Mohon tunggu...
Michael Binyo
Michael Binyo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Bagian kecil dari sebuah bangsa besar, yakni Bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya. Jurnalis junior di sebuah media online. Hobbi menulis, nonton film drama komedi situasi, membaca kisah nyata yang inspiratif, dan keliling mencari tempat-tempat menyenangkan di tengah hiruk-pikuknya ibukota. Kurang menyukai orang yang memiliki sifat 'aneh' dalam berteman. Membuka diri untuk dikritik, diberi masukan, dan diberi pengarahan positif mengenai. Mengidolakan kepribadian serta pemikiran Pak Harto, Gus Dur, John Lennon, Nelson Mandela, dan Mahmud Madaul (orang pertama yang memberi wawasan menulis). Cinta keluarga, loyal, dan tidak suka nongkrong berlebihan. Akhir perkenalan, semoga tulisan-tulisan ini berguna bagi siapapun yang membacanya. Menjadi inspirasi, membuka wawasan baru, dan yang terutama adalah membuat setiap orang Indonesia yang membacanya semakin mencintai Bangsa Indonesia serta semakin bangga terlahir sebagai Bangsa Indonesia. Regards, Binyo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Taufiq Ismail dan Ayat-ayat yang Disembelih

14 April 2016   18:14 Diperbarui: 14 April 2016   18:17 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta (April 2016) --- Pemberontakan Komunis pimpinan Muso di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1926. Sebelum pemberontakan Muso di tahun tersebut, pria muda bernama Tan Malaka memimpin PKI (Partai Komunis Indonesia) dimana Muso masuk di dalamnya. Gerakan Tan Malaka dan kawan-kawan memakai topeng perlawanan terhadap pemerintah Belanda saat itu. Isu yang dijadikan alasan adalah kebijakan pemerintah Belanda yang membeli hasil panen petani berupa jagung, bawang, dan padi dengan harga murah sehingga para petani menderita kerugian. Oleh karena sepak terjang Tan Malaka yang membela petani (demi pemantapan ideologi komunis) maka Belanda berusaha untuk menangkapnya. Untuk menghindari Belanda, maka Tan Malaka melarikan diri ke Tiongkok, lalu berpindah lagi ke Filipina, sampai akhirnya ia masuk ke Rusia.

Tan Malaka berada di Rusia bertepatan dengan diadakannya pertemuan partai-partai komunis se-dunia. Tan Malaka berpidato di sana dalam bahasa Jerman dan berhasil mengundang decak kagum dari para hadirin karena kemampuan bahasa asing, retorika, serta kecerdasannya. Oleh karena itu, Tan Malaka akhirnya di daulat masuk menjadi anggota dewan majelis utama komunis dunia mewakili Indonesia. Di lain sisi cerita, Belanda tidak pernah berhenti memburunya walau sampai ke Rusia sekalipun. Sehingga Tan Malaka memutuskan kembali melarikan diri ke Thailand, tepatnya kota Bangkok.

Sementara itu, persiapan para pengikut Tan Malaka di Indonesia yang dikomandoi oleh Muso sudah mendekati sentuhan akhir yakni melakukan pemberontakan melawan pemerintah Belanda. Rencana-rencana mereka tersebut dibuat dalam pertemuan-pertemuan rahasia di kawasan sekitar candi Prambanan. Sampai semua dianggap rampung dari segi rencana dan strategi, maka Muso melaporkan rencana pemberontakan mereka kepada Tan Malaka sebagai pimpinan. Ternyata gayung tidak bersambut, Tan Malaka menolak mentah-mentah rencana Muso dan anggota-anggota yang lainnya dengan pertimbangan bahwa mereka belum memiliki kekuatan memadai dalam persenjataan. Tan Malaka menilai pemberontakan tersebut akan menemui kegagalan.

Rupanya Muso dan anggota lainnya tidak sependapat dengan telegram balasan Tan Malaka. Merekapun akhirnya terpecah belah yang diikuti dengan keluarnya Tan Malaka dari PKI untuk kemudian menyeberang ke partai MURBA. Perlu diketahui, partai MURBA juga memiliki ideologi marxisme/leninisme (komunis) akan tetapi mereka menghormati orang yang memeluk agama, sedangkan PKI menolak mentah-mentah terhadap agama.

Penilaian Tan Malaka tidak meleset, Muso dan kawan-kawannya di Indonesia gagal dalam pemberontakan tahun 1926. Belanda berhasil meredam mereka diikuti pembuangan tokoh-tokoh komunis sebanyak seribu (1.000) orang ke kawasan Digul. Nasib Muso akhirnya harus sama dengan Tan Malaka, yakni melarikan diri ke luar neger. Muso memilih langsung melarikan diri ke Rusia untuk meminta perlindungan dari pimpinan tertinggi di sana yaitu Stalin. Muso menetap aman disana selama kurang lebih 12 tahun.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, setelah merasa aman, Muso kembali ke Tanah air tepatnya ke Yogyakarta. Sesampainya ia di dalam negeri, para tokoh PKI membawanya untuk bertemu dengan seorang sahabat karib satu asrama dan satu kamar tidur ketika masih menimba ilmu di sekolah milik Raden Hadji Oemar Tjokroaminoto atau dikenal dengan HOS Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI) di Indonesia. Teman karib Muso tersebut adalah, Ir.Soekarno yang sudah menjadi Presiden Republik Indonesia.

Ada tiga murid HOS Cokroaminoto yang sangat cerdas, yaitu Soekarno, Muso, dan Kartosuwiryo. Ketiganya menjadi pemimpin di jalannya masing-masing. Soekarno menjadi Presiden pertama Repiblik Indonesia, Kartosuwiryo menjadi pemimpin Darul Islam, dan Muso menjadi pemimpin PKI melanjutkan kursi kepemimpinan yang ditinggalkan Tan Malaka.

Saat Muso bertemu Bung Karno di Istana negara, tidak nampak hal-hal aneh antara keduanya. Namun selesai pertemuan, ketika diwawancarai oleh harian Kedaulatan Rakyat, Muso memberikan pernyataan sinis dengan mengatakan bahwa rencananya kedepan adalah menggantikan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Setelah pertemuannya dengan Bung Karno, maka Muso mulai menjalankan rencana pemberontakan PKI selanjutnya untuk mengambil alih pemerintahan yang sah dengan menjadikan Madiun sebagai basis utama pemberontakan. Karena data diri Muso tidak dikenal oleh masyarakat Madiun, maka para pengikutnya membuat sebuah propaganda sesat dengan menyebarkan berita bahwa Muso adalah titisan Nabi Musa yang turun ke bumi untuk memimpin Indonesia. Atas dasar adanya kesamaan nama ( Musa dipelesetkan menjadi Muso ) maka rakyat Madiun berhasil dikelabui. Terjadilah suasana dimana setiap pidato Muso mendapat sambutan hangat masyarakat Madiun.

[caption caption="Taufiq Ismail dan Ayat-Ayat yang Disembelih | Dokpri"][/caption]

Tepat tanggal 19 September 1948, Muso memimpin PKI beserta organisasi komunis lainnya untuk bergabung dalam sebuah aliansi berkedok demokrasi bernama FDR (Front Demokrasi Rakyat) untuk mengumpulkan para Kyai (alim ulama) dan para santri dari pondok pesantren Takeran di magetan, para tokoh pemuka masyarakat, serta pejabat-pejabat pemerintah kota Madiun agar bertemu di pinggiran kota. Ternyata di tempat tujuan sudah menunggu lubang besar menganga yang akhirnya menjadi tempat pembantaian sadis.

Di tempat itu, Muso dan para pengikutnya mempraktekkan cara pembunuhan massal dengan menyembelih satu persatu para korbannya, mencungkil mata, sampai dengan mengubur hidup-hidup manusia. Bahkan, ada seorang Kyai yang dikubur hidup-hidup sambil sang Kyai membaca Al-Qur'an sebagai tanda menyerahkan nyawa kepada Allah SWT. Cara pembantaian Muso dan PKI ini terungkap berdasarkan Buku Kisah Nyata hasil penelusuran Anab Afifi dan Thowaf Zuharon. Mereka berdua berbekal biaya sendiri berkeliling Jawa timur mewawancara para anggota keluarga korban pembantaian Muso dan kawan-kawannya di Madiun. Hasil penelusuran serta wawancara mereka dibukukan dengan judul : “ AYAT-AYAT YANG DISEMBELIH : Sejarah Banjir Darah para Kyai, Santri, dan Penjaga NKRI oleh Aksi-aksi PKI “.

Aksi Muso akhirnya menyebar di kalangan masyarakat Madiun. Kedok Muso sebagai titisan Nabi Musa, dan sebagai Front Demokrasi Rakyat (FDR) akhirnya terbongkar dan menjadi kekejian di mata masyarakat. Bung Karno turun ke kota Yogyakarta untuk berpidato. Di sana beliau mengutuk apa yang dilakukan Muso, dan siap menumpas Muso dan kawan-kawannya. Bung Karno memberi sebuah pilihan kepada masyarakat Madiun, yakni pilih Soekarno-Hatta atau Muso, dan rakyat memilih Soekarno-Hatta.

Negara menjawab pilihan rakyat dengan melakukan operasi penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Berkekuatan dua brigade cadangan III Siliwangi, pemerintah berhasil menumpas PKI dan menembak mati Muso di Ponorogo. Pengikut-pengikut PKI lainnya, salah satunya adalah mantan pemimpin kabinet RI bernama Amir Sjarifuddin tertangkap di Grobogan Jawa Tengah lalu di jatuhi hukuman mati. Dalam operasi penumpasan sampai pemulihan keamanan terkait pemberontakan PKI atau FDR pimpinan Muso, terlibat tiga nama besar perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD, yakni Kolonel AH. Nasution, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Sungkono.

Dari ribuan Kyai, Santri, dan Aparatur negara yang disembelih PKI, turut menjadi korban pembunuhan PKI di Jawa timur adalah Gubernur pertama Jawa timur RM.Suryo, dokter kenegaraan Republik Indonesia Moewardi, serta anggota-anggota kepolisian. Sedangkan di Jawa tengah, khususnya Tegal, RA.Kardinah (adik kandung Pahlawan nasional RA Kartini) diseret keliling kampung lalu disembelih hidup-hidup.

" sebuah kekejian dan kekejaman ideologi Komunis yang dibalut rapih bersama Front Demokrasi Rakyat, ini tidak bisa hilang dari sejarah Republik Indonesia, dan para pendukung atau simpatisan KGB (Komunis Gaya Baru) saat ini harus menyadari hal tersebut. Jangan ditutup-tutupi atau dijadikan istilah bahwa pembantaian tersebut adalah kewajaran dalam revolusi," papar Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Sekarang ini, Komunis mencoba bangkit dengan gerakan senyap KGB (Komunis Gaya Baru). Mereka berlindung di balik faham-faham kerakyatan sama seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulunya.

" kami sudah sering masuk ke kampus-kampus untuk memberikan pencerahan. Mengapa kami memilih cara tersebut, tidak lain adalah karena KGB saat ini banyak menyisir kaum pemuda untuk menjejali ideologi Komunis. Dengan perkataan mungkin bisa dilupakan, atau dianggap ocehan kosong, namun jika menggunakan tulisan (dalam bentuk buku) yang berisi data serta fakta, maka rakyat akan kembali memahami betapa berbahayanya ideologi komunis tersebut," jelas penyair yang memiliki banyak sekali karya puisi tersebut.

Ideologi Komunis beserta beragam terminologi ataupun kedok yang digunakan tidak akan berhasil mengganti Pancasila. Rakyat tentunya tidak ingin kembali ke masa kelam pembantaian serta kekejian PKI yang dulu pernah terjadi. Dan rakyat harus percaya kepada TNI sebagai Benteng Pancasila. Panggilan sebagai prajurit Sapta Marga merupakan sebuah dukungan moril dari TNI kepada rakyat untuk menjaga Pancasila sampai akhir hayat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun