Permintaan Mardani Sera agar Fadli Zon membacakan puisi karyanya tak mungkin dihentikannya. Di tengah kerumunan banyak jurnalis cetak dan elektronik Ia berdiri gelisah sambil menyilangkan kedua tangannya di atas perut. Mulutnya mengatup. Sesekali wajahnya ditekuk miring. Anies Baswedan nampak tidak enjoy di sana.
Posisi Prabowo Subianto tepat berada di belakang Anies Baswedan. Prabowo menaruh tangan kanannya di atas pundak Anies seolah olah mau berkata "Dik Anies sampeyan dengarkan puisi Fadli ya". Sementara di samping Prabowo Subianto berdiri Presiden PKS Sohibul Imam yang ikut menikmati sajak Fadli Zon.
Kerumunan orang orang berbaju putih itu menyimak serius untaian sajak yang ditulis Fadli Zon pentolan Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR. Mic digenggamnya dengan tangan kanannya. Ia maju selangkah berdiri di samping Sandiaga Uno. Sepanjang pembacaan sajak itu tampak Sandiaga terpesona dan sesekali melirik catatan Sajak Tukang Gusur di smardphone Fadli Zon.
Fadli Zon memulai sajaknya dengan membuka kata "Tukang gusur-tukang gusur. Menggusur orang-orang miskin. Di kampung-kampung hunian puluhan tahun. Di pinggir bantaran kali Ciliwung. Di rumah-rumah nelayan Jakarta. Di dekat apartemen mewah, mal yang gagah. Semua digusur, sampai hancur".
Malam pengumuman cagub cawagub dari Partai Gerindra dan PKS itu, terlihat wajah Anies nampak berbeda. Tatapan matanya kosong menunduk ke lantai. Saat suara orang orang yang baru dikenalnya itu bersorak dan bertepuk menyemangati sajak Tukang Gusur, Anies mematung.
Jakarta malam itu diguyur hujan. Dingin. Angin kencang melanda sebagian Jakarta. Cuaca dingin itu menambah dinginnya perasaan Anies yang tidak nyaman berada di sekumpulan orang orang yang berbeda pikiran dan watak dengannya. Berbeda habitat. Berbeda siulan.
Sorakan semangat semakin kencang memberi aplaus atas sajak Fadli. Prabowo terlihat sumringah mendengar untaian sajak berisi caci maki dan doa kutukan kepada Sang Tukang Gusur. Seolah olah dendam kesumat Prabowo sedang terlampiaskan di syair sajak kampungan sang antagonis judes ketus si murid kesayangannya itu. Fadli Zon.
Sajak memasuki baris akhir.
"Tukang gusur tukang gusur. Sampai kapan kau duduk di sana. Menindas kaum dhuafa.
Tukang gusur, tukang gusur. Suatu masa kau menerima karma. Pasti digusur oleh rakyat Jakarta."
Seketika pekik orang orang berpakaian putih itu membahana sesaat Fadli Zon menutup sajaknya dengan intonasi tinggi. Sandiaga Uno bertepuk tangan dengan pekikan suara dan tawa lebar gembira. Di belakang Anies, Prabowo Subianto bahkan mengepalkan tinjunya ke udara sambil berteriak kencang lalu tertawa puas. Disampingnya Presiden PKS ikut bertepuk tangan mengapresiasi sajak Tukang Gusur itu.
Mereka bergembira seakan sedang meraih kemenangan persis seperti iring iringan petinju kelas bulu ringan sedang memasuki ring tinju untuk memberikan semangat kepada jagoannya yang terlihat kuyu kurang tidur.
Sungguh saya melihat tontonan menyedihkan, miris. Saat Anies Baswedan dengan wajah tertekuk terdiam seribu bahasa ada goncangan batin terasa.
Senyum getir menyungging di bibirnya. Gesture wajahnya seperti tidak sanggup menolak semua nada sinisme nyinyiran ala Fadli Zon. Sesuatu yang aneh di matanya. Musuh yang dulu dilawannya kini mengitarinya. Mengepungnya.
Malam itu, Anies seperti tampak bukanlah Anies yang kita kenal dulu saat sama sama berjuang memenangkan orang baik Jokowi.
Malam itu Anies serasa seperti patung Socrates yang mulutnya terkunci dengan tangan menutup mulut. Anies tertegun diam tidak berani untuk sekedar menghentikan sajak murahan itu agar dihentikan. Anies melawan hati kecilnya.
Wajahnya tegang dan tertekuk menggambarkan konflik batin berada di tengah tengah orang orang yang dulu ditentangnya. Berkali kali tangannya menutup mulutnya seakan menutupi kegalauan perasaannya saat mendengarkan puisi sampah itu. Perang batin berkecamuk di dadanya.
Kita masih ingat kata kata inspiratif Anies Baswedan "Orang-orang baik tumbang bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena orang-orang baik lainnya diam dan mendiamkannya".
Malam itu Anies si orang baik diam dan mendiamkan sajak penghinaan dari mulut comberan Fadli Zon yang busuk dan bau. Anies diam dan mendiamkan pesan pesan tak bermoral meluncur deras dari mulut penghasut dan penista keji.
Anies persis seperti perawan di sarang penyamun. Diam, membisu ketakutan atas gerombolan bergigi taring yang siap menerkam Anies jika berani melawan tindakan mereka.
Malam itu terpatahkanlah pemeo yang mengatakan burung sejenis biasanya akan terbang bersama. Malam itu burung berbeda jenis terbang bersama demi nafsu kekuasaan yang entah seperti apa bentuknya mereka transaksikan. Mas Anies kembalilah ke jalur lintasan terbangmu. Sampeyan bukan burung pemakan bangkai.
Salam Buatmu Mas Anies
Birgaldo Sinaga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H