Perusahaan dalam menjalankan aktivitas operasionalnya, tidak dapat terhindar dari risiko. Pada perusahaan industri, risiko yang sering ditemui adalah berkaitan dengan lingkungan. Dalam menanganinya, perusahaan perlu untuk mengadopsi strategi-strategi tertentu. Salah satunya adalah menggunakan komunikasi risiko.
Ragnar E. Lofstedt dan Ortwin Renn dalam tulisannya menggunakan teori dan ide-ide dari komunikasi risiko untuk menganalisis kontroversi lingkungan beberapa waktu lalu yang banyak menarik perhatian media. Kontroversi ini dipicu oleh usulan dari Perusahaan minyak yang dimiliki bersama oleh Shell dan Exxon, untuk menenggelamkan pelampung penyimpanan minyak atau “Brent Spar” ke laut dalam (lapisan terbawah dari lautan) di Samudra Atlantik bagian utara. Penenggelaman ini didukung oleh mantan perdana menteri Inggris John Major dan Pemerintah Inggris sebagai opsi terbaik untuk lingkungan praktis.
Greenpeace, khususnya aktivisnya yang berada di Jerman, melancarkan kampanye besar-besaran terhadap penenggelaman Brent Spar ini. Kampanye ini akhirnya mendorong pemerintah Jerman, Denmark, dan Swedia untuk menyayangkan pembuangannya. Kontroversi Brent Spar sangatlah menarik karena ketika aktivis Greenpeace mengangkat isu pembuangan Brent Spar, barulah ini menjadi suatu isu lingkungan. Setelah Brent Spar diduduki Greenpeace, kontroversi Brent Spar mulai memukul kesadaran banyak media.
Sejarah Kasus
Pada awal 1994, dua raksasa minyak, Shell dan Exxon, punya masalah dengan pembuangan pelampung penyimpanan minyak atau Brent Spar. Pelampung ini beroperasi tahun 1976, dan tidak beroperasi lagi selama 5 tahun. Namun kini diam-diam menimbulkan kontroversi. Oleh karena berat Brent Spar lebih dari 4000 ton (beratnya adalah 14.500 ton), maka tidak diperbolehkan oleh hukum untuk membuangnya di darat (Lofstedt dan Renn, 1997: 132). Kemudian, pedoman Organisasi Maritim Internasional menetapkan bahwa penenggelaman ke laut adalah pilihan yang dapat diterima.
Shell kemudian ditugaskan melakukan studi untuk mempertimbangkan teknis, keamanan, dan implikasi lingkungan dari pembuangan pelampung. Shell selanjutnya datang dengan empat pilihan: Pembuangan di darat, Penenggelaman pelampung di lokasi beroperasi, Dekomposisi pelampung di tempat, atau Pembuangan di laut dalam (Atlantik).
Shell memutuskan untuk menerapkan opsi keempat, terutama karena biaya yang cukup murah dengan dampak lingkungan kecil sehingga sesuai dengan Best Practicable Environmental Option (BPEO). Maka risiko pencemaran perairan pantai akan rendah. Atas dasar hasil konsultasi, Shell meminta izin Department of Trade and Industry (DTI) atau Departemen Perdagangan dan Industri untuk membuang pelampung di laut dalam. Pada Desember 1994, DTI menyetujui usulan itu. Pemerintah Inggris lalu memberitahu negara-negara Eropa lainnya pada 16 Februari. Oleh karena tidak ada negara yang keberatan selama batas waktu 60 hari setelah perjanjian dilakukan, maka pemerintah Inggris memberi lisensi pembuangan pada minggu pertama Mei. Namun sebelum izin dikeluarkan, Greenpeace langsung mengambil alih izin Brent Spar pada tanggal 30 April.
Pada tanggal 9 Mei, Kementrian Lingkungan Jerman dan Kementerian Pertanian memprotes Pemerintah Inggris karena ternyata pembuangan ke tanah juga belum diselidiki secara signifikan. Greenpeace sampai memobilisasi politisi dengan mengumpulkan tanda tangan untuk melawan penenggelam ke laut dalam. Hal ini memicu kelompok konservatif untuk menyatakan bergabung dengan kelompok aksi Hijau dalam meminta untuk memboikot pom bensin Shell. Tidak hanya mereka, tetapi banyak orang di seluruh dunia berusaha untuk melindungi laut kita. Sejak Mei, Brent Spar menjadi agenda banyak media. Pada 16 Juni, Greenpeace membuat klaim bahwa ada sejumlah besar logam berat dan material organik yang sangat beracun lainnya dalam tangki yang belum diumumkan oleh Shell. Meskipun Greenpeace mengakui telah membuat kesalahan tentang klaim jumlah sisa polutan, tetapi mereka tetap berargumen bahwa bagaimana pun juga penenggelaman Brent Spar adalah salah (Lofstedt dan Renn, 1997: 132).
Setelah Brent Spar diduduki Greenpeace, Shell UK terus mendapat tekanan dari Shell Jerman dan Belanda. Misalnya, karena kampanye Greenpeace itu, pom Shell di Jerman mengalami penurunan penjualan, diancam dengan serangan, beberapa dirusak, bahkan dibom. Jerman juga menulis surat ke DTI UK dan melampirkan uang untuk membantu membayar pembuangan Brent Spar. Selain itu, wanita Jerman juga mengirimkan gambar anak-anak mereka untuk Shell UK.
Sepanjang krisis, Shell UK menerima sedikit dukungan dari Pemerintah Inggris yang mencoba membujuk sekutu-sekutu Eropanya bahwa penenggelam Brent Spar ke laut dalam adalah sesuai dengan BPEO. Sebaliknya, argumen ini tidak digubris sama sekali oleh publik. Lofstedt dan Renn berargumentasi bahwa hilangnya kredibilitas Shell, kuatnya protes publik, dan kesuksesan boikot memiliki banyak hubungan dengan penerapan strategi komunikasi risiko yang salah oleh Shell dan Pemerintah Inggris.
Lofstedt dan Renn dalam tulisannya memeriksa beberapa alasan mengapa Greenpeace berhasil dalam komunikasi risiko, sedangkan Shell dan Pemerintah Inggris gagal.
Alasan Kegagalan Program Komunikasi Risiko Shell
Pertama, ada dua aktor yang disalahkan, yakni Shell dan Pemerintah UK. Shell mengambil keputusan hanya berdasarkan atas BPEO, dan Pemerintah Inggris yang juga mendukung keputusan tersebut. Kekalahan Shell atas masyarakat dan Greenpeace ini telah dijelaskan oleh salah satu surat kabar Inggris sebagai "kemenangan bagi demokrasi".
Kedua, Shell dipandang serakah sebagai perusahaan kelas transnasional yang memiliki modal besar, tetapi masih ingin meminimalkan biaya dengan jalan penenggelaman Brent Spar.
Ketiga, Shell menjadi sasaran empuk untuk diboikot (tidak membeli dan beralih ke SPBU lain).
Keempat, keterlibatan politisi dalam menyalahkan Shell akan mudah untuk menarik green people. Jerman, Denmark, dan Swedia, negara yang paling menentang pembuangan di laut dalam, tidak memiliki cadangan minyak mereka sendiri, sehingga mendukung protes masyarakat terhadap Shell tidak mempengaruhi mereka secara ekonomi. Melainkan hanya sebagai ajang latihan kepercayaan mereka tanpa biaya keuangan atau politik.
Promotor Krisis
Ada banyak faktor yang memastikan bahwa Brent Spar tetap menjadi agenda media (atau agenda pemberitaan). Ada banyak gambar bagus yang ditunjukkan Greenpeace. Misalnya, gambar aktivis yang disemprot kapal penyeret Shell. Kedua, ada serangkaian faktor negatif yang melekat pada pendukung Brent Spar. Shell sebagai perusahaan transnasional memiliki kepercayaan publik yang rendah. Begitu pula pemerintah UK digambarkan oleh media sebagai memihak industri, arogan dan keras kepala.
Kegagalan memperhitungkan informasi
Ada beberapa kelemahan dengan strategi komunikasi dari Shell dan Pemerintah UK (Lofstedt dan Renn, 1997: 134).
Pertama, mereka berdua mengadopsi pendekatan top-down daripada pendekatan dialog. Pendekatan top-down mengalienasi publik, karena cenderung arogan dan kaku. Sedangkan pendekatan dialog sangat didukung oleh penelitian komunikasi risiko.
Kedua, Shell kurang dapat dipercaya publik, sedangkan Greenpeace sebaliknya. Masyarakat di UK dan Jerman secara umum lebih mempercayai organisasi non-pemerintah daripada industri atau pemerintah.
Ketiga, Shell tidak bisa memperhitungkan makna simbolik dari pembuangan di laut dalam yang secara moral salah. Persoalan moral di sini diartikan bahwa daerah-daerah yang masih asli seperti Antartika dan laut dalam seharusnya tetap murni dan tidak tersentuh.
Keempat, Shell tidak berkonsultasi dengan para ilmuwan yang benar-benar mengetahui tentang laut dasar dan konsekuensi dari pembuangan Brent Spar tersebut, untuk melawan klaim yang dibuat oleh Greenpeace. Akhirnya, dominasi pemberitaan media condong mendukung Greenpeace.
Pelajaran dari Komunikasi Risiko
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipelajari dari kontroversi Brent Spar yang mungkin bisa membantu untuk memastikan bahwa krisis di masa depan sejenis ini dapat diminimalkan:
Perusahaan seperti Shell harus mengadopsi pendekatan dialog antara masyarakat, kelompok kepentingan khusus dan "ahli", untuk memperoleh solusi yang dapat diterima untuk semua orang. Pendekatan dialogis membantu untuk melihat logika dan rasionalitas dari kerangka pemikiran kognitif yang dapat mempengaruhi suatu bingkai.
Industri memerlukan strategi komunikasi yang lebih baik dan lebih fleksibel untuk mengatasi kritik dari kelompok-kelompok yang bermusuhan. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan independent peer review atau ilmuwan yang tidak terlibat secara langsung dengan riset yang sedang dievaluasi, untuk mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh Shell. Review ini harus dipublikasikan agar publik lebih berfokus pada isu tersebut ketimbang organisasinya. Selain itu, pengambilan keputusan harus terbuka dan memberi kuasa kepada pihak-pihak lain (ilmuwan sosial yang tidak terlibat dengan isu dan penasehat media).
Perusahaan juga harus mengorganisasikan juri atau grup fokus di negara yang berbeda untuk menjelaskan perbedaan persepsi publik antara negara-negara yang terkena dampak (Jerman, Denmark, Swedia). Sehingga, ada kebutuhan untuk meningkatkan konsultasi dan komunikasi dengan instansi politik di negara-negara lain terkait kesepakatan atau persetujuan mereka.
Industri harus memahami apa fokus yang mendasari ketakutan masyarakat. Oleh karena itu, industri, terutama perusahaan multinasional, harus memiliki strategi komunikasi yang seragam dan tidak ambigu baik secara internal maupun antarnegara yang berbeda. Informasi yang campur aduk justru membuat publik bingung. Hal ini jelas terlihat dalam kasus Brent Spar, di mana Shell UK telah mengeluarkan pernyataan yang berbeda dan sering bertentangan dengan Shell Jerman. Selain itu, lembaga perizinan pemerintah harus selalu mengklaim kemerdekaan dari kepentingan khusus dari negara-negara sekutu. Lembaga tersebut juga harus menekankan kontrol dan akuntabilitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H