan menerbitkan informasi yang bernilai berita) tentang hubungan antara lingkungan biotik dan abiotik.

            Jurnalisme lingkungan mulai dari konsep pelayanan sosial yang memberikan suara untuk perjuangan dan permintaan suatu kelompok. Sehingga, peran jurnalisme lingkungan adalah sebagai media advokasi atau pembelaan bagi kelompok tertentu. Kemudian, Jurnalisme lingkungan menjadi alat pemberitaan media massa tentang lingkungan oleh jurnalis untuk audiensi umum. Sehingga wartawan harus memihak kepada proses-proses yang meminimalkan dampak negatif dari kerusakan lingkungan hidup.

            Jurnalistik pembangunan menekankan pertumbuhan motivasi dari khalayak penerimanya untuk memperbaiki, memajukan atau menyejahterakan kehidupan mereka, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, kesehatan, dan bidang lainnya (Rachmiatie, 2005: 219). Sehingga, jurnalis menanamkan  opini melalui media bahwa pembangunan memiliki dampak positif terhadap semua orang yang terlibat.

            Pada awalnya, kedua jurnalisme ini memiliki perbedaan dalam bidang dan perspektif yang diambil si jurnalis. Namun pada tahun 1987, Brundtland (dalam Berger, 2003) melihat adanya hubungan antara aliran Lingkungan dan aliran Pembangunan. Ia melihat bahwa kemiskinan dan kemakmuran yang merupakan dampak dari pembangunan juga menimbulkan suatu persoalan lingkungan. Lingkungan juga mulai menjadi perhatian dalam Konferensi Tingkat Tinggi / Earth Summit di Rio tahun 1991. Konferensi ini mendeklarasikan hak-hak lingkungan; menyetujui perubahan iklim, biodiversity, dan hutan. Selain itu juga membahas mengenai aspek sosio-ekonomi (kemiskinan, konsumsi, dan urbanisasi), dan penguatan kelompok mayoritas (wanita, anak-anak, pemuda, pekerja, bisnis, sarjana, petani).

            Pada tahun 1971, masyarakat diajak untuk menilik aliran pembangunan. Ini menimbulkan perhatian terhadap kemiskinan dan keadilan. Aliran pembangunan / developmentalisme dan aliran lingkungan / environmentalisme berbagi sebuah perspektif global di mana tidak satu pun di antaranya disebut murni lokal atau nasional.

            Berlanjut tahun 2000, United Nations dalam deklarasi mileniumnya menyatakan bahwa globalisasi membutuhkan nilai-nilai kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghargai alam, dan saling berbagi tanggung jawab. Pembangunan harus ditujukan untuk menghapus kemiskinan dan melindungi lingkungan. Kemudian tahun 2002, World Summit on Sustainable Development (WSSD) mengintegrasikan ekonomi dan ekologi.

            Dalam WSSD dinyatakan bahwa baik pembangunan dan lingkungan adalah isu yang sama-sama penting dan saling berhubungan. Chippy Olver membagi ke dalam 3 bagian di mana pada pra-Rio adalah usaha untuk menempatkan lingkungan ke dalam agenda. Selama Rio, topiknya adalah menghubungkan lingkungan dan pembangunan. Lalu pada saat WSSD, kemiskinan dipilih menjadi pilar ketiga setelah lingkungan dan pembangunan. Kemiskinan ini menghubungkan ke isu air bersih. Setelah WSSD, environmentalisme akan sulit untuk menolak pembangunan dan kemiskinan. Begitu pula akan sulit bagi developmentalisme untuk menolak isu lingkungan.

            Banyak jurnalisme lingkungan adalah watchdog yang efektif dan dapat memobilisasi aktivis sipil. Tradisi jurnalisme lingkungan ini dapat memperkaya jurnalisme pembangunan. Jurnalisme lingkungan mengarah pada promosi, sedangkan Jurnalisme pembangungan mengarah pada propaganda yang bertujuan untuk meyakinkan orang akan manfaat suatu pembangunan. Selain itu, jurnalisme lingkungan menganggap orang sebagai objek. Sedangkan jurnalisme pembangunan menganggap pembangunan sebagai statistik (angka). Jurnalisme lingkungan mulai dipuji-puji dan jurnalisme pembangunan mulai dicaci-maki. Akhirnya, jurnalisme pembangunan kehilangan kepercayaan akan dampak positif yang selama ini ditampilkan.

            Jurnalisme lingkungan menawarkan dua hal baik, yaitu peran watchdog dan peran advokasi/pembela yang sah. Peran Watchdog yaitu bahwa jurnalisme lingkungan mengekspos penggunaan sesuatu sehingga menjamin adanya transparansi, mengekspos korupsi, mempertanyakan penggunaan kekuatan militer dalam suatu penanganan kasus, dan memperdebatkan kebijakan bantuan. Kemudian peran Advokasi yang sah yaitu di mana nilai berita dari jurnalisme lingkungan adalah tentang hak asasi manusia, solidaritas, bersifat menjelaskan dan memberdayakan konten berita. Ia tidak hanya mengikuti pasar, tetapi ia memimpin pasar. Selain itu, ia juga mendemokrasikan kebijakan publik.

Mungkinkah Saling Berhubungan?

Kedua jurnalisme ini bila dapat saling berhubungan. Jurnalisme pembangunan dapat memberikan kontribusi terhadap jurnalisme lingkungan. Pengetahuan yang mendalam dari developmentalisme memperkaya jurnalisme pembangunan. Sehingga jurnalisme lingkungan perlu untuk menyebarkan informasi, menggambarkan perbedaan isu-isu di dunia (misal: rekayasa genetika pangan), dan mempertimbangkan suara akar rumput / orang-orang kecil. Begitu pula, jurnalisme lingkungan dapat memperkaya aspek jurnalisme pembangunan dalam peran watchdog dan peran advokasinya. Dalam prosesnya, dua jurnalisme ini akan menjadi lebih serupa, yaitu mencerminkan objek yang diberitakan keduanya (isu lingkungan― planet-centered dan isu pembangunan―people-centered).

            Pada prakteknya, masyarakat dihadapkan pada pertanyaan akankah media tetap memisahkan kedua isu ini dalam pemberitaannya. Apakah jurnalisme lingkungan akan tetap mengambil isu yang sama pada wilayah mereka sepanjang isu tersebut berkaitan dengan gas rumah kaca, atau mereka akan mempertimbangkan dampak dari informasi global.

            Jurnalisme pembangunan dapat mempengaruhi jurnalisme lingkungan. Misalnya dari segi:

  • Sumber (Sources). Jurnalisme lingkungan menjadi memperluas penggunaan sumber seperti dari bidang hukum, ilmuwan, kelompok penekan, dan juga dari elit.
  • Bingkai (Frames), seperti berita tentang keunikan kecelakaan nuklir, kebocoran gas di Bhopal.
  • Kekurangan keahlian. Kekurangan pengetahuan dan adanya tekanan dari pihak lain.

            Solusi dari penggabungan dua jurnalisme tersebut sebenarnya dapat dipecahkan dari tangan (hands), kepala (heads), dan hati (hearts) jurnalis.

           

            Pertemuan dua aliran jurnalisme ini nampak dalam cara media Durban dalam meliput tentang polusi di perkotaan. Durban melakukan beberapa cara, yaitu:

  1. Pemasaran media. Durban menggabungkan dua aspek dalam kedua aliran jurnalisme tersebut, yaitu aspek people-centred dari jurnalisme pembangunan dan aspek story-telling narratives(dengan orang yang tertindas sebagaistory-teller) dari jurnalisme lingkungan.
  2. Aktivis lingkungan beralih ke isu-isu kotor, dari upaya menyelamatkan badak ke isu tentang polusi, kebersihan, dan lain-lain.
  3. Aktivis politik dan konservasionis bergabung.

Hasilnya adalah pemberitaan yang luas dalam:

Mempopulerkan protes terhadap polusi.

Mengesahkan para pemrotes

Menghubungkan pengalaman sehari-hari ke dalam kebijakan publik dan prakteknya.

            Mulai tahun 2003 sudah jelas bahwa lingkungan dan pembangunan saling melengkapi dalam banyak hal. Mereka tidak menjadi serupa, tetapi menjadi semakin kabur perbedaannya. Misalnya dalam isu genetika, kedua aliran jurnalisme ini akan menjadi semakin terintegrasi, baik itu isu lingkungan / ilmu pengetahuan ataupun tentang pembangunan.

Referensi:

Berger, G. (2003). Finding pearls in pools: The flow of environmental journalism after the WSSD. Kongres Sustaining Environmental Journalism, Rhodes University, 20-21 November.

Rachmiatie, A. (2005). Keberadaan radio komunitas sebagai ekskalasi demokratisasi komunikasi pada komunitas pedesaan di Jawa Barat. MediaTOR (Jurnal Komunikasi), 6(2), hlm 215-226.

Rademakers, L. (2004). Examining the handbooks on environmental journalism: A qualitative document analysis and response to the literature. Doctoral dissertation, University of South Florida.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun