Tentu akan sangat disayangkan jika si belang (Harimau Sumatera) yang banyak muncul di cerita anak-anak menjadi dongeng belaka bagi generasi di masa depan. Satwa kharismatik ini kini sedang berada dalam ambang kepunahan. Mereka kehilangan habitatnya dan terancam oleh perburuan liar.
Jika Darwin mengatakan dengan frasa “the survival of the fittest” bahwa alam adalah penyeleksi makhluk yang dapat tinggal di bumi, namun faktanya berbagai kasus menunjukkan bahwa kepunahan terjadi karena ulah manusia. Perkembangan ekonomi dan teknologi perburuan nampaknya berkorelasi positif terhadap kelangkaan Harimau Sumatera. Maka, berbagai upaya mencegah kepunahan hewan mulai bermunculan. Berbagai organisasi lingkungan pun tampil dengan program-program konservasinya.
Mengapa Harimau Sumatera?
Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah memuat beraneka ragam fauna unik hingga endemik (hanya ada di Indonesia). Salah satunya adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Hewan ini termasuk ke dalam hewan yang dilindungi karena jumlahnya yang semakin menipis. Kepunahan mengancam spesies ini karena mereka menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup, yaitu:
- Mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan konversi / alih fungsi hutan.
- Merekaterancam oleh perdagangan ilegal. Perdagangan illegal membuat bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi. Setiap bagian tubuh Harimau Sumatera memiliki nilai tinggi di pasar, seperti bola mata, bulu, otak, lemak, kuku, ekor, organ, bahkan kelaminnya. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016, populasi harimau Sumatera hanya tinggal 371 ekor.
Harimau Sumatera sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Satwa ini membutuhkan habitat yang khas untuk tempat hidupnya, yaitu hutan tertutup yang luas untuk memudahkan mencari mangsa dan berteduh; ketersediaan air yang memadai untuk minum, mandi, dan berenang; serta ketersediaan mangsa (pakan) yang cukup.
Organisasi Penyelamat Lingkungan
World Wildlife Fund (WWF) adalah organisasi pelestarian global yang bekerja di 100 negara di dunia. WWF Indonesia merupakan salah satu organisasi konservasi independen terbesar di Indonesia yang telah memulai kegiatannya sejak tahun 1962 (www.wwf.or.id). Misi utama WWF Indonesia adalah melestarikan, merestorasi serta mengelola ekosistem dan keanekaragaman hayati secara berkeadilan, demi keberlanjutan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
WWF memfokuskan upayanya pada dua aspek utama yaitu (www.wwf.or.id):
- Keanekaragaman hayati atau Biodiversity, yaitu upaya untuk memastikan bahwa jaring-jaring kehidupan di Planet Bumi – yaitu keanekaragaman hayati–tetap dalam kondisi sehat dan bertahan hidup. Untuk itu WWF memfokuskan upaya konservasi pada lokasi-lokasi penting dan spesies kritis yang strategis untuk diprioritaskan demi keragaman hayati di bumi.
- Jejak ekologis manusia atau Footprint, adalah upaya untuk mengurangi dampak negatif dari aktivitas manusia – yaitu jejak ekologis kita terhadap bumi. WWF berupaya memastikan bahwa sumber daya alam yang dibutuhkan bagi hidup manusia seperti lahan, air, dan udara, serta ekosistem penting dikelola secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Berkaitan dengan kedua aspek di atas, maka WWF meluncurkan kampanye Double Tiger dengan tujuan untuk menggandakan jumlah harimau. Kampanye ini dilakukan selama seminggu mulai tanggal 29 Juli 2016 lalu saat bertepatan dengan Global Tiger Day. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman terhadap populasi harimau. Perlu diketahui bahwa dari tiga jenis Harimau yang ada di Indonesia, saat ini hanya Harimau Sumatera yang tersisa. Sementara Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah mengalami kepunahan. Untuk mencegah terjadinya kepunahan, maka harus ada upaya untuk melindunginya dari aktivitas perburuan dan melindungi habitatnya.
Perburuan Liar: Tragedi Kepemilikan Bersama
Banyak orang masih belum sadar akan pentingnya menjaga kekayaan alam di Indonesia agar tetap lestari. Mereka hanya berpikir sempit tentang pemenuhan kebutuhan manusia untuk saat ini dan tidak memikirkan kelangsungannya bagi anak cucu. Padahal alam yang terbatas tidak akan mampu memenuhi keinginan manusia jika tidak dilestarikan. Persoalan ini dapat dilihat sebagai tragedi kepemilikan bersama (tragedy of commons). Kekayaan alam seperti hutan liar dan sumber daya yang terkandung di dalamnya dilihat sebagai milik umum atau milik bersama. Sehingga, setiap orang merasa boleh mengambil kemanfaatannya secara cuma-cuma / gratis.
Hardin memaparkan bahwa kepemilikan bersama menimbulkan tragedi. Sebab, setiap manusia rasional terkunci ke dalam sistem yang memaksa seseorang untuk meningkatkan keuntungannya masing-masing (Hardin, 1968: 1244). Hal ini nampak pada aktivitas perburuan dan penjualan Harimau Sumatera secara ilegal di pasar. Tentu akan sangat menguntungkan karena bagian-bagian tubuh harimau ini dihargai sangat tinggi di pasar perdagangan. Akibatnya, perburuan liar (illegal hunting) terhadap harimau marak terjadi. Jika hal ini terus dibiarkan, maka nasib Harimau Sumatera akan sama dengan Harimau Jawa dan Harimau Bali yang telah mengalami kepunahan.
Keterbatasan sumber daya, mengharuskan adanya redefinisi terhadap hak milik atas hutan. Privatisasi terhadap sumber daya alam adalah cara tepat mengurangi kebebasan manusia dalam mengeksploitasi alam. Privatisasi ini nampak dalam upaya konservasi (pengawetan) yang dilakukan oleh pemerintah, dengan melestarikan hewan tersebut di dalam (in situ) dan di luar (eksitu) wilayah konservasi.
Upaya pelestarian di dalam habitatnya (in situ) dilakukan melalui pembuatan kawasan Hutan lindung atau Taman Nasional. Taman Nasional tersebut antara lain Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan di Kawasan Hutan Senepis. Sedangkan pelestarian di luar habitatnya (eksitu) dilakukan dengan menempatkan mereka di Taman Safari atau Kebun Binatang Ragunan. Selain itu, pendekatan konservasi lain terhadap harimau Sumatera adalah pelestarian di luar habitatnya (eksitu), seperti di Kebun Binatang. Pendekatan eksitu baik karena bertujuan untuk menyelamatkan harimau Sumatera. Tetapi, pendekatan ini seharusnya bukan menjadi pilihan bagi penyelamatan hewan langka. Hal ini karena berkaitan dengan etika dalam kesejahteraan hewan (animal welfare) yang seharusnya hidup di habitat aslinya.
Selain itu cara lainnya adalah dengan membuat regulasi untuk melindungi alam di bawah payung hukum.Misalnya melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun, payung hukum ini tetap dilanggar karena bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya, taman nasionalmasih dapat disusupi oleh pemburu nakal. Ternyata, perlindungan hukum masih saja kurang. Maka, pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan. WWF sebagai lembaga yang konsisten dengan upaya konservasinya membantu dengan mengumpulkan dana untuk pembelian alat-alat pantau dan alat penunjang petugas pantau.
Menurut Hardin, regulasi yang menghasilkan tanggung jawab adalah yang bersifat memaksa (koersif). Sehingga, hukuman berat bagi pemburu satwa langka adalah solusi yang tepat untuk memberikan efek jera bagi mereka sendiri maupun orang lain. Selain itu, hukuman berat juga dapat menyentuh kesadaran masyarakat bahwa Harimau Sumatera telah berada di ambang kepunahan dan seharusnya dilindungi. Hukuman berat juga menjadi tuntutan dari WWF untuk menindak tegas pelaku perburuan dan perdagangan ilegal.
Filosofi Lingkungan yang Antroposentris
Berkurangnya habitat asli Harimau Sumatera juga disebabkan oleh adanya kesalahan dalam filosofi lingkungan yang dianut. Filosofi lingkungan yang dianut adalah sudut pandang yang Antroposentris (berpusat pada manusia) ketimbang yang Ekosentris (berpusat pada bumi).Pandangan Antroposentris ini berangkat dari teori utilitarian yang rasional yang berdasarkan atas kepentingan diri manusia. Konsep antroposentris memenihilkan nilai yang dimiliki alam. Sehingga alam hanya berharga jika ia berguna bagi manusia.
Berkurangnya luas hutan berkaitan dengan pembangunan. Pembangunan selalu menjadi agenda yang dipilih Pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bagi semua masyarakat. Pembangunan dilakukan dengan membuka lahan atau mengalihfungsikan hutan. Sehingga hutan kerap menjadi korban dari pembangunan. Padahal hutan berfungsi sebagai penyangga ekosistem, di mana ia menjadi habitat bagi flora dan fauna. Salah satunya adalah Harimau Sumatera. Akibatnya, kualitas, kuantitas, dan daya dukung habitat terhadap Harimau Sumatera menurun. Selain itu, jenis satwa yang menjadi makanan harimau (seperti rusa, babi hutan, dll) juga menurun karena mengungsi ke tempat lain atau karena mati; hilangnya tempat berlindung dan tempat membesarkan anak harimau; serta berubahnya wilayah harimau.
Ekologi Politik: Benturan Kepentingan
Eder (dalam Buhrdan Reiter, 2006: 3) menjelaskan transformasi lingkungan melalui tiga fasenya. Tahap pertama sebagai fase di mana ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi menandai suatu masalah lingkungan. Ekologi - dalam hal ini hutan- dianggap hanya memiliki nilai instrumental saja. Sehingga, ekologi menjadi sumber daya yang boleh dikeruk untuk kepentingan manusia.
Persoalan lingkungan terjadi karena menggabungkan ekologi dengan politik. Menurut Bryant dan Bailey, ekologi politik digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap bekerjanya kekuatan-kekuatan yang membentuk konfigurasi konstelasi politik ekologi di suatu kawasan (Kuswijayanti, dkk: 2007: 44).
Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan di Indonesia adalah penebangan liar (illegal loging), alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan. Sebagian besar kawasan yang ditinggali harimau Sumatera (hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan) ini terancam pembukaanhutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan (www.wwf.or.id). Kesemuanya tersebut jika disimpulkan adalah untuk kepentingan manusia.
Kondisi hutan di Indonesia semakin diperparah oleh adanya korporasi yang melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Indonesia sendiri tercatat sebagai produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Indonesia Investment, 22 Maret 2017). Hal ini kerap dikaitkan dengan deforestasi dan pembakaran hutan gambut yang sering terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera.
Tingginya nilai ekonomi atas hasil hutan semakin memperkuat eksistensi masyarakat dan pengusaha untuk semakin giat melakukan pengelolaan atas hasil hutan. Terlebih karena keuntungan finansial yang diperoleh dari penebangan liar lebih besar daripada penebangan legal (Tacconi, dkk, 2004: 11). Hal ini karena penebangan legal akan dikenakan pajak dan biaya operasional, sedangkan penebangan liar tidak. Pada tingkat kelembagaan, ada bukti bahwa pejabat pemerintah daerah dalam banyak hal mendukung aktivitas penebangan untuk meningkatkan pendapatan lokal dan bahkan 'melegalkan' penebangan liar dalam rangka mendapatkan pendapatan itu (Casson dalamTacconi, dkk, 2004: 10). Konversi hutan ke perkebunan sawit ini sayangnya telah berhasil menyelamatkan perekonomian petani kecil. Sehingga dukungan konversi ke lahan sawit semakin bertambah tinggi.
Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Kondisi saat ini mencerminkan bagaimana Harimau Sumatera terusir dari rumah mereka sendiri karena keserakahan manusia. Akibat berkurangnya hutan, timbullah beberapa kasus seperti kelangkaan harimau, kasus harimau menyerang ternak, menyerang lahan pertanian dan perkebunan, melukai masyarakat, atau harimau yang dibunuh karena memasuki kawasan pemukiman warga. Hal ini cukup menggambarkan ketidakcocokan antara ekonomi dan ekologi.
Tahap kedua terjadi ketika aksi-aksi lingkungan dominan menggunakan pendekatan regulasi (Buhr dan Reiter, 2006: 3). WWF Indonesia dalam hal ini bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari kepunahan. Komitmen yang muncul adalah upaya WWF untuk melakukan pemantauan populasi dan menjaga populasi harimau yang ada sekarang.
Aksi WWF Indonesia dengan pendekatan regulasi ini dilakukan melalui kampanye fundraising #DoubleTigers. WWF membuat 371 anak harimau dalam bentuk Papier Mache atau replika harimau yang terbuat dari kertas bekas sebagai pesan untuk meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara satwa, manusia, dan alam. Aksi ini menunjukkan bahwa rasa sayang terhadap satwa liar tidak harus dilakukan dengan memelihara atau memilikinya. Melainkan, membiarkan satwa itu hidup bebas merupakan tindakan bijaksana untuk mendukung upaya pelestariannya.
Donasi dilakukan dengan mengadopsi “Tiger Papier Mache”. Satu buah Tiger Papier Mache ini dihargai Rp3.710.000. Donasi tersebut nantinya digunakan untuk membeli 1 buah kamera penjebak seharga Rp2.000.000, 1 buah sepatu boot dan 1 tas ransel bagi pekerja lapangan seharga Rp500.000, dan 1 set perlengkapan ranger (seragam, sepatu boot, topi, jas hujan, tas, matras, dan tenda) seharga Rp3.000.000. Peralatan kamera jebak (camera trap) tersebut berguna untuk memperkirakan jumlah populasi, habitat, dan distribusi Harimau Sumatera di Sumatera Tengah. Kemudian agar dapat mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan baik berupa penindakan perburuan sesuai regulasi yang ada, penyelamatan dari jerat harimau, dan lain sebagainya.
Tahap ketiga, adalah melakukan normalisasi budaya sebagai focus lingkungan dan integrasi mereka dengan pola pemikiran ideologis (Buhr dan Reiter, 2006: 3). Hal ini nampak dalam usaha yang dilakukan WWF dengan menggandeng para public figure yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup untuk bergabung dalam "The Roarers". Mereka menggaungkan kampanye #DoubleTigers untuk pelestarian harimau Sumatera. Figur publik tersebut antara lain Nugie, Nadine Chandrawinata, Marcel Chandrawinata, Daniel Mananta, Ayu Dewi, Wulan Guritno, Shandy Aulia, Winky Wiryawan dan Kenes Andari, Chicco Jerikho, Arifin Putra, Melly Goeslaw, dan Ruben Onsu.
Proses selanjutnya adalah normalisasi budaya. Normalisasi budaya nampak dalam pesan aktor-aktor tersebut untuk mengurangi penggunaan kertas, dan memperhatikan produk minyak sawit yang dibeli apakah ramah lingkungan atau tidak. Normalisasi budaya ini kemudian diintegrasikan dengan ide atau gagasan kelestarian harimau Sumatera.
Kampanye menggunakan interaksi simbolis, artinya ia mengoperasikan simbol-simbolatau lambang-lambang komunikasi yang mempunyai makna tertentu dalam berkampanye. Lambang komunikasi itu sendiri bisa berupa bahasa, baik tulisan maupunlisan, tanda (sign), gambar-gambar, isyarat tertentu yang telah dirumuskan sedemikianrupa sehingga dapat menarik perhatian sekaligus berpengaruh terhadap pesan yangdisampaikan dan pada akhirnya akan menimbulkan efek atau hasil sesuai yang telah direncanakan oleh komunikator. Dengan lambang-lambang tersebut komunikan termotivasi untuk melakukan sesuatu dengan senang hati apa yang dimaksudkan oleh komunikator (Setianti, 2007: 2).
WWF biasanya menggunakan simbol berupa tanda tagar (#) dalam setiap program-program kampanye konservasinya. Tagar #DoubleTigers di media sosial digunakan untuk mengumpulkan aksi masyarakat dan memperbesar audien. Sampai pada awal April 2017, pengguna tagar ini pada media sosial instagram di seluruh dunia sudah terkumpul sejumlah 5.584 kiriman.
Dalam hubungan dengan interaksi simbolik tersebut, maka kegiatan kampanye bersifat psikologis. Sehingga, pendekatan persuasif merupakan hal yang penting di sini karena ia dapat mengubah perilaku individu dan massa. Simbol berupa tanda tagar akan memotivasi orang untuk ikut memposting atau menulis sesuatu dengan sukarela di media sosial. Selain itu, tanda tagar membuat suatu pesan mudah untuk diingat. Kemampuan pesan untuk mudah diingat meningkatkan keberhasilan dari kampanye yang persuasif.
Upaya WWF melalui pengumpulan donasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap perburuan dan perdagangan Harimau Sumatera nampaknya belum sesuai dengan pendekatan konservasi yang diusungnya. WWF Indonesia menerapkan pendekatan “defense and attack” atau “bertahan dan menyerang”, yang artinya mempertahankan dan menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, sementara pada saat yang sama melakukan transformasi sistem dalam manajemen dan tata kelola sumber daya alam. Ketidaksesuaian ini yaitu karena upaya konservasi Harimau Sumatera sebenarnya belum dilakukan. Donasi belum dipertanggungjawabkan dan transparansi donasi yang terkumpul untuk pembelian perangkat pengawasan masih kurang. Selain itu upaya konservasi Harimau Sumatera sebenarnya belum nampak, karena pelaksanaannya konservasinya belum terjadi.
Upaya WWF dalam mengajak untuk mengurangi penggunaan kertas, dan membeli produk minyak sawit yang ramah lingkungan memang sudah baik. Namun, pesan ini kurang menggaung luas di Indonesia. Nampaknya, kampanye ini kurang menjadi perhatian media dan kurang persuasif. Oleh karena kampanye ini bertujuan untuk mengumpulkan donasi, makaketertarikan masyarakat sangat rendah. Terlebih WWF juga kurang transparan dalam memberitahukan ke mana donasi tersebut akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buhr, N dan Reiter, S. (2006). Ideology, the environment and one world view: A discourse analysis of Noranda’s environmental and sustainable development reports. Environmental Accounting hal. 1-48. Emerald Group Publishing Limited.
Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162: 1243-1248.
Indonesia Investment. (2017, 22 Maret). Minyak kelapa sawit. Diakses dari www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166
Kuswijayanti, E. R. & Dharmawan, A. H. (2007). Krisis-krisis socio-politico-ecology di kawasan konservasi: studi ekologi politik di Taman Nasional Gunung Merapi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1).
Setianti, Y. (2008). Kampanye dalam merubah sikap khalayak.
Tacconi, L., dkk. (2004). Proses pembelajaran (learning lessons) promosi sertifikasi hutan dan pengendalian penebangan liar di Indonesia. CIFOR.
WWF. Program. Diakses dari www.wwf.or.id/program/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H