Mohon tunggu...
Michael Binyo
Michael Binyo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Bagian kecil dari sebuah bangsa besar, yakni Bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya. Jurnalis junior di sebuah media online. Hobbi menulis, nonton film drama komedi situasi, membaca kisah nyata yang inspiratif, dan keliling mencari tempat-tempat menyenangkan di tengah hiruk-pikuknya ibukota. Kurang menyukai orang yang memiliki sifat 'aneh' dalam berteman. Membuka diri untuk dikritik, diberi masukan, dan diberi pengarahan positif mengenai. Mengidolakan kepribadian serta pemikiran Pak Harto, Gus Dur, John Lennon, Nelson Mandela, dan Mahmud Madaul (orang pertama yang memberi wawasan menulis). Cinta keluarga, loyal, dan tidak suka nongkrong berlebihan. Akhir perkenalan, semoga tulisan-tulisan ini berguna bagi siapapun yang membacanya. Menjadi inspirasi, membuka wawasan baru, dan yang terutama adalah membuat setiap orang Indonesia yang membacanya semakin mencintai Bangsa Indonesia serta semakin bangga terlahir sebagai Bangsa Indonesia. Regards, Binyo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Taufiq Ismail dan Ayat-ayat yang Disembelih

14 April 2016   18:14 Diperbarui: 14 April 2016   18:17 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tempat itu, Muso dan para pengikutnya mempraktekkan cara pembunuhan massal dengan menyembelih satu persatu para korbannya, mencungkil mata, sampai dengan mengubur hidup-hidup manusia. Bahkan, ada seorang Kyai yang dikubur hidup-hidup sambil sang Kyai membaca Al-Qur'an sebagai tanda menyerahkan nyawa kepada Allah SWT. Cara pembantaian Muso dan PKI ini terungkap berdasarkan Buku Kisah Nyata hasil penelusuran Anab Afifi dan Thowaf Zuharon. Mereka berdua berbekal biaya sendiri berkeliling Jawa timur mewawancara para anggota keluarga korban pembantaian Muso dan kawan-kawannya di Madiun. Hasil penelusuran serta wawancara mereka dibukukan dengan judul : “ AYAT-AYAT YANG DISEMBELIH : Sejarah Banjir Darah para Kyai, Santri, dan Penjaga NKRI oleh Aksi-aksi PKI “.

Aksi Muso akhirnya menyebar di kalangan masyarakat Madiun. Kedok Muso sebagai titisan Nabi Musa, dan sebagai Front Demokrasi Rakyat (FDR) akhirnya terbongkar dan menjadi kekejian di mata masyarakat. Bung Karno turun ke kota Yogyakarta untuk berpidato. Di sana beliau mengutuk apa yang dilakukan Muso, dan siap menumpas Muso dan kawan-kawannya. Bung Karno memberi sebuah pilihan kepada masyarakat Madiun, yakni pilih Soekarno-Hatta atau Muso, dan rakyat memilih Soekarno-Hatta.

Negara menjawab pilihan rakyat dengan melakukan operasi penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Berkekuatan dua brigade cadangan III Siliwangi, pemerintah berhasil menumpas PKI dan menembak mati Muso di Ponorogo. Pengikut-pengikut PKI lainnya, salah satunya adalah mantan pemimpin kabinet RI bernama Amir Sjarifuddin tertangkap di Grobogan Jawa Tengah lalu di jatuhi hukuman mati. Dalam operasi penumpasan sampai pemulihan keamanan terkait pemberontakan PKI atau FDR pimpinan Muso, terlibat tiga nama besar perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD, yakni Kolonel AH. Nasution, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Sungkono.

Dari ribuan Kyai, Santri, dan Aparatur negara yang disembelih PKI, turut menjadi korban pembunuhan PKI di Jawa timur adalah Gubernur pertama Jawa timur RM.Suryo, dokter kenegaraan Republik Indonesia Moewardi, serta anggota-anggota kepolisian. Sedangkan di Jawa tengah, khususnya Tegal, RA.Kardinah (adik kandung Pahlawan nasional RA Kartini) diseret keliling kampung lalu disembelih hidup-hidup.

" sebuah kekejian dan kekejaman ideologi Komunis yang dibalut rapih bersama Front Demokrasi Rakyat, ini tidak bisa hilang dari sejarah Republik Indonesia, dan para pendukung atau simpatisan KGB (Komunis Gaya Baru) saat ini harus menyadari hal tersebut. Jangan ditutup-tutupi atau dijadikan istilah bahwa pembantaian tersebut adalah kewajaran dalam revolusi," papar Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Sekarang ini, Komunis mencoba bangkit dengan gerakan senyap KGB (Komunis Gaya Baru). Mereka berlindung di balik faham-faham kerakyatan sama seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulunya.

" kami sudah sering masuk ke kampus-kampus untuk memberikan pencerahan. Mengapa kami memilih cara tersebut, tidak lain adalah karena KGB saat ini banyak menyisir kaum pemuda untuk menjejali ideologi Komunis. Dengan perkataan mungkin bisa dilupakan, atau dianggap ocehan kosong, namun jika menggunakan tulisan (dalam bentuk buku) yang berisi data serta fakta, maka rakyat akan kembali memahami betapa berbahayanya ideologi komunis tersebut," jelas penyair yang memiliki banyak sekali karya puisi tersebut.

Ideologi Komunis beserta beragam terminologi ataupun kedok yang digunakan tidak akan berhasil mengganti Pancasila. Rakyat tentunya tidak ingin kembali ke masa kelam pembantaian serta kekejian PKI yang dulu pernah terjadi. Dan rakyat harus percaya kepada TNI sebagai Benteng Pancasila. Panggilan sebagai prajurit Sapta Marga merupakan sebuah dukungan moril dari TNI kepada rakyat untuk menjaga Pancasila sampai akhir hayat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun