Aku adalah buah jambu air, buah yang saat dimakan keluar air. Orang Inggris menyebutnya Water Apple beda tipis ya tulisannya dengan buah apel yang orang Inggris menyebutnya aple. Hehehe...
Aku berwarna hijau dan rasanya manis. Maka dari itu banyak orang yang menyukaiku. Aku tumbuh di pekarangan rumah asri nan sederhana.
Berawal dari sebuah benih kemudian di semai dan di siram air, aku tumbuh dan berbunga. Aku ingat setiap pagi petaniku selalu mengucapkan bismillah dan sebelumnya mengucapkan salam kepadaku.Â
Begitu rutin yang ia lakukan. Di pupuknya diriku hingga aku merasa begitu berharga sekali. Tak habis-habisnya aku bertasbih pada Rabbku.
Pagi itu turun hujan, tetesannya menyentuh daunku. Seketika aku  bermandikan air hujan Karena aku tersiram air hujan sore itu aku tak dimandikan oleh petaniku.
Aku tumbuh besar dan berbuah lebat. Aku yakin ini adalah keberkahan dari yang merawatku yang selalu melibatkan Rabbku saat menyirami ku.
Yang merawatku adalah seorang nak gadis yang manis dan baik hati. Ia adalah anak Sholihah yang berbakti pada ibunya. Sering ku lihat Ia mengajak ibunya jalan-jalan dengan kursi rodanya. Mungkin kedua kaki ibunya sakit hingga tak mampu berjalan.
Ketika buahku panen pun Ia tak segan-segan membagi-bagikan kepada para tetangga. Pernah suatu ketika petaniku terciduk olehku sedang membagikan buahku kepada pemulung. Baiknya petaniku.
Sore itu ketika aku tengah asyik bertasbih kepada Rabbku dari atas aku melihat di bawah kerumunan orang di pekarangan rumah petaniku. Ada apa gerangan? Aku mulai tak tenang. Angin menyampaikan salam lewat hembusannya. "Ayah dari petanimu meninggal mendadak," Ujarnya.
Aku termangu sesaat. Melihat ke bawah nampak petaniku menangis tersedu. Baru kali ini aku melihat petaniku menangis. Biasanya Ia selalu tersenyum manis. Tak pernah ada wajah duka di wajahnya.
Malam kian larut. Satu persatu tamu undangan tahlilan malam pertama pulang. Menyisakan duka petaniku yang amat dalam.Â
Ya... meninggal adalah suatu kepastian tetapi teramat sakit bila tak menunjukkan tanda-tanda sebelumya. Itulah yang dialami petaniku.
Aku salut dengan petaniku yang tetap menyayangiku dan merawatku. Masih ku dengar salam khasnya meskipun ayahnya telah pergi meninggalkannya beserta ibunya.
Beberapa bulan kemudian aku melihat petaniku bebenah barang seperti ingin pindah. Jangan dong petaniku aku nanti dengan siapa? Jika benar-benar pindah nanti tak ada lagi salam keberkahan darimu. Tak ada lagi tasbih bersama mu. Tak ada lagi burung yang berkicau di dahanku meminta sisa nasi darimu.
"Assalamualaikum water ater apple saya pamit ya pulang kampung ke tempat paman adik dari Ayah yang akan merawat aku dan ibu." Ucapnya. "Tetap berbuah lebat ya meski tanpa kehadiranku, agar kau tetap bermanfaat buat manusia." Kata mu lagi. Sedih ku tak terkira. "Bye-bye petaniku."
Pagi itu aku di datangi oleh seorang perempuan bersama suaminya dengan seorang Ibu yang sedang duduk di kursi roda. Di sisi ibunya terlihat seorang Ayah yang telah renta berdiri.
 Mereka menatap rumah petaniku yang telah usang di makan waktu. Tetapi aku masih berbuah lebat. Di panjatnya aku oleh sang suami. Tangannya sibuk mencari-cari buahku yang sudah matang. "Hap dapat" serunya!
Alhamdulillah... tabarakallahu wahai diriku. Masih bermanfaat dan aku bahagia karena dipetik oleh seorang perempuan yang hampir mirip dengan petaniku. Yang mendorong ibunya dengan kursi roda. Mereka pun pergi dengan mengucapkan salam.
Siang itu aku di petik secara brutal oleh orang-orang di sekitarku. Mereka melahap semua buahku tanpa ampun. Tanpa menyisakan sedikitpun. Rupanya sambal rujak telah dipersiapkannya.
Pagi itu seorang perempuan bersama sang ibu dengan kursi rodanya dan sang suami kembali datang. Tetapi buahku sudah habis tak tersisa. Wajah sang perempuan nampak kecewa. Tunggu aku ya sampai aku berbuah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H